LAPORAN STUDI LAPANG ADVOKASI DAN PILIHAN PENYELESAIAN SENGKETA POLEMIK PEMBANGUNAN PASAR BLIMBING KOTA MALANG



Anggota Kelompok:
HILMY FAIDULLOH ALI                        (125010101111098)
LUCIANA ENGELIA SARI S                    (125010102111008)
AGATHA CHRISTY A                                (125010101111096)
LORENSIA RESDA                                    (125010107111023)
WIRADHYAKSA M H P                             (125010101111088)
WIDHI YULIAWAN                                    (125010101111048)

A.    Latar Belakang
           
            Upaya manusia untuk memenuhi kebutuhanya sudah berlangsung sejak manusia itu ada. Salah satu kegiatan manusia dalam usaha memenuhi kebutuhan tersebut adalah memerlukan adanya pasar sebagai sarana pendukungnya. Pasar merupakan kegiatan ekonomi yang termasuk salah satu perwujudan adaptasi manusia terhadap lingkunganya. Hal ini didasari atau didorong oleh faktor perkembangan ekonomi yang pada awalnya hanya bersumber pada problem untuk memenuhi kebutuhan hidup (kebutuhan pokok). Manusia sebagai makhluk sosial dalam perkembanganya juga menghadapi kebutuhan sosial untuk mencapai kepuasan atas kekuasaan, kekayaan dan martabat.[1]
            Pasar selama ini sudah menyatu dan memiliki tempat paling penting dalam kehidupan masyarakat sehari-hari,bagi masyarakat pasar bukan hanya tempat bertemunya antara penjual dan pembeli tetapi juga sebagai wadah untuk berinteraksi sosial. Para ahli ekonomi mendiskripsikan sebuh pasar sebagai kumpulan penjual dan pembeli yang melakukan transaksi atas suatu produk tertentu atau kelompok produk tertentu.[2]
            Secara umum, masyarakat mengenal dua jenis pasar yaitu pasar tradisional dan pasar modern. Keduanya mempunyai ciri yang berbeda jika dilihat dari bangunan, tempat berjualan, dan sistem jual beli yang dilakukan. Pasar tradisonal umumnya terdiri dari los atau tenda, tidak permanen, dan lingkungannya tidak nyaman karena becek, kotor, bau, dan tidak aman. Sedangkan pasar modern biasanya memiliki bangunan megah dan permanen, fasilitas memadai, nyaman, aman, banyaknya diskon yang ditawarkandan harga yang tercantum pasti.[3]
            Keberadaan pasar, khususnya pasar tradisional, merupakan salah satu indikator paling nyata kegiatan ekonomi masyarakat di suatu wilayah. Perkembangan zaman dan perubahan gayahidup yang dipromosikan begitu hebat oleh berbagai media serta berdirinya pasar modern telah membuat pengaruh besar terhadap pasar tradisional, serta eksistensipasar tradisional sedikit terusik karena banyaknya konsumen yang lebih memilih belanja di pasar modern. [4]
            Berdasarkan hasil studi A.C. Nielsen, pasar modern di Indonesia tumbuh 31,4% per tahun, sedangkan pasar tradisional menyusut 8% per tahun. Jika kondisi ini tetap dibiarkan, ribuan bahkan jutaan pedagang kecil akan kehilangan mata pencahariannya. Pasar tradisional
mungkin akan tenggelam seiring dengan tren perkembangan dunia ritel saat ini yang didominasi oleh pasar modern.[5]
            Dibalik peran strategis pasar tradisional terdapat berbagai permasalahan yang membutuhkan perhatian Pemerintah. Keberadaan pasar tradisional kini kian menurun seiring dengan pesatnya perkembangan pasar modern khususnya di Kota Malang. Hal tersebut turut didorong oleh globalisasi dan pasar bebas yang berkembang sangat cepat. Kehadiran pasar modern bukan satu-satunya penyebab penurunan produktivitas pasar tradisional. Persoalan intern seperti buruknya manajemen pasar, minimnya sarana dan prasarana pasar hingga minimnya bantuan permodalan turut andil dalam penurunan omzet penjualan di pasar tradisional.[6]
            Dengan melihat hal tersebut kemudian pemerintah  pusat  mengeluarkan  Peraturan  Menteri  Perdagangan  (Permendag) No.53  Tahun  2008  tentang  Pedoman  Penataan  dan  Pembinaan  Pasar  Tradisional,  Pusat Perbelanjaan,  dan  Toko  Modern guna melakukan  pembenahan  terhadap  pasar tradisional. Selanjutnya niat baik pemerintah pusat tersebut disambut baik oleh Pemkot Malang dengan mengeluarkan Keputusan Walikota Malang Nomor: 188.45/249/35.73.112/2009 tentang  Pembentukan  Tim  Pembangunan  Pasar  Blimbing  dan  Pasar  Dinoyo  pada  tanggal  9 Juni 2009.
            Pemerintah Kota Malang kemudian berinisiatif untuk melakukan revitalisasi terhadap pasar tradisional di Kota Malang yang salah satunya akan dilakukan di Pasar Blimbing. Nantinya, ketika proses pembangunan dilaksanakan, maka pedagang di Pasar Blimbing harus direlokasi ke pasar penampungan sementara. Rencana revitalisasi dan relokasi di Pasar Blimbing memunculkan penolakan dari pedagang. Akibatnya, proses relokasi menjadi sulit untuk dilaksanakan. Pedagang menolak dengan alasan ketidakpastian pedagang pasar tradisional dapat tetap berdagang di tempat tersebut apabila pasar tradisional dirubah menjadi pasar modern.
            Pandangan pedagang terhadap agenda revitalisasi ini tidak sejalan dengan rencana Pemerintah Kota Malang. Menurut pedagang kegiatan revitalisasi ini lebih banyak merugikan pedagang daripada menguntungkan pedagang. Akhirnya, pedagang Pasar Blimbing melakukan perlawanan untuk mempertahankan haknya sebagai pedagang dan menjaga agar usaha mereka tetap bisa bertahan

