LANDREFORM
PENDAHULUAN
Landreform yang dalam arti lebih sem-pit
berupa penataan ulang struktur penguasa-an dan pemilikan tanah, merupakan
bagian pokok dalam konsep reforma agraria (agrarian reform). Semenjak era
reformasi, telah terjadi perkembangan yang menggembirakan, di mana telah cukup
banyak pihak yang membi-carakan dan peduli dengan permasalahan ini, meskipun
masih terbatas pada tingkat wacana.
Namun demikian, sampai sekarang belum berhasil
disepakati bagaimana landreform dan agrarian reform (pembaruan agraria)
tersebut sebaiknya untuk kondisi di Indonesia. Beberapa pihak menginginkan
pemba-ruan agraria secara revolusioner (serentak dan menyeluruh), namun pihak
lain menginginkan pola yang lebih lunak secara gradual. Selain perihal pilihan
tersebut masih banyak per-tanyaan yang menggantung yang harus dija-wab dalam
konteks ini, misalnya pembagian peran pemerintah pusat dan daerah.
Menurut Soesangobeng (dalam Sitorus, 2002a)
bidang yang dapat dipindahkan ke pemerintah daerah seyogyanya hanyalah dalam
“urusan agraria”, yaitu bentuk-bentuk dan cara mengusahakan atau mengolah
unsur-unsur tanah, seperti usa-ha pertanian, kehutanan, pertambangan, dan perkebunan.
Sementara, soal hak kepemilikan tanah yang mencerminkan makna tanah seba- gai
simbol kesatuan bangsa dan negara tidak dapat didelegasikan ataupun diserahkan
men-jadi urusan daerah. Artinya, landreform berupa penataan ulang pemilikan dan
penguasaan, biarlah tetap menjadi wewenang pusat, namun aspek-aspek land tenure
dapat diperankan oleh daerah mulai sekarang. Terdapat empat masalah pokok
agra-ria di Indonesia sebagaimana disampaikan dalam Tap MPR No. IX tahun 2001,
yaitu: pemilikan tanah yang sempit dan timpang, konflik pertanahan,
inkosistensi hukum, serta kerusakan sumber daya alam. Seluruhnya mestilah
menjadi agenda yang pokok untuk diselesaikan sebelum sampai kepada peru-musan konsep
landreform yang ideal yaitu “land to tillers”.
Menurut data yang dikum-pulkan oleh
Konsorsium Pembaruan Agraria (2004), per 30 Desember 2001 tercatat telah terjadi
1.753 kasus konflik pertanahan di selu-ruh Indonesia yang mencakup luas
10.892.203 ha tanah, dan melibatkan 1.189.482 keluarga. Khusus pada bidang
pembangunan pertanian, beberapa permasalahan yang diha-dapi adalah semakin
sempitnya penguasaan tanah, sulitnya membendung konversi ke penggunaan
pertanian, konflik penguasaan, serta fragmentasi tanah.
Land man ratio di Indonesia pada tahun 2004
dengan jumlah penduduk diperkirakan 215 juta jiwa dan luas lahan pertanian 7,8
juta ha adalah 362 m 2 per kapita. Angka ini jauh lebih rendah misalnya dibandingkan
dengan Thailand yang mencapai 1870 m 2 per kapita dan Vietnam 1300 m 2 Per kapita.
.
