Pancasila sebagai Solusi Krisis Ekonomi Indonesia



            Krisis ekonomi yang telah melanda bangsa ini selama lebih dari 5 tahun belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir, karena para ekonom kita tidak mampu memberikan pemecahan-pemecahan konkrit. Mereka menggunakan teori-teori ekonomi liberal secara berlebihan yang tidak sesuai dengan kondisi dan karakteristik perekonomian bangsa sendiri. Padahal di negara-negara barat sendiri, ekonomi liberal semakin banyak digugat oleh tokoh-tokoh ekonomi dunia. Para ekonom “arus utama” dan pemerintah secara “membabibuta” terus melakukan privatisasi berbagai BUMN, memanjakan para konglomerat dan eks konglomerat, dan investor asing.[1]
            Prof. Mubyarto dan Prof. Sri Edi Swasono menegaskan bahwa yang diperlukan  saat ini adalah kehidupan ekonomi yang digerakkan oleh seluruh lapisan masyarakat, yang mencerminkan karakter Bangsa Indonesia, yaitu Ekonomi Pancasila yaitu ekonomi pasar yang mengacu pada ideologi Pancasila. Didalam sistem ekonomi Pancasila, manusia Indonesia merupakan homo socius, homo ethicus, sekaligus homo economicus. Jika dilihat dari sudut pandang mikro, perekonomian Indonesia memiliki nilai moral dan etika luhur yang dapat membentengi manusia dari nafsu serakah (greedy). Namun yang banyak terjadi adalah bahwa moral dan etika tersebut telah pudar dalam kehidupan perekonomian Indonesia dimana pasar lebih mengagungkan kompetisi (winner vs loser) dan semangat keserakahan individualisme dan bukan ekonomi kekeluargaan yang kooperatif (win-win). Yang lebih menyedihkan lagi adalah yang kalah dalam pasar lebih banyak dan hanya sebagai penonton setia dari perilaku pemenang. Keprihatinan juga mencuat karena sistem kompetisi inilah yang selalu ditekankan dan diajarkan disekolah-sekolah dan perguruan tinggi.[2]
            Sistem ekonomi ini menjamin tatanan ekonomi yang dapat memperkecil kesenjangan (gap) yang sangat lebar di dalam masyarakat Indonesia. Contoh nyata dari penerapan Ekonomi Pancasila sebenarnya sudah lama ada dan masih bias ditemukan, yaitu kehidupan di pedesaan yang kooperatif berdasarkan asas kekeluargaan.[3]
            Tujauan ekonomi Indonesia menurut Hatta[4] haruslah diarahkan bagaimana menciptakan satu masyarakat Indonesia yang adil dan makmur yang memuat dan berisikan kebahagiaan, kesejahteraan, perdamaian dan kemerdekaan.
            Josep E. Stiglitz[5] mengatakan  problematika sosial suatu negara  merupakan cerminan dari paradigma ekonomi yang dianut dari negara tersebut. Masalah ketimpangan, kemiskinan, minimnya kesempatan kerja, daya saing Indonesia yang lemah, inefisensi birokrasi, persoalan lingkungan hidup, adalah persoalan keseharian yang kita hadapi setiap hari. Semua itu adalah problem sosial yang kita hadapi bersama pada saat ini.
            Persoalannya kemudian bagi kita adalah, bagaimana kita mengatasinya. Kebijakan ekonomi yang selama ini dijalankan ternyata belum bisa membebaskan dan memerdekakan masyarakat dari jebakan kolonialisme ekonomi.[6] Kita melihat banyak negara yang mengandalkan model pembangunan dengan corak paradigma kapitalis pada akhirnya membawa ketimpangan antar warga yang sangat tajam, membangkrutkan negara pada satu sisi, tetapi negara tersebut tetap memiliki jutawan kelas dunia pada sisi lain.[7] Kita juga melihat negara-negara yang mengadopsi corak ekonomi yang sosialis pada akhirnya tercerai berai, dan tidak berhasil mengangkat kesejahteraan rakyatnya sesuai dengan corak yang diyakininya.[8] Sesungguhnya dari berbagai krisis yang telah kita saksikan di berbagai negara maupun yang  kita lewati sendiri, mengandung pelajaran berharga mengenai arti penting paradigma maupun ideologi dalam membangun bangsa.[9]