            Pasar  tradisional  di  Kota  Malang  mulai  terusik  keberadaannya  dengan  hadirnya supermarket sejak dekade 1990-an seperti supermarket Mitra 1 dan 2, dan juga supermarket Gajah  Mada  yang  pada  saat  itu  sempat  merasakan  kejayaannya  sebelum  akhirnya  muncul para  pesaingnya  yaitu  peritel  asing  yang  diperbolehkan  masuk  ke  kota  ini  dan  membangun pusat  perbelanjaan  modern  yang  tidak  kalah  megahnya  di  dekade  2000-an  seperti  MATOS, MOG,  Carefour,  dan  juga  Hypermart.  Pada  tahun  2012,  data  dari  Dinas  Perdagangan  dan Perindustrian  Kota  Malang  mencatat  bahwa  terdapat  91  ritel  modern  berbentuk  minimarket yakni  57  Indomart  dan  37  berbentuk  Alfamart. 
            Dengan melihat hal tersebut kemudian pemerintah  pusat  mengeluarkan  Peraturan  Menteri  Perdagangan  (Permendag) No.53  Tahun  2008  tentang  Pedoman  Penataan  dan  Pembinaan  Pasar  Tradisional,  Pusat Perbelanjaan,  dan  Toko  Modern guna melakukan  pembenahan  terhadap  pasar tradisional. Selanjutnya niat baik pemerintah pusat tersebut disambut baik oleh Pemkot Malang dengan mengeluarkan Keputusan Walikota Malang Nomor: 188.45/249/35.73.112/2009 tentang  Pembentukan  Tim  Pembangunan  Pasar  Blimbing  dan  Pasar  Dinoyo  pada  tanggal  9 Juni 2009.
            Pasar Blimbing sebagai salah satu pasar tradisional di Kota Malang menjadi salah satu objek pelaksanaan peraturan menteri tersebut dengan pihak PT.Karya Indah Sukses (KIS) sebagai investor pembangunan pasar blimbing, para pedagang berharap agar pasar tersebut menjadi lebih baik dan bersih. Namun harapan itu justru menjadi sebuah permasalahan ketika pembangunan pasar blimbing tersebut tidak sesuai dengan keinginan dan harapan pedagang pasar blimbing yang telah disepakati diantaranya yaitu  :
            Pertama, jumlah  lantai yang  akan  dibangun tidak sesuai.  Pada  awal  perjanjian  pembangunan  hanya  akan  membangun  pasar menjadi tiga lantai, namun pengembang merubahnya menjadi lima lantai. Menurut pedagang dengan  dibangunnya  Pasar  Blimbing  yang  baru  ada  indikasi  bahwa  lantai  atasnya  akan disewakan kepada pihak pasar modern, hal-hal tersebut yang menjadi permasalahan pokok para pedagang.
            Kedua, Site plan pembangunan Pasar Blimbing yang tidak adil, yakni dimana Pasar Blimbing akan diletakkan dibelakang bangunan pasar modern. Walaupun sudah dibangun, pasar tradisional tetap dianggap sebagai sebuah  aib  yang harus ditutupi seolah-olah keberadaan pasar tradisional hanya mengganggu keindahan  tata  ruang  perkotaan  modern sepeti perkataan Pak  Basri  seorang  Kepala  Badan  Kordinasi dan Penanaman Modal (BKPM). Dengan kata lain letak pasar blimbing akan semakin terpinggirkan di dalam wilayah tersebut bukan sebaliknya seperti peraturan menteri yang ada.
            Ketiga, Pedagang adalah harus mengganti rugi biaya pembangunan  sebesar  enam  juta  rupiah  hingga  lima  puluh  lima  juta  rupiah,  tergantung besarnya bedak maupun kios. Hal ini sebelumnya justru dikatakan tidak akan ditarik biaya sesuai dengan pernyataan pemerintah Kota malang.
            Keempat, Tidak pernahnya para pedagang diajak untuk berunding dengan pihak-pihak proyek terkait perencanaan pembangunan pasar blimbing. Sebagai pihak yang menjadi obyek pembangunan dan pihak yang seharusnya dilindungi dan diperhatikan oleh pemerintah seharusnya pihak pedagang juga turut diikutsertakan dalam proyek pembangunan tersebut dengan melihat hak-hak para pedagang tersebut.
            Kelima, Selain dengan permasalahan-permasalahan tersebut, permasalahan lain muncul seiring dengan berjalannya rencana pembangunan tersebut yakni terkait dengan prosedur relokasi para pedagang pasar blimbing selama pengerjaan proyek pembangunan tersebut. Di dalam tempat relokasi tersebut juga perlu diperhtikan hak-hak para pedagang yang dijamin oleh pemerintah dan dipenuhi selama masa relokasi yang masih belum jelas keadaannya.  Kemudian permasalahan letak dan posisi para pedagang yang semula kemudian harus berubah di pasar baru nanti seperti apa, apakah sudah sesuai dengan keadilan ataukah belum.
            Dengan melihat haltersebut di atas maka kami akan membahas proses advokasi atau sosialisasi terkait dengan bagaimana pemenuhan hak-hak para pedagang dengan adanya pembangunan pasar Blimbing Kota Malang.

B.     Tujuan Studi Lapang
            Tujuan melalukan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana duduk perkara yang menjadikan pembangunan pasar blimbing tidak terlaksana sampai sekarang padahal jika dibandingkan dengan pasar dinoyo yang rencana pembangunannya bersamaan sekarang sudah akan dibuka untuk masyarakat.

C.    Kajian Teoritik
1.      Definisi Pasar
            Penduduk sebagai salah satu komponen dalam system wilayah atau kawasan. Perkembangan wilayah tergantung dari kegiatan sosial ekonomi penduduk suatu wilayah, yang kegiatan itu sendiri ditentukan oleh permintaan barang dan jasa. Sehingga kegiatan ekonomi erat kaitannya untuk mempertemukan permintaan dan penawaran, dan tempat kegiatannya dapat di jumpai dalam bentuk fisik yang disebut pasar.[7]
            Pada awalnya, kegiatan pasar dilaksanakan hanya seminggu sekali. Sebutan nama pasar seperti Pasar Senen, Pasar, Rebo, Pasar Kemis, Pasar Jum’at, Pasar Minggu, menunjukkan bahwa semula kegiatannya hanya seminggu sekali, dan tentu saja the origin of pasar ini bersifat tradisional dengan ciri-ciri sebagai berikut: jual-beli barang kebutuhan primer dan sekunder, tempat usahanya berupa kios, warung, los, tenda, gerai, dan lapak, yang dimiliki/dikelola oleh pedagang kecil dengan skala kecil, modal yang kecil, dan dengan proses jual-beli barang dagangan melalui tawar menawar.[8]   
            Berdasarkan Kamus Umum Bahasa Indonesia pasar berarti tempat orang berjual beli sedangkan tradisional dimaknai sikap dan cara berpikir serta bertindak yang selalu berpegang kepada norma dan adat kebiasaan yang ada secara turun temurun. Berdasarkan arti diatas, maka pasar tradisional adalah tempat orang berjual beli yang berlangsung di suatu tempat berdasarkan kebiasaan. Di Indonesia, keberadaan pasar tradisional bukan semata urusan ekonomi tetapi lebih jauh kepada norma, ranah budaya, sekaligus peradaban yang berlangsung sejak lama di berbagai wilayah di Indonesia.
            Sebagai pusat kegiatan sosial ekonomi kerakyatan, pola hubungan ekonomi yang terjadi di pasar tradisional menghasilkan terjalinnya interaksi sosial yang akrab antara pedagang-pembeli, pedagang-pedagang, dan pedagang-pemasok yang merupakan warisan sosial representasi kebutuhan bersosialisasi antar-individu. Fungsi pasar tradisional selanjutnya menjadi pusat pertemuan, pusat pertukaran informasi, aktivitas kesenian rakyat, bahkan menjadi paket wisata yang ditawarkan. Dalam pemikiran demikian, pasar tradisional merupakan aset ekonomi daerah sekaligus perekat hubungan sosial dalam masyarakat. Dengan demikian, pasar tradisional bukan hanya sekadar ruang, akan tetapi sebagai lembaga sosial yang terbentuk karena proses interaksi sosial dan kebutuhan masyarakatnya.[9]
            Di tengah arus modernitas, keberadaan pasar tradisional sebagai suatu budaya bangsa saat ini mencoba untuk bertahan dan mengembangkan diri agar mampu bersaing di tengah arus tersebut. Liberalisasi investasi yang makin tidak terbendung telah membuat pasar tradisional semakin terdesak dengan bermunculannya pasar modern yang menawarkan lebih banyak keunggulan komoditi, harga serta kenyamanan. Kenyataan tersebut telah membuat masyarakat Indonesia berpaling dari bagian kebudayaan dan beralih kepada kehidupan modern yang serba praktis dengan intensitas interaksi yang minim.[10]
            Pasar adalah area tempat jual beli barang dengan jumlah penjual lebih dari satu baik yang disebut sebagai pusat perbelanjaan, pasar tradisional, pertokoan, mall, plaza, pusat perdagangan maupun sebutan lainnya. Pasar Tradisional adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Swasta, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah termasuk kerjasama dengan swasta dengan tempat usaha berupa toko, kios, los dan tenda yang dimiliki/dikelola oleh pedagang kecil, menengah, swadaya masyarakat atau koperasi dengan usaha skala kecil, modal kecil dan dengan proses jual beli barang dagangan melalui tawar-menawar.[11]
            Pasar tradisional mempunyai fungsi dan peranan yang tidak hanya sebagai tempat perdagangan tetapi juga sebagai peninggalan kebudayaan yang telah ada sejak zaman dahulu. Saat ini perlu disadari bahwa pasar tradisional bukan satu-satunya pusat perdagangan. Semakin banyaknya pusat perdagangan lain seperti pasar modern, hypermart dan Mall pada gilirannya dapat membuat pasar tradisional harus mampu bertahan dalam persaingan agar tidak tergilas oleh arus modernisasi.[12]