PENGERTIAN LANDREFORM DAN AGRARIAN REFORM
Landreform dan agrarian reform diberi-kan pengertian
yang berbeda-beda oleh para nahli. Namun, dapat disimpulkan bahwa land-reform adalah
salah satu bagian dari agrarian reform (lihat misalnya Wiradi, 1984). Menurut Cohen
(1978), landreform adalah: “...... change in land tenure, especially the
distribution of land ownership, thereby achieving the objective of more
equality”. Jadi inti dari kegiatan landreform adalah redistribusi tanah, sebagai
upaya memperbaiki struktur pengua-saan dan pemilikan tanah di tengah
masya-rakat, sehingga kemajuan ekonomi dapat diraih dan lebih menjamin
keadilan. Agrarian reform, atau adakalanya di-sebut reforma agraria dan
pembaruan agraria (istilah resmi sebagaimana tercantum dalam Tap MPR No. IX
tahun 2001), memiliki pengertian yang lebih luas, yang mencakup dua tujuan
pokok yaitu bagaimana mencapai produksi yang lebih tinggi, dan bagaimana agar
lebih dicapai keadilan (Cohen, 1978). Dalam konteks pembaruan agraria,
pening-katan produksi tidak akan mampu dicapai secara optimal apabila tidak
didahului oleh landreform. Sementara, keadilan juga tidak mungkin dapat dicapai
tanpa landreform. Jadi, landreform tetaplah menjadi langkah dasar yang menjadi
basis pembangunan pertanian dan pedesaan. Dalam pembaruan agraria tercakup
permasalahan redistribusi tanah, pe-ningkatan produksi dan produktifitas,
pengem-bangan kredit untuk pertanian, pajak lahan, hubungan penyakapan dan
regulasi baru sistem pengupahan buruh tani, dan konsoli-dasi tanah. Dengan kata
lain, ada dua pembaruan yang harus dilakukan dalam pembaruan agraria, yaitu
land tenure reform (hubungan pemilik dan penyakap) dan land operation reform
(perubahan luas penguasa-an, pola budidaya, hukum penguasaan, dan lain-lain). Satu
kata kunci yang perlu dipahami sebelum sampai kepada apa yang dimaksud dengan
agrarian reform dan landreform,
DASAR
HUKUM PELAKSANAAN LANDREFORM
Pada bagian muka
telah dikatakan bahwa landreform merupakan satu cara untuk mencapai keadilan
agraria, yaitu keadaan di mana tidak ada lagi pemusatan penguasaan, penggunaan,
pemanfaatan, dan pemeliharaan sumber-sumber agraria. Atas dasar keadilan
agraria itu, penumpukan sumber-sumber agraria pada sedikit orang harus dicegah.
Jika sudah terlanjur terjadi, maka penguasaan dan kepemilikan sumber-sumber
agraria harus ditata ulang. Berdasarkan tujuan mulia ini kita sudah punya dasar
yang kuat untuk menjalankan landreform. Pada bagian muka dari tulisan ini telah
pula dikatakan bahwa landreform bukanlah hal yang sama sekali baru. Pada
permulaan tahun 60-an Indonesia
pernah menyelenggarakan landreform. Program itu hanya berlangsung kurang dari 5
tahun dan tentu saja belum tuntas. Pergantian pemerintahan dari Orde Lama ke
Orde Baru telah membuat landreform seperti kata pepatah: layu sebelum
berkembang. Hambatan untuk mewujudkan landreform ketika Orde Baru berkuasa
telah kita rasakan. Sikap bermusuhan yang diperlihatkan pemerintah Orde Baru
terhadap landreform telah sama-sama kita alami. Namun hal itu sama sekali tidak
menafikan perlunya landreform. Sebaliknya, kegagalan pemerintah Orde Baru dalam
pembangunan pedesaan yang berujung pada krisis telah membuktikan pada kita jalan
landreform adalah jalan yang musti ditempuh. Kini, setelah pemerintahan Orde
Baru berakhir, terbuka peluang baru. Berbeda dengan pemerintah pendahulunya,
pemerintahan yang lahir setelah reformasi ini tampaknya cukup mau belajar dari
pengalaman pendahulunya. Paling tidak, telah terlihat ada kemauan baik untuk
menjalankan kembali landreform atau pembaruan agraria. Adalah tugas kita semua
untuk mendorong agar kemauan baik itu menjadi nyata, tidak terhenti sebagai
kemauan saja. Untuk keperluan praktis, kita harus menggali kembali berbagai
perundang-undangan dan ketentuan-ketentuan pendukungnya. Ketentuan Apa yang
Dapat Kita Manfaatkan untuk Melaksanakan Landreform? Ketentuan pokok untuk
melaksanakan landreform di Indonesia
adalah UUPA (Undang-undang Pokok Agraria, UU No. 5/1960) dan UUPBH
(Undang-undang Perjanjian Bagi Hasil, UU No. 2/1960). Perlu diingat kembali
bahwa kedua ketentuan yang menjadi payung atau ketentuan pokok tersebut hingga
sekarang masih tetap berlaku. Jadi, kalau kita menjalankan (kembali)
ketentuan-ketentuan itu, kita telah menjadi warga negara yang baik. Kita telah
menjalankan perintah yang diamanatkan konstitusi. Tambahan lagi, belum lama ini
pada bulan Nopember 2001 MPR
RI telah menetapkan TAP MPR No.
IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Khususnya
pada pasal 2 dikatakan: Pembaruan agraria mencakup suatu proses yang
berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan,
dan pemanfaatan sumber daya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya
kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh
rakyat Indonesia.
(cetak miring dari penulis) Petikan kalimat pada ketetapan pasal 2 tersebut
“... penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber
daya agraria ...” tidak lain adalah perintah untuk melaksanakan landreform. Bagaimana
Hubungan antara Hak Menguasai Negara (HMN) dengan Landreform? Berdasarkan UUD
1945 dan UUPA, dengan HMN (Hak Menguasai Negara) negara mempunyai kewenangan
untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan
pemeliharaan sumber-sumber agraria, termasuk di dalamnya tanah. Hal inilah yang
menjadi dasar bagi
penyelenggaraan
landreform. Untuk mendapatkan gambaran lebih rinci, marilah kita telusuri
Undang-undang Pokok Agraria (UU No. 5/1960) pada bagian yang mengatur tentang
Hak Menguasai Negara (HMN), khususnya pada pasal 2. Ketentuan pada pasal 2 UUPA
itu merupakan penjabaran lebih lanjut dari pasal 33 (3) UUD 1945 yang berbunyi,
Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Mari kita perhatikan ketentuan pasal 2
dari UUPA berikut ini: Dan ditetapkan hak menguasai negara yang disebutkan dalam
UUD 1945 pasal 33 ayat 3 jo pasal 2 ayat (1) UUPA. Pasal 2 ayat (1) UUPA: Atas
dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai
yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh
Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Apa yang hendak dicapai
oleh HMN adalah untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam arti
kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum,
(pasal 2 (3) UUPA). Bunyi dari Pasal 2 (3) UUPA : Wewenang yang bersumber pada
hak menguasai dari negara tersebut
pada ayat (2)
pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dalam
arti kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara
Hukum Indonesia
yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. (cetak miring dari penulis)
Dengan demikian
kebijakan-kebijakan yang lahir dari HMN tidak boleh menyimpang dari tujuan
mulia ini. Penyelenggaraan HMN dapat didelegasikan kepada daerah-daerah swatantra
(propinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan desa) dan bahkan pada suatu komunitas
adat yang masih kuat keyakinan norma-norma adatnya, (pasal 2 (4) UUPA). Bunyi
dari pasal 2 (4) UUPA tersebut adalah sebagai berikut: Hak menguasai dari
negara tersebut di atas pada pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada
daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar
diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut
ketentuan-ketentuan peraturan
pemerintah.
Kewenangan dari
HMN bukan tanpa batas. HMN tidak boleh mengabaikan
hak-hak atas
tanah yang telah dipunyai oleh warga negara Indonesia
ataupun
badan-badan hukum. Namun jika yang berhaknya tidak ada,
berdasarkan HMN,
negara mempunyai kekuasaan penuh dan luas untuk
memberikannya
dengan suatu hak kepada warga negara atau pun badan
hukum menurut
keperluan maupun peruntukannya.
HMN tidak
menempatkan negara sebagai pemilik tanah, sebagaimana
ketentuan
perundang-undangan kolonial yang dihapuskannya. Dalam hal ini,
negara menurut
pasal 2 (3) UUPA merupakan organisasi tertinggi dari bangsa
Indonesia
yang diberi kekuasaan untuk :
a. mengatur dan
menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan, dan
pemeliharaannya,
b. menentukan
dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas
(bagian dari)
bumi, air, dan ruang angkasa,
c. mengatur dan
menentukan hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan
perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi,
air, dan ruang
angkasa.
Hak itu tidak
lain ditujukan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat dalam
arti kebangsaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam
masyarakat dan
negara hukum. Penyimpangan terhadap tujuan itu, merupakan
pelanggaran
terhadap ketentuan ini.