            Sesuai dengan ideologi yang kita miliki maka menurut penulis bangunan ekonomi Pancasila adalah sebuah sistem yang dibangun berdasarkan semangat ke-Indonesiaan. Ia tidak kapitalis, tidak pula sosialis (lihat tabel perbandingan). Ekonomi Pancasila adalah suatu tandingan ideologis atau ideologi alternatif dari sistem ekonomi  kapitalis maupun sosialis.
            Sistem ekonomi Pancasila merupakan penjabaran dari semangat Pancasila dalam perekonomian dan kesejahteraan yang bertujuan untuk mengkoreksi sistem ekonomi Indonesia berwatak kolonial.[10]
Tabel 1. Perbandingan Paradigma Ekonomi Kapitalisme, Sosialisme, dan Pancasila
Komponen
Kapitalisme
Sosialisme
Pancasila
Relasi
Minim Campur tangan Negara
Negara memainkan Peran Utama
Penguasaan Negara untuk kemakmuran rakyat
Pelaku
Individu/swasta
Negara, Kolektivisme
Usaha bersama/ Koperasi bercorak gotong royong
Harga
Mekanisme pasar
Dikendalikan negara
Kebutuhan dasar dikendalikan negara
Sumber: diolah dari berbagai macam sumber.
            Ekonomi Pancasila adalah sistem pengaturan hubungan antar negara dan warganegara yang ditujukan untuk memajukan kemanusian dan peradaban, memperkuat persatuan nasional  melalui proses usaha bersama/gotong royong,  dengan melakukan distribusi akses ekonomi yang adil bagi seluruh warganegara yang dilandasi oleh nilai-nilai etik pertanggungan jawaban kepada Tuhan yang Maha Esa.[11]
            Konseptualisasi Ekonomi Pancasila pertama kali dilakukan oleh Emil Salim[12], tetapi Emil Salim lebih mengedepankan  sila kelima yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bagi Emil Salim tujuan utama bagi ekonomi adalah mendistribusikan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
            Widjojo Nitisastro juga menyuarakan mengenai Ekonomi Pancasila. Meski ia tidak menuliskan secara langsung Ekonomi Pancasila, tetapi gagasannya dalam membangun perekonomian bangsa berlandaskan Pancasila. Menurutnya, jalan keluar dari kemerosotan ekonomi yang disebabkan penyelewengan di masa lampau yang menyampingkan seluruh prinsip ekonomi hingga saat ini, adalah kembali kepada UUD 1945. Ia mengacu kepada Ketetapan MPRS XXIII.[13] Ketetapan tersebut disusun berdasarkan kepentingan menuju perbaikan ekonomi rakyat. Bahkan, kepentingan ekonomi diutamakan dari kepentingan nasional lain, termasuk politik.
            Pandangan lain disampaikan oleh Mubyarto. Dalam Ekonomi Pancasila, menurut Mubyarto, seluruh sila harus menjadi acuan kebijakan dan prilaku ekonomi seluruh rakyat Indonesia.[14] Dengan demikian, gagasan ekonomi Pancasila konsisten dengan lima sila yang menjadi dasar negara kita. 
            Atas dasar konseptualisasi yang utuh dan menyeluruh itu, maka operasionalisasi Ekonomi Pancasila yang didasari oleh landasan ideologi Pancasila adalah sebagai berikut :  
1.      Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, memberikan pendasaran akan pentingnya spirit teistik yang menekankan etika dan moral bangsa dalam perekonomian. Dengan kata lain, perekonomian harus memiliki landasan etis dan pertanggungjawaban kepada Tuhan. Meski Indonesia bukan sebuah negara yang menetapkan agama tertentu sebagai ideologi bangsa, namun nilai-nilai ketuhanan dan spirit keagamaan telah menjadi landasan ideologi kita, Pancasila. Karena itu, ekonomi Pancasila digagas dan dibangun berdasarkan pertimbangan moral dan etika religius. Dengan demikian, ekonomi Pancasila meniscayakan nilai-nilai kebaikan dan kedermawanan, serta hukum sipil yang tegak untuk menindak ketidakadilan.
2.      Sila Kedua. Sebagai konsekuensi logis dari sila pertama, sila kedua menekankan kemanusiaan yang adil dan beradab. Dalam ekonomi Pancasila, pembangunan ekonomi tidak sebatas mengejar prestasi atau penilaian secara materi. Lebih dari itu, pembangunan ekonomi harus berorientasi pada keadilan dan peradaban manusia, khususnya bangsa Indonesia. Masalah kemiskinan, kesenjangan sosial yang begitu lebar, dan lain sebagainya harus dientaskan untuk menuju keadilan dan kemajuan (per)adab(an) bangsa dalam dimensi kemanusiaan. 