2.      Ekonomi Pancasila
         Krisis ekonomi yang telah melanda bangsa ini selama lebih dari 5 tahun belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir, karena para ekonom kita tidak mampu memberikan pemecahan-pemecahan konkrit. Mereka menggunakan teori-teori ekonomi liberal secara berlebihan yang tidak sesuai dengan kondisi dan karakteristik perekonomian bangsa sendiri. Padahal di negara-negara barat sendiri, ekonomi liberal semakin banyak digugat oleh tokoh-tokoh ekonomi dunia. Para ekonom “arus utama” dan pemerintah secara “membabibuta” terus melakukan privatisasi berbagai BUMN, memanjakan para konglomerat dan eks konglomerat, dan investor asing.[13]
         Prof. Mubyarto dan Prof. Sri Edi Swasono menegaskan bahwa yang diperlukan  saat ini adalah kehidupan ekonomi yang digerakkan oleh seluruh lapisan masyarakat, yang mencerminkan karakter Bangsa Indonesia, yaitu Ekonomi Pancasila yaitu ekonomi pasar yang mengacu pada ideologi Pancasila. Didalam sistem ekonomi Pancasila, manusia Indonesia merupakan homo socius, homo ethicus, sekaligus homo economicus. Jika dilihat dari sudut pandang mikro, perekonomian Indonesia memiliki nilai moral dan etika luhur yang dapat membentengi manusia dari nafsu serakah (greedy). Namun yang banyak terjadi adalah bahwa moral dan etika tersebut telah pudar dalam kehidupan perekonomian Indonesia dimana pasar lebih mengagungkan kompetisi (winner vs loser) dan semangat keserakahan individualisme dan bukan ekonomi kekeluargaan yang kooperatif (win-win). Yang lebih menyedihkan lagi adalah yang kalah dalam pasar lebih banyak dan hanya sebagai penonton setia dari perilaku pemenang. Keprihatinan juga mencuat karena sistem kompetisi inilah yang selalu ditekankan dan diajarkan disekolah-sekolah dan perguruan tinggi.[14]
         Sistem ekonomi ini menjamin tatanan ekonomi yang dapat memperkecil kesenjangan (gap) yang sangat lebar di dalam masyarakat Indonesia. Contoh nyata dari penerapan Ekonomi Pancasila sebenarnya sudah lama ada dan masih bias ditemukan, yaitu kehidupan di pedesaan yang kooperatif berdasarkan asas kekeluargaan.[15]
         Tujauan ekonomi Indonesia menurut Hatta[16] haruslah diarahkan bagaimana menciptakan satu masyarakat Indonesia yang adil dan makmur yang memuat dan berisikan kebahagiaan, kesejahteraan, perdamaian dan kemerdekaan.
         Josep E. Stiglitz[17] mengatakan  problematika sosial suatu negara  merupakan cerminan dari paradigma ekonomi yang dianut dari negara tersebut. Masalah ketimpangan,kemiskinan, minimnya kesempatan kerja, daya saing Indonesia yang lemah, inefisensi birokrasi, persoalan lingkungan hidup, adalah persoalan keseharian yang kita hadapi setiap hari. Semua itu adalah problem sosial yang kita hadapi bersama pada saat ini.
         Persoalannya kemudian bagi kita adalah, bagaimana kita mengatasinya. Kebijakan ekonomi yang selama ini dijalankan ternyata belum bisa membebaskan dan memerdekakan masyarakat dari jebakan kolonialisme ekonomi.[18]Kita melihat banyak negara yang mengandalkan model pembangunan dengan corak paradigma kapitalis pada akhirnya membawa ketimpangan antar warga yang sangat tajam, membangkrutkan negara pada satu sisi, tetapi negara tersebut tetap memiliki jutawan kelas dunia pada sisi lain.[19]Kita juga melihat negara-negara yang mengadopsi corak ekonomi yang sosialis pada akhirnya tercerai berai, dan tidak berhasil mengangkat kesejahteraan rakyatnya sesuai dengan corak yang diyakininya.[20] Sesungguhnya dari berbagai krisis yang telah kita saksikan di berbagai negara maupun yang  kita lewati sendiri, mengandung pelajaran berharga mengenai arti penting paradigma maupun ideologi dalam membangun bangsa.[21]
         Sesuai dengan ideologi yang kita miliki maka menurut penulis bangunan ekonomi Pancasila adalah sebuah sistem yang dibangun berdasarkan semangat ke-Indonesiaan. Ia tidak kapitalis, tidak pula sosialis (lihat tabel perbandingan). Ekonomi Pancasila adalah suatu tandingan ideologis atau ideologi alternatif dari sistem ekonomi  kapitalis maupun sosialis.
         Sistem ekonomi Pancasila merupakan penjabaran dari semangat Pancasila dalam perekonomian dan kesejahteraan yang bertujuan untuk mengkoreksi sistem ekonomi Indonesia berwatak kolonial.[22]