Dalam
pelaksanaan hak menguasai negara (HMN) berada dalam
kewenangan
Presiden sebagai mandataris MPR yang dibantu oleh Menteri
Agraria dengan
aparat-aparatnya. Menurut pasal 2 (4), penyelenggaraan HMN
dapat
didelegasikan kepada daerah-daerah swatantra (propinsi,
kabupaten/kotamadya,
kecamatan, dan desa) bahkan pada suatu komunitas
adat yang masih
kuat keyakinan norma-norma adatnya.
Dengan demikian
pemerintah daerah atas kekuatan undang-undang bisa
mempunyai
wewenang HMN yang dipegang dan diletakkan pada kepala
daerahnya, dan
bagi persekutuan masyarakat adat dapat diberikan HMN,
sepanjang dalam
persekutuan adat tersebut masih ada dan diakuinya hak ulayat
dari
persekutuannya.
Dengan HMN,
negara mempunyai kewenangan untuk mengatur siapa-siapa
yang berhak
mempunyai hak milik, pembatasan minimal dan maksimal luas
tanah,
pencegahan tanah menjadi terlantar, dan tanda bukti pemilikan atas
tanah. Jika
diperinci, landasan landreform ialah :
a. Ada hak negara untuk menguasai seluruh kekayaan alam Indonesia yang
berlandaskan
pada pasal 33 (3) UUD 945. Hak menguasai oleh negara
mempunyai
kesamaan dengan hak ulayat dalam hukum adat. Dalam hal
ini, negara
diberi wewenang untuk mengatur agar kekayaan itu
mensejahterakan
rakyat, antara lain dengan mengatur peruntukan,
penggunaan,
persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa
(pasal 2 UUPA).
b. Memberikan
kewenangan pada negara untuk mengeluarkan tanda bukti
pemilikan atas
tanah. Pemegang hak milik atas tanah hanya warga
negara Indonesia
tanpa membedakan jenis kelamin. Ketentuan ini
membatasi
kebebasan warga negara asing untuk menguasai tanah
di Indonesia.
Hal ini untuk mencegah beralihnya keuntungan sumber daya
alam Indonesia yang menyebabkan rakyat Indonesia
harus menjadi buruh
tani di tanah
milik warga negara asing.
c. Luas tanah
dengan status hak milik dibatasi luasnya, luas minimal
maupun maksimal.
Pertimbangannya, luas maksimal pemilikan tanah
dibatasi agar
tidak tumbuh lagi tuan tanah yang menghisap tenaga kerja
petani melalui
sistem persewaan tanah atau gadai tanah (pasal 7 jo pasal
17 UUPA).
Pengaturan batas minimal ditujukan agar keluarga petani
tidak hidup dari
luas tanah yang kecil. Hampir dapat dipastikan jika
petani memiliki
sedikit tanah, maka kemampuan menghasilkannya
(produktivitas)
juga sedikit. Pemilikan tanah yang terlalu kecil, tidak hanya
berakibat
kecilnya pendapatan pemiliknya (baca: petani), juga secara
makro (nasional)
merugikan karena rendahnya produktivitas (pasal 13 jo
pasal 17 UUPA).
Pemilikan tanah yang tidak terbatas (tanpa batas
maksimal) akan
membuka peluang bagi sekelompok kecil orang
menguasai tanah
dalam luasan yang sangat besar dan sebagian besar
yang lain
terpaksa hanya mengandalkan tenaganya untuk menjadi buruh.
d. Pemilik yang
berhak atas tanah diharuskan menggarap sendiri tanahnya
secara aktif
(pasal 10 UUPA) sehingga dapat memberi manfaat bagi
dirinya,
keluarga, maupun masyarakat banyak. UUPA melarang pemilikan
tanah pertanian
yang tidak dikerjakan sendiri oleh pemiliknya karena akan
menimbulkan
tanah terlantar (tanah guntai/absente) atau meluasnya
hubungan buruh
tani dan pemilik tanah yang mempunyai kecenderungan
memeras (pasal
10 ayat 1 jo pasal 11 ayat 1).
e. Panitia
landreform akan mendaftar mereka yang mendapatkan pemilikan
tanah atau yang
sudah menguasai hak atas tanah, untuk selanjutnya
mereka akan
diberikan suatu tanda bukti pemilikan hak atas tanah. Alat
bukti pemilikan
itu untuk menjamin kepastian hukum atas tanah.