Artinya dalam perspektif ini unsur  manusia menjadi penting dan pelaku aktif dalam menggerakkan roda perekonomian. Ekonomi Pancasila tidak melakukan pengekangan terhadap kreativitas dan kebebasan individu dalam mencapai peningkatan peradaban secara kolektif.
3.      Sila ketiga, menekankan persatuan Indonesia. Ekonomi Pancasila digagas untuk mempersatukan bangsa. Apabila kemudian kebijakan ekonomi justru memudarkan semangat persatuan bangsa maka kebijakan tersebut pastilah bukan bercorak atau bercirikan Ekonomi Pancasila.
Dalam hal ini, usaha bersama/gotong royong menjadi kuncinya. Produksi dan distribusi yang dikerjakan melalui mekanisme usaha bersama/Gotong royong dalam peningkatan ekonomi memperkecil kesenjangan yang berpotensi memecah belah bangsa. Dalam konteks ini, maka kemudian negara mengambil peran strategis untuk melakukan proses distribusi akses sumber daya ke wilayah-wilayah negara sesuai dengan prinsip keadilan dan pemerataan.
4.      Sila keempat, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, menekankan mekanisme kerja perekonomian yang mendahulukan kepentingan rakyat di atas kepentingan individu/golongan/modal. Sila tersebut juga menuntut peran aktif dari setiap perusahaan/badan usaha milik negara (BUMN) saat ini untuk mensejahterakan rakyat. Salah satu caranya adalah dengan memberikan akses yang besar kepada masyarakat terhadap kebutuhan dasarnya. Selain itu, sila keempat menekankan demokrasi ekonomi yang digagas Bung Hatta. Di dalam sistem ekonomi yang menjamin demokrasi ekonomi, setiap warga memiliki hak atas pekerjaan dan penghidupan layak (pasal 27 UUD 1945). Dengan kata lain, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak tidak hanya berlaku bagi golongan-golongan tertentu. Tapi, hak tersebut juga berlaku bagi setiap warga Indonesia. Semuanya berhak mendapatkan kesempatan yang sama (equal opportunity).[15]
Pasal 6 ketetapan MPRS menyebut ciri-ciri positif demokrasi ekonomi. Antara lain dinyatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan (Pasal 33 Ayat (1) UUD 45), dan karenanya tidak mengenal struktur pertentangan kelas. Hak milik perorangan diakui dan dimanfaatkan guna kesejahteraan masyarakat, dan karenanya tidak boleh dijadikan alam untuk mengeksploitasi sesama manusia. Kepada warga negara diberi kebebasan dalam memilih pekerjaan, sedang potensi, inisiatif dan daya kreasi setiap warga negara dapat dikembangkan sepenuhnya dalam batas yang tidak merugikan kepentingan umum. Dalam pada itu sesuai dengan Pasal 33 Ayat (2) UUD 1945 cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.[16]
5.      Terakhir, sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sila kelima adalah sila pamungkas. Empat sila lain merupakan tahapan-tahapan untuk mencapai keadilan sosial yang tercatat dalam sila pamungkas tersebut. Dengan prinsip keadilan sosial, ekonomi Pancasila digagas untuk memberikan pemerataan pembangunan dan mendorong terciptanya emansipasi sosial. Dalam konteks ini, spirit teistik atau etika religius yang tercermin di sila pertama, peradaban manusia di sila kedua, persatuan di sila ketiga, dan demokrasi ekonomi/equal opportunity di sila keempat disusun untuk menegakkan keadilan. Sebab, keadilan adalah nilai universal kemanusiaan. Dalam konteks ini juga, equal opportunity harus mendapatkan perhatian khusus. Setiap warga Indonesia harus mendapatkan kesempatan terbuka menuju kesejahteraan bersama. Konsekuensi logisnya, negara harus melakukan pembagian hasil produksi yang merata di seluruh pelosok negeri.