Tabel 1. Perbandingan Paradigma Ekonomi Kapitalisme, Sosialisme, dan Pancasila
Komponen
Kapitalisme
Sosialisme
Pancasila
Relasi
Minim Campur tangan Negara
Negara memainkan Peran Utama
Penguasaan Negara untuk kemakmuran rakyat
Pelaku
Individu/swasta
Negara, Kolektivisme
Usaha bersama/ Koperasi bercorak gotong royong
Harga
Mekanisme pasar
Dikendalikan negara
Kebutuhan dasar dikendalikan negara
Sumber: diolah dari berbagai sumber.
            Ekonomi Pancasila adalah sistem pengaturan hubungan antar negara dan warganegara yang ditujukan untuk memajukan kemanusian dan peradaban, memperkuat persatuan nasional  melalui proses usaha bersama/gotong royong,  dengan melakukan distribusi akses ekonomi yang adil bagi seluruh warganegara yang dilandasi oleh nilai-nilai etik pertanggungan jawaban kepada Tuhan yang Maha Esa.[23]
            Konseptualisasi Ekonomi Pancasila pertama kali dilakukan oleh Emil Salim[24], tetapi Emil Salim lebih mengedepankan  sila kelima yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bagi Emil Salim tujuan utama bagi ekonomi adalah mendistribusikan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
            Widjojo Nitisastro juga menyuarakan mengenai Ekonomi Pancasila. Meski ia tidak menuliskan secara langsung Ekonomi Pancasila, tetapi gagasannya dalam membangun perekonomian bangsa berlandaskan Pancasila. Menurutnya, jalan keluar dari kemerosotan ekonomi yang disebabkan penyelewengan di masa lampau yang menyampingkan seluruh prinsip ekonomi hingga saat ini, adalah kembali kepada UUD 1945. Ia mengacu kepada Ketetapan MPRS XXIII.[25] Ketetapan tersebut disusun berdasarkan kepentingan menuju perbaikan ekonomi rakyat. Bahkan, kepentingan ekonomi diutamakan dari kepentingan nasional lain, termasuk politik.
            Pandangan lain disampaikan oleh Mubyarto. Dalam Ekonomi Pancasila, menurut Mubyarto, seluruh sila harus menjadi acuan kebijakan dan prilaku ekonomi seluruh rakyat Indonesia.[26] Dengan demikian, gagasan ekonomi Pancasila konsisten dengan lima sila yang menjadi dasar negara kita. 
            Atas dasar konseptualisasi yang utuh dan menyeluruh itu, maka operasionalisasi Ekonomi Pancasila yang didasari oleh landasan ideologi Pancasila adalah sebagai berikut :  
1.      Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, memberikan pendasaran akan pentingnya spirit teistik yang menekankan etika dan moral bangsa dalam perekonomian. Dengan kata lain, perekonomian harus memiliki landasan etis dan pertanggungjawaban kepada Tuhan. Meski Indonesia bukan sebuah negara yang menetapkan agama tertentu sebagai ideologi bangsa, namun nilai-nilai ketuhanan dan spirit keagamaan telah menjadi landasan ideologi kita, Pancasila. Karena itu, ekonomi Pancasila digagas dan dibangun berdasarkan pertimbangan moral dan etika religius. Dengan demikian, ekonomi Pancasila meniscayakan nilai-nilai kebaikan dan kedermawanan, serta hukum sipil yang tegak untuk menindak ketidakadilan.
2.      Sila Kedua. Sebagai konsekuensi logis dari sila pertama, sila kedua menekankan kemanusiaan yang adil dan beradab. Dalam ekonomi Pancasila, pembangunan ekonomi tidak sebatas mengejar prestasi atau penilaian secara materi. Lebih dari itu, pembangunan ekonomi harus berorientasi pada keadilan dan peradaban manusia, khususnya bangsa Indonesia. Masalah kemiskinan, kesenjangan sosial yang begitu lebar, dan lain sebagainya harus dientaskan untuk menuju keadilan dan kemajuan (per)adab(an) bangsa dalam dimensi kemanusiaan. 
Artinya dalam perspektif ini unsur  manusia menjadi penting dan pelaku aktif dalam menggerakkan roda perekonomian. Ekonomi Pancasila tidak melakukan pengekangan terhadap kreativitas dan kebebasan individu dalam mencapai peningkatan peradaban secara kolektif.
3.      Sila ketiga, menekankan persatuan Indonesia. Ekonomi Pancasila digagas untuk mempersatukan bangsa. Apabila kemudian kebijakan ekonomi justru memudarkan semangat persatuan bangsa maka kebijakan tersebut pastilah bukan bercorak atau bercirikan Ekonomi Pancasila.
Dalam hal ini, usaha bersama/gotong royong menjadi kuncinya. Produksi dan distribusi yang dikerjakan melalui mekanisme usaha bersama/Gotong royong dalam peningkatan ekonomi memperkecil kesenjangan yang berpotensi memecah belah bangsa. Dalam konteks ini, maka kemudian negara mengambil peran strategis untuk melakukan proses distribusi akses sumber daya ke wilayah-wilayah negara sesuai dengan prinsip keadilan dan pemerataan.
4.      Sila keempat, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, menekankan mekanisme kerja perekonomian yang mendahulukan kepentingan rakyat di atas kepentingan individu/golongan/modal. Sila tersebut juga menuntut peran aktif dari setiap perusahaan/badan usaha milik negara (BUMN) saat ini untuk mensejahterakan rakyat. Salah satu caranya adalah dengan memberikan akses yang besar kepada masyarakat terhadap kebutuhan dasarnya. Selain itu, sila keempat menekankan demokrasi ekonomi yang digagas Bung Hatta. Di dalam sistem ekonomi yang menjamin demokrasi ekonomi, setiap warga memiliki hak atas pekerjaan dan penghidupan layak (pasal 27 UUD 1945). Dengan kata lain, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak tidak hanya berlaku bagi golongan-golongan tertentu. Tapi, hak tersebut juga berlaku bagi setiap warga Indonesia. Semuanya berhak mendapatkan kesempatan yang sama (equal opportunity).[27]
Pasal 6 ketetapan MPRS menyebut ciri-ciri positif demokrasi ekonomi. Antara lain dinyatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan (Pasal 33 Ayat (1) UUD 45), dan karenanya tidak mengenal struktur pertentangan kelas. Hak milik perorangan diakui dan dimanfaatkan guna kesejahteraan masyarakat, dan karenanya tidak boleh dijadikan alam untuk mengeksploitasi sesama manusia. Kepada warga negara diberi kebebasan dalam memilih pekerjaan, sedang potensi, inisiatif dan daya kreasi setiap warga negara dapat dikembangkan sepenuhnya dalam batas yang tidak merugikan kepentingan umum. Dalam pada itu sesuai dengan Pasal 33 Ayat (2) UUD 1945 cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.[28]
5.      Terakhir, sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sila kelima adalah sila pamungkas. Empat sila lain merupakan tahapan-tahapan untuk mencapai keadilan sosial yang tercatat dalam sila pamungkas tersebut. Dengan prinsip keadilan sosial, ekonomi Pancasila digagas untuk memberikan pemerataan pembangunan dan mendorong terciptanya emansipasi sosial. Dalam konteks ini, spirit teistik atau etika religius yang tercermin di sila pertama, peradaban manusia di sila kedua, persatuan di sila ketiga, dan demokrasi ekonomi/equal opportunity di sila keempat disusun untuk menegakkan keadilan. Sebab, keadilan adalah nilai universal kemanusiaan. Dalam konteks ini juga, equal opportunity harus mendapatkan perhatian khusus. Setiap warga Indonesia harus mendapatkan kesempatan terbuka menuju kesejahteraan bersama. Konsekuensi logisnya, negara harus melakukan pembagian hasil produksi yang merata di seluruh pelosok negeri.
            Berdasarkan pemaparan di atas, Ekonomi Pancasila tentunya disuarakan untuk membangun basis perekonomian bangsa yang berakar dari nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi bangsa. Sayangnya, hal ini belum mendapat perhatian khusus dari para ekonom Indonesia. Mereka cenderung berkutat dalam perdebatan soal ideologi ekonomi dunia yang berkembang saat ini seperti kapitalisme dan sosialisme. Padahal, gagasan ekonomi Pancasila melampaui dua paham tersebut. Meski demikian, setiap gagasan memiliki kelemahan dan kelebihan. Maka, ekonomi Pancasila harus terus disuarakan untuk disempurnakan demi kesejahteraan dan kemakmuran bersama.