Dalam
Landreform, Luas Penguasaan dan Pemilikan Tanah Dibatasi
Dalam prinsip
ini dimuat batas minimum luas tanah yang harus dimiliki oleh
seorang petani,
supaya dapat mencukupi dan layak untuk diri sendiri dan
keluarganya.
Kemudian dimuat juga batas maksimum luas tanah yang
dapat dimiliki
oleh seseorang dengan hak milik, untuk mencegah
penguasaan tanah
luas pada tangan segelintir orang (pasal 13 jo pasal 17
UUPA).
Pasal 13 ayat
1–4 UUPA:
(1) Pemerintah
berusaha agar supaya usaha-usaha dalam lapangan
agraria diatur
sedemikian rupa, sehingga meninggikan produksi
dan kemakmuran
rakyat sebagai yang dimaksud pasal 2 ayat (3)
serta menjamin
bagi setiap warga negara Indonesia
derajat hidup
yang sesuai
dengan martabat manusia, baik bagi diri sendiri
maupun
keluarganya.
(2) Pemerintah
mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan
agraria dari
organisasi-organisasi dan perseorangan yang bersifat
monopoli swasta.
(3) Usaha-usaha
pemerintah dalam lapangan agraria yang bersifat
monopoli hanya
dapat diselenggarakan dengan undang-undang.
(4) Pemerintah
berusaha untuk memajukan kepastian dan jaminan
sosial, termasuk
bidang perburuhan, dalam usaha-usaha di
lapangan
agraria.
Pasal 17 ayat
1–4 UUPA:
(1) Dengan
mengingat ketentuan dalam pasal 7 maka untuk mencapai
tujuan yang
dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) diatur luas
maksimum
dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan
sesuatu hak
tersebut dalam pasal 16 oleh satu keluarga atau
badan hukum.
(2) Penetapan
batas maksimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini
dilakukan dengan
peraturan perundangan di dalam waktu yang
singkat.
(3) Tanah-tanah
yang merupakan kelebihan dari batas maksimum
termaksud dalam
ayat (2) pasal ini diambil oleh pemerintah
dengan ganti
kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat
yang membutuhkan
menurut ketentuan-ketentuan dalam
Peraturan
Pemerintah.
(4) Tercapainya
batas minimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini,
yang akan
ditetapkan dengan peraturan perundangan,
dilaksanakan
secara berangsur-angsur.
Pemilikan tanah
yang melampui batas juga dilarang karena dapat
merugikan
kepentingan umum, khususnya rakyat petani. Ketentuan ini
juga dibarengi
dengan keharusan adanya pemberian kredit, pupuk, bibit,
dan bantuan-bantuan
lainnya dengan syarat-syarat ringan (pasal 7 UUPA).
Pasal 7 UUPA :
Untuk tidak
merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan
penguasaan tanah
yang melampui batas tidak diperkenankan.
Apa yang
Diinginkan oleh TAP MPR No. IX/2001 ?
Pada tahun 2001
dalam sidang tahunannya MPR telah menghasilkan sebuah
ketetapan yaitu
TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan
Sumber Daya Alam. Sebuah ketetapan yang perlu kita sambut
dengan terbuka
tanpa kehilangan sikap kritis kita.
Mari kita periksa
secara lebih rinci dalam mukadimahnya (huruf a) dikatakan :
bahwa sumber
daya agraria/sumber daya alam meliputi bumi, air, ruang
angkasa, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagai
rahmat Tuhan
Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia,
merupakan
kekayaan
nasional yang wajib disyukuri. Oleh karena itu, harus dikelola
dan dimanfaatkan
secara optimal bagi generasi sekarang dan generasi
mendatang dalam
rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur;
Pernyataan itu
menegaskan kembali bahwa sesungguhnya sumber daya
agraria/sumber
daya alam merupakan rahmat dari Tuhan dan oleh karenanya
pemanfaatannya,
sesuai dengan sifat Tuhan, memberikan kemaslahatan kepada
seluruh manusia,
tidak sekelompok kecil orang saja. Maslahat sekarang dan di
masa-masa yang akan
datang. Pemanfaatannya tidak lain untuk mewujudkan
masyarakat yang
adil dan makmur.