            Berdasarkan pemaparan di atas, Ekonomi Pancasila tentunya disuarakan untuk membangun basis perekonomian bangsa yang berakar dari nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi bangsa. Sayangnya, hal ini belum mendapat perhatian khusus dari para ekonom Indonesia. Mereka cenderung berkutat dalam perdebatan soal ideologi ekonomi dunia yang berkembang saat ini seperti kapitalisme dan sosialisme. Padahal, gagasan ekonomi Pancasila melampaui dua paham tersebut. Meski demikian, setiap gagasan memiliki kelemahan dan kelebihan. Maka, ekonomi Pancasila harus terus disuarakan untuk disempurnakan demi kesejahteraan dan kemakmuran bersama.


[1] Ibid.,
[2] Ibid., Hal 2.
[3] Ibid.,
[4] Mohammad Hatta, 1979, Ekonomi Terpimpin , Jakarta, Penerbit Mutiara, hal 18..
[5] Allen Lane, 2010, Free Fall; Free Markets and The Sinking of The Global Economy. (Joseph  E. Stiglitz, Profesor Ilmu Ekonomi, peraih hadiah Nobel Ekonomi 2001). Hal 4.
[6] Arif Budimanta, 2012, Ekonomi Pancasila, Ekonomi Kita, Disampaikan pada Seminar Sistem Perekonomian Nasional menurut pasal 33 UUD 1945. Diselenggarakan oleh Pusat Studi Konstitusi, Universitas TriSakti. Jakarta, hal 4.
[7] Ibid.,
[8] Ibid.,
[9] Ibid.,
[10] Ibid.,
[11] Ibid.,
[12] Emil Salim. Ekonomi Pancasila. Kompas 30 Juni 1966.
[13] Ketetapan MPRS No. XXIII adalah suatu keputusan politik yang mengharuskan diutamakannya masalah perbaikan ekonomi rakyat di atas segala persoalan nasional lain, termasuk politik. Konsekuensi keputusan politik ini ialah bahwa politik dalam dan luar negeri pemerintah harus sedemikian rupa hingga benar-benar membantu perbaikan ekonomi rakyat. Lihat Widjojo Nitisastro, Pengalaman Pembangunan Indonesia: Kumpulan Tulisan dan Uraian Widjojo Nitisastro, Jakarta: Kompas, 2010, hlm. 129.
[14] Mubyarto, 2004, Kenaikan Harga BBM tak Sejalan dengan Pemikiran Ekonomi Pancasila, dalam Mubyarto (Ed.), Menggugat Ketimpangan dan Ketidakadilan Ekonomi Nasional: Mengurai Benang Kusut Subsidi BBM dan Defisit APBN, cet. I, Yogyakarta: Aditya Media dan PUSTEP UGM, hlm. 10.
[15] Prinsip demokrasi ekonomi ini terjelma dalam UUD 1945, pasal 23, 27, 33, dan 34. Untuk penjelasan lebih lanjut tentang hal ini, lihat Emil Salim, Sistem Ekonomi Pancasila, Kompas, 30 Juni 1966. Lihat juga Widjojo Nitisastro, Pengalaman Pembangunan Indonesia: Kumpulan Tulisan dan Uraian Widjojo Nitisastro,hlm. 130-131.
[16] Widjojo Nitisastro, Pengalaman Pembangunan Indonesia: Kumpulan Tulisan dan Uraian Widjojo, hlm. 131-132.

Comments

Popular posts from this blog

contoh-contoh kasus dan analisisnya

PERBEDAAN DUTA, DUTA BESAR, KEDUTAAN BESAR, KONSUL, JENDERAL KONSUL, KOMISARIS TINGGI, DAN ATASE

Contoh Surat Dakwaan Kasus Penganiayaan