3.      Hak Memperoleh Pekerjaan Yang Layak
            Secara definitif “hak” merupakan unsur normatif yang berfungsi sebagai pedoman berperilaku, melindungi kebebasan, kekebalan serta menjamin adanya peluang bagi manusia dalam menjaga harkat dan martabatnya. Hak mempunyai unsur-unsur seperti pemilik hak, ruang lingkup penerapan hak, dan pihak yang bersedia dalam penerapan pengertian dasar tentang hak. Dengan demikian hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia yang dalam penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan yang terkait dengan interaksinya antara invidu dan instansi. Istilah yang dikenal di Barat mengenai hak-hak asasi manusia ialah “right of man” yang menggantikan istilah ”natural right”.[29]
            Menurut Jan Materson, hak asasi manusia adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpa manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia. John Locke menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak kodrati. Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahnya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.[30] Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa hak asasi manusia merupakan hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Pencipta yang harus dihormati, dijaga, dan dilindungi oleh setiap individu, masyarakat, atau negara. Dengan demikian hakikat penghormatan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia ialah menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh. Upaya menghormati, melindungi, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, menjadi kewajiban dan tanggung jawab bersama antara individu, pemerintah bahkan negara.[31]
            Mengacu pada Pasal 27 ayat(2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa setiap warga negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Pasal tersebut juga dapat diterjemahkan bahwa sebenarnya seluruh warga negara Indonesia tidak berkeinginan menjadi pengangguran dan juga tidak berkeinginan menjadi orang miskin. Pada hakekatnya mengandung makna bahwa setiap warga negara yang akan menggunakan haknya untuk mendapatkan pekerjaan harus diberikan perlindungan dalam rangka mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, makmur, dan merata baik materiil maupun spiritual.
            Setiap warga negara Indonesia yang bermaksud mendapatkan pekerjaan di dalam maupun di luar negeri, baik pekerjaan formal maupun pekerjaan informal disebut sebagai pencari kerja. Pemenuhan hak untuk mendapatkan pekerjaan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, dapat dilakukan oleh setiap warga negara secara perorangan maupun kelompok. Pembangunan ketenagakerjaan mampunyai banyak dimensi dan keterkaitan, keterkaitan itu tidak hanya dengan kepentingan tenaga kerja tetapi juga dengan kepentingan pengusaha, pemerintah dan masyarakat. Untuk itu diperlukan pengaturan yang menyeluruh dan komprehensif antara lain mencakup tentang pelayanan penempatan tenaga kerja, perluasan kesempatan kerja dan hubungan industrial. Terkait dengan pelayanan penempatan kepada pencari kerja maka pemerintah dan masyarakat bertanggung jawab dalam upaya perluasan kesempatan kerja dan pendayagunaan tenaga kerja secara optimal serta penempatan tenaga kerja yang sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan.
            Pekerjaan pada hakekatnya haruslah memanusiakan manusia. Melalui pekerjaan, seorang manusia seharusnya dapat menikmati peningkatan kualitas hidup, yang tidak hanya diukur lewat pencapaian materi. Pula tidak terbatas pada mensejahterahkan diri sendiri namun juga keluarga yang menjadi bagian dari kehidupan sosial seorang individu.[32] Sedemikian penting fungsi sebuah pekerjaan dalam kehidupan manusia maka negara memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk menjamin pemenuhan dan perlindungan terhadap warga negara untuk memperolehnya. Tidak boleh terjadi akibat pekerjaan seorang manusia kehilangan atau terganggu kemanusiaannya apalagi dijadikan sebagai komoditas. Mengingat hal tersebut maka ketersediaan lapangan pekerjaan yang layak menjadi sebuah kewajiban yang harus disediakan oleh pemerintah negara.[33] Sesuai dengan peranan dan kedudukan tenaga kerja, diperlukan pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja dan peran sertanya dalam pembangunan serta peningkatan perlindungan tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat manusia.[34]
            Untuk itu sangat diperlukan adanya perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemujan dunia usaha.[35] Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, yaitu pembangunan ketenagakerjaan berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kemudian ketentuan Pasal 3 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2003 pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas keterpanduan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah. Selanjutnya berdasarkan ketentuan sebagai berikut:
1.      Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi.
2.      Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah.
3.      Memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan.
4.      Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.

D.    Hasil Studi Lapang
1.      Kondisi Pasar Blimbing Kota Malang
Pasar Blimbing merupakan salah satu pasar tradisional yang terdapat dikecamatan Blimbing, kabupaten Malang. Pasar Blimbing cukup ramai dan padat, terutama di pagi hari. Pembeli dan pedagang kebanyakan berasal dari kecamatan Blimbing dan sekitarnya. Transaksi di pasar Blimbing berlangsung dari pagi hari sampai siang hari. Pasar Blimbing berdiri sejak tahun 1970 dan memiliki luas area sekitar 2000 meter2. Pasar ini terletak di dekat pusat pemukiman warga Blimbing tepatnya di JL. Borobudur, Kec. Blimbing, Kab. Malang[36]. Jumlah pedagang di pasar blimbing menurut sensus terakhir yang dilakukan oleh coordinator pedagang dan pihak dinas pasar adalah 2.250 pedagang.[37]  Pasar Blimbing ini juga cukup memudahkan warga sekitar untuk mendapatkan kebutuhan sehari-hari yang tentunya dengan harga yang miring. Keberadaan pasar Blimbing turut berperan penting dalam menunjang pendapatan daerah, khsusnya kecamatan Blimbing. Hal ini ditunjang dengan keberadaan beberapa ruko di sekitarnya yang juga menyediakan aneka macam kebutuhan, mulai dari alat elektronik hingga kebutuhan pokok. Sarana dan prasarana pasar juga cukup lengkap,antara lain kantor, musolla, gerobak sampah, alat pemadam kebakaran, dan lain-lain. Selain itu,sarana transportasi juga sangat memudahkan pembeli dan pedagang untuk menuju pasar.
2.      Permasalahan
            Seperti telah dijelaskan dalam latar belakang laporan ini terdapat beberapa masalah yang menjadikan pembangunan pasar blimbing ini tidak kunjung terlaksana yaitu sebagai berikut:
            Pertama, jumlah  lantai yang  akan  dibangun tidak sesuai.  Pada  awal  perjanjian  pembangunan  hanya  akan  membangun  pasar menjadi tiga lantai, namun pengembang merubahnya menjadi lima lantai. Menurut pedagang dengan  dibangunnya  Pasar  Blimbing  yang  baru  ada  indikasi  bahwa  lantai  atasnya  akan disewakan kepada pihak pasar modern, hal-hal tersebut yang menjadi permasalahan pokok para pedagang.
            Kedua, Site plan pembangunan Pasar Blimbing yang tidak adil, yakni dimana Pasar Blimbing akan diletakkan dibelakang bangunan pasar modern. Walaupun sudah dibangun, pasar tradisional tetap dianggap sebagai sebuah  aib  yang harus ditutupi seolah-olah keberadaan pasar tradisional hanya mengganggu keindahan  tata  ruang  perkotaan  modern sepeti perkataan Pak  Basri  seorang  Kepala  Badan  Kordinasi dan Penanaman Modal (BKPM). Dengan kata lain letak pasar blimbing akan semakin terpinggirkan di dalam wilayah tersebut bukan sebaliknya seperti peraturan menteri yang ada.
            Ketiga, Pedagang adalah harus mengganti rugi biaya pembangunan  sebesar  enam  juta  rupiah  hingga  lima  puluh  lima  juta  rupiah,  tergantung besarnya bedak maupun kios. Hal ini sebelumnya justru dikatakan tidak akan ditarik biaya sesuai dengan pernyataan pemerintah Kota malang.
            Keempat, Tidak pernahnya para pedagang diajak untuk berunding dengan pihak-pihak proyek terkait perencanaan pembangunan pasar blimbing. Sebagai pihak yang menjadi obyek pembangunan dan pihak yang seharusnya dilindungi dan diperhatikan oleh pemerintah seharusnya pihak pedagang juga turut diikutsertakan dalam proyek pembangunan tersebut dengan melihat hak-hak para pedagang tersebut.
            Kelima, Selain dengan permasalahan-permasalahan tersebut, permasalahan lain muncul seiring dengan berjalannya rencana pembangunan tersebut yakni terkait dengan prosedur relokasi para pedagang pasar blimbing selama pengerjaan proyek pembangunan tersebut. Di dalam tempat relokasi tersebut juga perlu diperhtikan hak-hak para pedagang yang dijamin oleh pemerintah dan dipenuhi selama masa relokasi yang masih belum jelas keadaannya.  Kemudian permasalahan letak dan posisi para pedagang yang semula kemudian harus berubah di pasar baru nanti seperti apa, apakah sudah sesuai dengan keadilan ataukah belum.