Lebih lanjut
dikatakan, perlu ditetapkan arah dan dasar pembangunan
nasional, bahwa
(hendaknya) pembangunan nasional dapat menjawab berbagai
persoalan
kemiskinan, ketimpangan, dan ketidakadilan sosial-ekonomi rakyat
serta kerusakan
sumber daya alam. Secara langsung maupun tidak langsung
pernyataan itu
hendak menyatakan bahwa ada masalah pada arah dan dasar
pembangunan kita
selama ini, sehingga perlu ditetapkan kembali, setelah lebih
dari setengah
abad kemerdekaannya.
Bagian mukadimah
huruf c secara jelas mengakui bahwa (selama ini) “…
pengelolaan
sumber daya agraria/sumber daya alam yang berlangsung selama
ini telah
menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur
penguasaan,
pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatannya serta menimbulkan
berbagai
konflik.”
Dengan begitu
ada keinginan kuat di masa-masa mendatang pengelolaan
yang demikian
hendaknya tidak perlu terulang kembali. Bagaimana caranya?
Pada uraian huruf
(e) dari mukadimah dikatakan “bahwa pengelolaan sumber
daya
agraria/sumber daya alam yang adil, berkelanjutan, dan ramah lingkungan
harus dilakukan
dengan cara terkoordinasi, terpadu dan menampung dinamika,
aspirasi dan
peran serta masyarakat, serta menyelesaikan konflik”.
Lebih lanjut
dikatakan “... melibatkan peran serta masyarakat …”. Di masa
lampau, rumusan
ini telah sering terdengar namun yang terjadi adalah
penyimpangannya.
Peran serta masyarakat yang diinginkan hanya sejauh
menyatakan
persetujuan terhadap keinginan pemerintah ketika itu. Kini setelah
situasinya
berubah, kita ingin peran serta itu meneguhkan prakarsa dan
keinginan rakyat
untuk ambil bagian dalam memutuskan kebijakan yang
mempengaruhi
hidup dan kesejahteraannya.
Apa Saja yang
Ditetapkan oleh TAP MPR IX/2001?
Tiga pasal
pertama (pasal 1, 2, dan 3) merupakan ketentuan yang berisi
ketentuan dasar,
bahwa TAP merupakan landasan bagi peraturan perundang-undangan
agraria dan
sumber daya alam (pasal 1). Pasal 2 merupakan
ketentuan bagi
landreform, yang isinya mengatur tentang penataan ulang
penguasaan,
pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria.
Penataan
tersebut mengacu pada tujuan yang hendak dicapai, yakni
terwujudnya
kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran
bagi seluruh
rakyat Indonesia.
Pasal 3 mengatur
tentang pengelolaan sumber daya alam. Prinsipnya sama
dengan
pengelolaan sumber daya agraria sebagaimana yang diatur pada pasal
2. Rumusan
lengkapnya sebagai berikut :
Pengelolaan
sumber daya alam yang terkandung di daratan, laut, dan
angkasa
dilakukan secara optimal, adil, berkelanjutan, dan ramah
lingkungan.
TAP
MPR No. IX/2001 mengamanatkan bahwa Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber
Daya Alam dilaksanakan dengan berpedoman pada prinsip-prinsip :
a
memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia,
b
menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia,
c
menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi
keanekaragaman dalam unifikasi hukum,
d
d. mensejahterakan rakyat terutama melalui peningkatan
kualitas sumber daya manusia Indonesia,
e
e. mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum,
transparansi, dan optimalisasi partisipasi rakyat,
f
f. mewujudkan keadilan termasuk kesetaraan gender dalam
penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan pemeliharaan sumber daya agraria/sumber
daya alam,
g
g. memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat
optimal, baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan tetap
memperhatikan daya tampung dan daya dukung lingkungan,
h
melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi
ekologis sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat,
i
meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antar sektor
pembangunan dan antar daerah dalam pelaksanaan pembaruan agraria dan
pengelolaan sumber daya alam,
j
mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat
hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya
alam,
k
mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara,
pemerintah (pusat, daerah propinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang
setingkat), masyarakat, dan individu,
l
melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan
di tingkat nasional, daerah propinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang
setingkat, berkaitan dengan alokasi dan pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya
alam.
