Belajar dari Film 12 Angry Men


12 Angry Men adalah film drama Amerika Serikat yang diproduksi pada tahun 1957. Sebagai film klasik yang diproduksi dengan warna hitam putih, film ini sangat menarik untuk ditonton. Cerita dan seknario film ini dibuat oleh Reginald Rose dan disutradarai oleh Sidney Lumet. Cerita pada film ini berlatar belakang dunia peradilan. Tepatnya sebuah film tentang persidangan yang menetapkan 12 juri terpilih untuk berembuk dan memutuskan bersalah atau tidaknya remaja 18 tahun yang dituduh membunuh ayahnya. Perlu diketahui sebelumnya bahwa pada sistem peradilan common law yang dianut Amerika Serikat terdapat juri yang memutuskan apakah seorang terdakwa bersalah atau tidak bersalah. Sedangkan untuk negara-negara yang menganut sistem hukum civil law seperti Indonesia tidak terdapat juri dalam proses persidangan.
Menentukan hidup dan mati seseorang, itulah tugas 12 pria yang berlaku sebagai juri yang berasal dari berbagai latar belakang dan kepentingan (hak wanita pada waktu itu belum diakui di Amerika Serikat) menentukan terdakwa bersalah atau tidak bersalah dalam kasus ini. Sebuah persidangan tentang seorang remaja yang dituduh menikam ayahnya hingga tewas. Jika bersalah, maka nasib remaja itu berakhir di atas kursi listrik.
Setelah jalannya persidangan selama 6 (enam) hari, semua bukti dan saksi memperkuat kenyataan bahwa anak tersebut adalah pelakunya, ke 12 juri dipersilahkan untuk istirahat diruang juri dan memikirkan matang-matang keputusan yang akan diberikan. Dengan di pimpin oleh Foremen (Martin Baslam), penjurian dimulai dengan menggunakan sistem voting. 11 juri menyatakan bersalah dan tersisa satu orang saja yang belum memberikan keputusannya, satu juri tersebut adalah Davis (Henry Fonda). Ketika semua juri Mantap tentang bersalahnya remaja itu, dia masih ragu-ragu. Sebelas juri yang lain naik pitam akibat tindakan Davis. Mereka semua ingin agar kasus ini segera terselesaikan. Namun Davis belum bisa menyatakan apakah remaja tersebut bersalah atau tidak bersalah. Keraguan yang diyakininya inilah yang menjadikan dia berhati-hati agar tidak salah mengirim orang kekursi listrik. Sikap berbeda ini kemudian memicu munculnya perdebatan sengit penuh emosi dari berbagai macam karakter juri yang ada. Uniknya setiap karakter yang ada dalam film ini tidak disebutkan namanya sampai akhir film, hanya disebut dengan Juri 1, Juri 2, Juri 3 dan seterusnya.

Juri-juri lain sangat geram dengan pendapat yang “nyeleneh” dari Davis dan dianggap sebagai buang-buang waktu. Namun mengingat hanya 11 dari 12 juri yang menyatakan bersalah, maka tidak dapat dikategorikan sebagai suara bulat. Dalam suasana pengap dan panas, adanya silang pendapat, perang kata-kata, bertumbuknya berbagai ego, sangat potensial meledakkan emosi setiap juri. Hal itulah yang menghidupkan nyawa 12 Angry Men.
Walaupun film ini sangat miskin setting lokasi. Terbukti dari durasi sekitar 96 menit, 93 menitnya bersetting dalam salah satu ruang yang ada didalam pengadilan, akan tetapi film ini tetap nikmat di tonton sampai akhir. Disini dialog-dialog cerdas menjadi amunisi untuk menghajar emosi penonton. Yang hadir disini bukan debat kusir asal bunyi. Namun, adu argumen dengan pemikiran masing-masing, fakta-fakta yang terlewat dalam persidangan, serta teori-teori untuk mendukung atau menyanggah pendapat lawan bicara. Masing-masing karakter diberi waktu dan porsi untuk unjuk gigi, sehingga dari kedua belas karakter juri yang ada, tidak ada karakter yang terkesan mubazir atau terkesan diada-adakan.
12 Angry Men memang tidak mencari siapa sesungguhnya sang pembunuh. Fokusnya adalah bersalah atau tidaknya terdakwa. Walaupun sederhana, akan tetapi dapat diangkat menjadi cerita yang begitu berbobot. Menyaksikan film ini kita dapat mengambil beberapa pelajaran yang bisa kita terapkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Pertama adalah Musyawarah Mufakat seperti yang tercermin dalam sila ke-4 Pancasila dan Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Nilai luhur asli bangsa Indonesia ini sepertinya telah digantikan budaya bangsa barat yang mengambil keputusan dengan jalan pengambilan suara terbanyak (Votting). Padahal yang mayoritas belum tentu benar dan yang minoritas belum tentu salah. Suara minoritas berhak untuk diperdengarkan dan didengarkan bukan untuk langsung diberangus oleh mayoritas. Kedua, Davis memberikan gambaran tentang bagaimana komunikasi persuasive yang efektif. Bahwa hanya dia yang kontra dan menjadi minoritas, tidak jadi soal. Dengan analisis kritis dan logis serta rasional dengan didukung fakta-fakta yang ada, Davis berusaha menggerus sedikit demi sedikit kecacatan analisis dan kekukuhan hati juri yang lain. Ketiga, hal yang ingin disampaikan oleh Davis adalah bahwa kita tidak mengetahui kebenaran dengan pasti, tetapi kita harus mencari sampai titik terendah keraguan. Terlebih menyangkut nyawa seseorang. Keempat, segala persoalan pribadi, emosi, dan prasangka harus dijauhkan dalam permasalahan saat mengambil keputusan. Yang terakhir adalah betapa dihargainya nyawa seseorang. Hukuman mati tidak langsung diberikan tanpa pembelaan dan pengkajian yang mendalam, berbeda dengan di Indonesia yang masih dalam status di duga saja kematian sudah menghampiri dengan cara main hakim sendiri yang dilakukan oleh masyarakat.

Akhir kata terdapat Qoute yang sangat menginspirasi bagi penulis :
I’m not triying to change your mind. It’s just that… we’re talking about somebody’s life here. We can’t decide in five minutes. Supposing we’re wrong ?”


Comments

Popular posts from this blog

contoh-contoh kasus dan analisisnya

PERBEDAAN DUTA, DUTA BESAR, KEDUTAAN BESAR, KONSUL, JENDERAL KONSUL, KOMISARIS TINGGI, DAN ATASE

Contoh Duplik