3.      Pembahasan
            Berdasarkan kegiatan lapang yang telah kami lakukan dengan menemui dan mecari data serta informasi yang ada di lapangan, kami dapat menemukan sejumlah permasalahan pokok yang dihadapi dalam perenovasian pasar Blimbing Kota Malanag tersebut. Pada tahap mencari informasi di lapangan, kami mendatangi pihak-pihak yang terlibat dan memang memiliki wewenang dalam permasalahan tersebut.
            Setelah melakukan penelitian lapang mengenai permasalahan ini, kami berpendapat jika para pedaganglah yang seharusnya mendapat perlindungan mengingat mereka mencari penghasilan di pasar tersebut dan kedudukan mereka yang lemah dibandingkan dengan investor yang memiliki modal yang kuat sehingga harus mendapat perlindungan dari pemeritah. Hal ini sesuai dengan prinsip ekonomi pancasila yang dicetuskan oleh Emil Salim sebagai ekonomi yang khas Indonesia. Dimana system ekonomi pancasila bukan system ekonomi kapitalis dan juga bukan system ekonomi sosialis. Tetapi merupakan tengah-tengah keduanya yang tidak melarang pemodal untuk masuk tetapi untuk bidang-bidang yang menguasai hajat hidup orang banyak Negara wajib dikendalikan oleh pemerintah termasuk dalam hal ini pasar yang menjadi tumpuan banyak orang untuk memenuhi kebutuhan hidup baik dari sisi penjual maupun pembeli.
            Kemudian di dalam terjun lapang tersebut kami bertemu dengan salah seorang yang disebut sebgai “tim 5” (berisikan Pak Subardi, Pak Sutrisno, Pak Basuki, Haji Husein, dan Pak  Syaiful) mereka adalah sebuah tim yang menjadi perwakilan kordinator pedagang pasar blimbing dalam permasalahan ini, kami menemui bapak subardi yang merupakan ketua kordinator pedagang.
            Disini kami mendapatkan informasi terkait dengan awal permasalahan yang menjadikan perlawanan para pedagang pasar blimbing yakni terkait dengan site plan pembangunan Pasar Blimbing yang tidak adil seperti gambar dibawah: [38]

        Dari gambar diatas, bisa kita lihat bahwa Pasar Blimbing akan diletakkan dibelakang bangunan pasar modern. Walaupun sudah dibangun, pasar tradisional tetap dianggap sebagai sebuah  aib  yang harus ditutupi seolah-olah keberadaan pasar tradisional hanya mengganggu keindahan  tata  ruang  perkotaan  modern.  Ia  memiliki  arsitektur  bangunan  yang  buruk,  tata ruang pasar yang buruk, penataan parkir yang semrawut, kualitas bangunan yang buruk, dan lain-lain.  Setidaknya  itulah  yang  dikatakan  oleh  Pak  Basri  seorang  Kepala  Badan  Kordinasi dan Penanaman Modal (BKPM). Selain itu, dari gambar diatas bisa disimpulkan bahwa pasar tradisional  akan  semakin  terpinggirkan.  Hal  inilah  yang  membuat  pedagang  Pasar  Blimbing kecewa dan melakukan perlawanan. Hal ini sangat berbeda dengan konsep ekonomi pancasila dimana kegiatan ekonomi lebih didasarkan pada aspek kekeluargaan bukan hanya mencari keuntungan semata seperti pada konsep kapitalisme yang menekankan manusia sebagai Homo Economicus. Tidak pula meniru gaya sosialime yang menekankan manusia sebagai Homo Socius yang menekankan kemerataan dalam segala bidang sehingga tidak ada kelas yang lebih tinggi dari pada yang lain. tetapi menggunakan prinsip ekonomi pancasila dimana manusia diposisikan tidak hanya sebagai Homo Economicus yang hanya mengejar keuntungan semata tapi juga sebagai Homo Socius  yang melihat sekitar kita untuk membantu orang lain yang membutuhkan dan juga Homo Ethicus yang memperhatikan etika dalam menjalankan profesinya dalam hal ini berdagang. Hal ini juga selaras dengan sila pertama pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Mengacu pada Pasal 27 ayat(2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa setiap warga negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Pasal tersebut juga dapat diterjemahkan bahwa sebenarnya seluruh warga negara Indonesia tidak berkeinginan menjadi pengangguran dan juga tidak berkeinginan menjadi orang miskin. Pada hakekatnya mengandung makna bahwa setiap warga negara yang akan menggunakan haknya untuk mendapatkan pekerjaan harus diberikan perlindungan dalam rangka mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, makmur, dan merata baik materiil maupun spiritual. Jika Site Plan seperti ini dilanjutkan pemerintah telah melanggar hak konstitusional diatas yang mengatakan bahwa setiap orang yang akan menggunakan haknya untuk mendapatkan peekerjaan harus diberikan perlindungan bukan dimarjinalkan untuk kebutuhan pemodal.
      Selain  karena  site  plan  tersebut,  salah  satu  isi  perjanjian  kerjasama  antara  investor dengan Pemkot Malang yang mebuat marah pedagang adalah harus mengganti rugi biaya pembangunan  sebesar  enam  juta  rupiah  hingga  lima  puluh  lima  juta  rupiah,  tergantung besarnya bedak maupun kios. Perjanjian yang dibuat ini mengingkari janji sebelumnya  yang  diucapkan  oleh  walikota  Peni  Suparto  yang  tidak  akan  memungut  biaya ganti rugi kepada pedagang Pasar Blimbing atas pembangunan Pasar Blimbing.[39]
      Namun  dari  kesemua  itu,  yang  paling  membuat  pedagang  Pasar  Blimbing  marah adalah  ketika  suara  mereka  diabaikan  dan  mereka  tidak  pernah  diajak  berunding  masalah pembangunan  pasar,  Pemkot  Malang  telah  menyalahi  aturan  yang  tertera  dalam  UUD  1945 Pasal  33  ayat  1  yang  berbunyi  perekonomian  disusun  sebagai  usaha  bersama  atas  asas kekeluargaan.  Pemkot  Malang  sudah  menunjukan  iktikad  tak  baik  dengan  tidak  mengajak musyawarah  pedagang  dalam  membangun  pasar  yang  merupakan  wadah  perekonomian warganya. Hal ini seolah-olah mengarahkan pandangan kita bahwa pemkot Malang lebih pro kepada  PT.KIS  sebagai  investor  yang  ditunjuk  untuk  pembangunan  pasar.  Perjanjian Kerjasama  dan  site  plan  yang  diajukan  oleh  investor  nyatanya  diterima  begitu  saja  oleh Pemkot  Malang,  dan  mengabaikan  pedagang  sebagai  penghuni  Pasar  Blimbing  untuk memberikan  aspirasinya. Padahal jika ditelisik lebih jauh mengenai asal mula pasar tradisional yang ada di Indonesia mempunyai fungsi dan peranan yang tidak hanya sebagai tempat perdagangan tetapi juga sebagai peninggalan kebudayaan yang telah ada sejak zaman dahulu.[40] Selain itu pasar tradisional juga memiliki fungsi sebagai pusat kegiatan sosial ekonomi kerakyatan, pola hubungan ekonomi yang terjadi di pasar tradisional menghasilkan terjalinnya interaksi sosial yang akrab antara pedagang-pembeli, pedagang-pedagang, dan pedagang-pemasok yang merupakan warisan sosial representasi kebutuhan bersosialisasi antar-individu. Fungsi pasar tradisional selanjutnya menjadi pusat pertemuan, pusat pertukaran informasi, aktivitas kesenian rakyat, bahkan menjadi paket wisata yang ditawarkan. Dalam pemikiran demikian, pasar tradisional merupakan aset ekonomi daerah sekaligus perekat hubungan sosial dalam masyarakat. Dengan demikian, pasar tradisional bukan hanya sekadar ruang, akan tetapi sebagai lembaga sosial yang terbentuk karena proses interaksi sosial dan kebutuhan masyarakatnya.[41]
            Di tengah arus modernitas, dapat juga dikaitkan dengan pembangunan pasar blimbing yang rencananya di sandingkan dengan pusat perbenlanjaan modern keberadaan pasar tradisional sebagai suatu budaya bangsa saat ini mencoba untuk bertahan dan mengembangkan diri agar mampu bersaing di tengah arus tersebut. Liberalisasi investasi yang makin tidak terbendung telah membuat pasar tradisional semakin terdesak dengan bermunculannya pasar modern yang menawarkan lebih banyak keunggulan komoditi, harga serta kenyamanan. Kenyataan tersebut telah membuat masyarakat Indonesia berpaling dari bagian kebudayaan dan beralih kepada kehidupan modern yang serba praktis dengan intensitas interaksi yang minim.[42] Hal ini mengakibatkan interaksi antara pembeli dan penjual yang khas di Indonesia dengan tawar menawarnya akan hilang dan berganti dengan gaya kapitalisme yang hanya menekankan pada keuntungan yang sebanyak-banyaknya.
            Menghadapi kenyataan seperti itu Koordinator Pedagang pasar Blimbing menjelaskan bahwa jumlah keseluruhan pedagang pasar Blimbing adalah 2.250 pedagang sudah termasuk pedagang kecil yang tidak memiliki lapak tetap, selanjutnya beliau menjelaskan bahwa pada awal permaslahan ini pedagang pasar blimbing membentuk koalisi  dengan  pedagang  Pasar  Dinoyo.  Pada  saat  yang  sama  pedagang  Pasar  Dinoyo  juga mengalami  permasalahn  yang  sama  dengan  pedagang  Pasar  Blimbing,  yaitu  sama-sama menghadapi  pembangunan  pasar  yang  tidak  berpihak  kepada  pedagang.  Setelah  massa terkumpul, akhirnya pedagang melakukan aksi demonstrasi di depan balai Kota Malang yang dibantu  oleh  Malang  Corruption  Watch  (MCW).  Setelah  mendapatkan  bantuan  dari  MCW, salah  satu  anggota  MCW  yang  bernama  Zia’ul haq memperkenalkan Pak Subardi dengan lembaga  PP  Otoda  UB.  Dari  perkenalan  inilah  akhirnya  pedagang  Pasar  Blimbing  melalui perwakilan  Pak  Subardi  mendapat  dukungan  dari  kelompok  akademisi.  Ngesti Dwi S.H., M.H.  sebagai ketua  dari  PP  Otoda  UB  ini  juga  sangat  memberikan  dukungan  terhadap  perjuangan pedagang Pasar Blimbing.[43]
            Setelah  mendapat  dukungan  dari  tingkat  lokal  Kota  Malang,  pedagang  Pasar Blimbing  (tetap  melalui  tim  5)  melebarkan  sayap  untuk  mencari  dukungan  keluar  kota Malang.  Kali  ini  pedagang  mencari  dukungan  dari  Gubernur  Jawa  Timur  Bapak  Soekarwo dengan mengadukan keluhannya terhadap pembangunan pasar  yang tidak adil ini. Akhirnya Gubernur  Jawa  Timur  menanggapi  keluhan  pedagang  Pasar  Blimbing  dan  Pasar  Dinoyo dengan  mengeluarkan  Surat  Nomor  510/222/021/2011  yang  mengingatkan  bahwa  Pemkot Malang  harus  mengadakan  musyawarah  dalam  setiap  proses  pembangunan  pasar.  Pemkot Malang  juga  harus  patuh  pada  peraturan  Menteri  Perdagangan  RI  Nomor  53/M-DAG/PER/12/2008  dan  Perda  Jatim  Nomor  03  tahun  2008  tentang  perlindungan, pemberdayaan pasar tradisional dan penataan pasar modern. Namun hal tersebut terkesan diacuhkan oleh pemkot Kota Malang pada saat itu.[44]
            Dipihak Investor ( PT Karya Indah Sukses) Kami menemukan informasi yang tidak sama dengan penjelasan para pedagang pasar Blimbing dengan apa yang diinformaikan oleh PT. Karya Indah Sukses (PT KIS) diantaranya terkait dengan rapat musyawarah yang dilakukan investor dengan para pedagang dan pemerintah yang menurut penjelasan mereka bahwa pihak pedagang sedirilah yang tidak menghadiri rapat permusyawaratan tersebut serta pihak pedagang yang selalu melakukan mark up jumlah pedagang sehingga menyuitkan pihak investor untuk mengatur jumlah kios yang tersedia, selanjutnya pihak investor juga berkata bahwa para pedagang tidak konsisten dengan apa yang diinginkan. Terkait dengan denah site plan yang dianggap meminggirkan pasar blimbing justru ditanggapi oleh pihak investor sebagai salah satu bentuk modernisasi pasar dan telah menjadi kesepakatan investor dengan pemerintah kota malang.[45]
            Dari pihak pemerinah setelah kami medatangi Kantor Dinas Pasar Kota Malang yang terletak di Sawojajar. Kemudian kami mendapatkan info bahwa dinas pasar sendiri telah melakukan upaya-upaya yang membantu para pedagang dalam kordinasi dengan pihak investor guna mecari titik temu keduanya, dalam hal ini dinas pasar menjadi seperti penghubung diantara keduanya dan selalu menginformasikan hal-hal terkait dengan kemajuan permasalahan ini kepada pedagang melalui kordinator pedagang.[46] Untuk pihak pemerintah Kota Malang sendiri mengaku telah menjalankan semua tindakan yang dianggap perlu guna menyelesaikan permasalahan ini.[47] Walaupun menurut pendapat kami usaha yang dilakukan oleh Dinas Pasar maupun Pemerintah Kota Malang masih terlalu berhati-hati dan terkesan takut kepada investor dalam hal ini PT Karya Indah Sukses (PT KIS) untuk memenuhi hak-hak konstitusional dari para pedagang untuk mendapat tempat berjualan yang layak.

E.     Kesimpulan
            Terdapat  dualitas  pandangan  tentang  pembangunan  Pasar  Blimbing,  yaitu  dari  pihak pedagang Pasar Blimbing  yang menganggap bahwa pihak investor belum memenuhi semua  isi  perjanjian  yang  telah  disepakati  oleh  ketigabelah  pihak.  Sedangkan  pihak Pemot  malang  beranggapan  bahwa  PT.KIS  telah  memenuhi  semua  permintaan pedagang Pasar Blimbing supaya mau direlokasi ke tempat penampungan semetara di Stadion Blimbing. Perbedaan pandangan inilah yang akhirnya membuat tersendatnya pembangunan Pasar Blimbing hingga sekarang.
            Strategi  yang  digunakan  oleh  pedagang  Pasar  Blimbing  untuk  mengubah  arah pembangunan sesuai dengan keinginannya adalah dengan melakukan perlawanan  ala Scottian.  Perlawanan  yang  tidak  bertujuan  untuk  menghilangkan  dominasi  yang  ada namun  hanya  mengubah  arah  dominasi  tersebut  dan  bisa  bertahan  dalam  sistem dominasi  tersebut.  Salah  satu  strategi  yang  dilakukan  oleh  pedagang  Pasar  Blimbingadalah  dengan  menuntut  hak-haknya  sebagai  klien  kepada  pihak  patron.  Hak-hak tersebut  yang  didukung  oleh  norma  dan  nilai  yang  ada  dalam  masyarakat  sehingga memiliki  nilai  yang  tinggi  untuk  wajib  dilaksanakan.  Hak  tersebut  adalah  janji  yang diberikan  oleh  Peni  Suparto  ketika  masih  menjabat  sebagai  walikota  Malang.  Ia berjanji untuk tidak menarik biaya sepeser un kepada pedagang pasar Blimbing dalam pembangunan Pasar Blimbing. Janji ini bisa dikatakan sebagai tabungan yang dimiliki oleh pedagang yang akan “ditarik” ketika memerlukannya dalam waktu tertentu.
            Pedagang juga membangun jaringan eksternal dengan Komnas HAM, Ombudsan, PP Otoda Brawija dan MCW. Fungsi jaringan ini selain untuk meningkatkan daya tawar pedagang Pasar Blimbing di depan kelompok pengambil keputusan. Ia juga berfungsi sebagai  katup  penyelamat  ketika  tiba-tiba  ada  hal-hal  yang  tidak  diinginkan  oleh pedagang  seperti  tidak  dipenuhinya  isi  perjanjian  oleh  Pemkot  Malang  maupun  oleh investor.
            Argumentasi  yang  diajukan  oleh  pedagang  hampir  semuanya  didasarkan  pada  fakta terburuk bila pembangunan dilaksanakan sesuai dengan konsep yang ditawarkan oleh investor  dan  Pemkot  Malang  (seperti  site  plan,  tempat  relokasi).  Hal  ini menunjukan  bahwa  pedagang  pun  memiliki  klaim  tandingan  untuk  mematahkan  dan mengubah  arah  pembangunan  Pasar  Blimbing  ini.  Pedagang  tidak  hanya  selalu “golongan  orang  yang  kalah”  yang  hanya  bisa  melakukan  perlawanan  secara tersembunyi  (seperti  mencuri,  merusak  hartanya,  dan  menggosipkannya),  namun argumentasi  yang  dimiliki  pedagang  menjadi  modal  penting  untuk  dikeluarkan  dan diutarakan  secara  langsung  supaya  kelompok  yang  simpatisan  kepada  pedagang semakin  mendukung  mereka,  yang  akhirnya  pedagang  akan  memenangkan  tawar-menawar tersebut.



[1]Nahdliyul Izza, Pengaruh Pasar Modern Terhadap Pedagang Pasar Tradisional (Studi Pengaruh Ambarukmo Plaza Terhadap Perekonomian Pedagang Pasar Desa Caturtunggal Nologaten Depok Sleman Yogyakarta), Skripsi tidak diterbitkan, Yogyakarta, Fakultas Dakwah, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010, hal. 4.
[2]Ibid.,
[3]Ibid., Hal 5.
[4]Ibid., Hal 6.
[5]Adri Poesoro,2007,Pasar Tradisional Di Era Persaingan Global(online),(Newsletter Lembaga Penelitian Smeru No. 22, 2007,http://www.smeru.or.id, hlm 1 (diakses tanggal 26 Maret 2015).
[6]Ibid.,hlm 3.
[7]Djumantri, Tanpa tahun, Pasar Tradisional, Ruang Masyarakat Tradisional Yang Terpinggirkan, hal 1.
[8]Ibid.,
[9]Rahadi Wasi Bintoro, 2007, Aspek Hukum Zonasi Pasar Tradisional Dan Pasar Modern, hal 3.
[10]Ibid., hal 4.
[11] Pepres RI No. 112, 2007.
[12] Lihat juga Adri Poesoro, Pasar Tradisional Di Era Persaingan Global, Newsletter SMERU, Lembaga Penelitian SMERU No. 22, April-Juni 2007; Sri Budiyati, Quo Vadis Pasar Tradisional, Newsletter SMERU No. 22. April-Juni 2007, Lembaga Penelitian SMERU; Arie Sujito, Mal dan Marginalisasi, Jurnal Flamma, Edisi 24 Tahun 2005, website www.ireyogya.org diakses 10 Januari 2010.
[13]Ibid.,
[14]Ibid., Hal 2.
[15]Ibid.,
[16] Mohammad Hatta, 1979, Ekonomi Terpimpin , Jakarta, Penerbit Mutiara, hal 18..
[17] Allen Lane, 2010, Free Fall; Free Markets and The Sinking of The Global Economy. (Joseph  E. Stiglitz, Profesor Ilmu Ekonomi, peraih hadiah Nobel Ekonomi 2001). Hal 4.
[18] Arif Budimanta, 2012, Ekonomi Pancasila, Ekonomi Kita, Disampaikan pada Seminar Sistem Perekonomian Nasional menurut pasal 33 UUD 1945. Diselenggarakan oleh Pusat Studi Konstitusi, Universitas TriSakti. Jakarta, hal 4.
[19]Ibid.,
[20]Ibid.,
[21]Ibid.,
[22]Ibid.,
[23]Ibid.,
[24] Emil Salim. Ekonomi Pancasila. Kompas 30 Juni 1966.
[25] Ketetapan MPRS No. XXIII adalah suatu keputusan politik yang mengharuskan diutamakannya masalah perbaikan ekonomi rakyat di atas segala persoalan nasional lain, termasuk politik. Konsekuensi keputusan politik ini ialah bahwa politik dalam dan luar negeri pemerintah harus sedemikian rupa hingga benar-benar membantu perbaikan ekonomi rakyat. Lihat Widjojo Nitisastro, Pengalaman Pembangunan Indonesia: Kumpulan Tulisan dan Uraian Widjojo Nitisastro, Jakarta: Kompas, 2010, hlm. 129.
[26] Mubyarto, 2004, Kenaikan Harga BBM tak Sejalan dengan Pemikiran Ekonomi Pancasila, dalam Mubyarto (Ed.), Menggugat Ketimpangan dan Ketidakadilan Ekonomi Nasional: Mengurai Benang Kusut Subsidi BBM dan Defisit APBN, cet. I, Yogyakarta: Aditya Media dan PUSTEP UGM, hlm. 10.
[27] Prinsip demokrasi ekonomi ini terjelma dalam UUD 1945, pasal 23, 27, 33, dan 34. Untuk penjelasan lebih lanjut tentang hal ini, lihat Emil Salim, Sistem Ekonomi Pancasila, Kompas, 30 Juni 1966. Lihat juga Widjojo Nitisastro, Pengalaman Pembangunan Indonesia: Kumpulan Tulisan dan Uraian Widjojo Nitisastro,hlm. 130-131.
[28] Widjojo Nitisastro, Pengalaman Pembangunan Indonesia: Kumpulan Tulisan dan Uraian Widjojo, hlm. 131-132.
[29] Icce UIN Jakarta, Hukum Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Prenada Media, Jakarta, 2000, hlm 200.
[30] Ibid, hlm 201.
[31] Ibid.
[32] Lembaga Bantuan Hukum, Catatan Akhir Tahun Laporan Hukum dan Hak Asasi Manusia, Lemabaga Bantuan Hukum Jakarta, Jakarta, 2011, hlm 53
[33] Ibid, hlm 55.
[34] Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm 6.
[35] Ibid, hlm 7.
[36] Didapatkan dari website Pemerintah Kota Malang (Malangkota.go.id) diakes tanggal 3 juni 2015.
[37] Hasil wawancara dengan koordinator pedagang pasar blimbing
[38] Gambar didapatkan dari hasil wawancara dengan Koordinator pedagang pasar blimbing.
[39] Didapatkan dari hasil wawancara dengan pihak pedagang pasar blimbing.
[40] Lihat juga Adri Poesoro, Pasar Tradisional Di Era Persaingan Global, Newsletter SMERU, Lembaga Penelitian SMERU No. 22, April-Juni 2007; Sri Budiyati, Quo Vadis Pasar Tradisional, Newsletter SMERU No. 22. April-Juni 2007, Lembaga Penelitian SMERU; Arie Sujito, Mal dan Marginalisasi, Jurnal Flamma, Edisi 24 Tahun 2005, website www.ireyogya.org diakses 10 Januari 2010.
[41]Rahadi Wasi Bintoro, 2007, Aspek Hukum Zonasi Pasar Tradisional Dan Pasar Modern, hal 3.
[42]Ibid., hal 4.
[43] Diperoleh dari hasil wawancara dengan coordinator pedagang pasar blimbing
[44] Ibid.,
[45] Hasil wawancara dengan pihak PT Karya Indah Sukses.
[46] Hasil wawancara dengan pihak dinas pasar Kota Malang.
[47] Hasil wawancara dengan kepala bagian umum Pemerintah Kota Malang.
 

Comments

  1. KISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS,
    BERKAT BANTUAN BPK Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI.

    Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A, dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp dinas bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum 0823-5240-6469 Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

contoh-contoh kasus dan analisisnya

PERBEDAAN DUTA, DUTA BESAR, KEDUTAAN BESAR, KONSUL, JENDERAL KONSUL, KOMISARIS TINGGI, DAN ATASE

Contoh Duplik