Bagaimana pula
dengan arah kebijakan pembaruan agraria dan pengelolaan
sumber daya
alam? Tentang hal ini diatur dalam pasal 5. Isi lengkapnya sebagai
berikut :
(1) Arah
kebijakan pembaruan agraria adalah:
a. Melakukan
pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan
yang berkaitan
dengan agraria dalam rangka sinkronisasi
kebijakan
antarsektor demi terwujudnya peraturan perundang-undangan
yang didasarkan
pada prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4
Ketetapan ini.
b. Melaksanakan
penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan
dan pemanfaatan
tanah (landreform) yang berkeadilan dengan
memperhatikan
kepemilikan tanah untuk rakyat.
c.
Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan
registrasi
penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah
secara
komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan
landreform.
d. Menyelesaikan
konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya
agraria yang
timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi
konflik di masa
mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan
hukum dengan
didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud
Pasal 4
Ketetapan ini.
e. Memperkuat
kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka
mengemban
pelaksanaan pembaruan agraria dan menyelesaikan konflik-konflik
yang berkenaan
dengan sumber daya agraria yang terjadi.
f. Mengupayakan
dengan sungguh-sungguh pembiayaan dalam
melaksanakan
program pembaruan agraria dan penyelesaian konflik-konflik
sumber daya
agraria yang terjadi.
(2) Arah
kebijakan dalam pengelolaan sumber daya alam adalah :
a. Melakukan
pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan
yang berkaitan
dengan pengelolaan sumber daya alam dalam
rangka
sinkronisasi kebijakan antar sektor yang berdasarkan prinsip-prinsip
sebagaimana
dimaksud Pasal 4 Ketetapan ini.
b. Mewujudkan
optimalisasi pemanfaatan berbagai sumber daya alam
melalui
identifikasi dan inventarisasi kualitas dan kuantitas sumber daya
alam sebagai
potensi pembangunan nasional.
c. Memperluas
pemberian akses informasi kepada masyarakat mengenai
potensi sumber
daya alam di daerahnya dan mendorong terwujudnya
tanggung jawab
sosial untuk menggunakan teknologi ramah lingkungan
termasuk
teknologi tradisional.
d. Memperhatikan
sifat dan karakteristik dari berbagai jenis sumber daya
alam dan
melakukan upaya-upaya meningkatkan nilai tambah dari produk
sumber daya alam
tersebut.
e. Menyelesaikan
konflik-konflik pemanfaatan sumber daya alam yang timbul
selama ini
sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa
mendatang guna
menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan
didasarkan atas
prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ketetapan
ini.
f. Mengupayakan
pemulihan ekosistem yang telah rusak akibat eksploitasi
sumber daya alam
secara berlebihan.
g. Menyusun
strategi pemanfaatan sumber daya alam yang didasarkan pada
optimalisasi
manfaat dengan memperhatikan potensi, kontribusi,
kepentingan
masyarakat, dan kondisi daerah maupun nasional.
Tiga pasal
terakhir (6, 7, dan 8) merupakan ketentuan penutup. Pasal 6 berisi
penugasan pada
DPR dan presiden untuk mengatur lebih lanjut pelaksanaan
TAP ini serta
mencabut, mengubah, dan/atau mengganti semua undang-undang
dan peraturan
pelaksanaannya yang tidak sejalan dengan Ketetapan ini. Pasal 7
berisi penugasan
pada presiden agar melaporkan pada Sidang Tahunan Majelis
Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia
pelaksanaan dari TAP MPR ini.
Sedangkan Pasal
8 menetapkan masa berlakunya ketetapan ini, yakni pada
tanggal 9
November 2001, pada saat TAP ini ditetapkan.
Ketetapan ini
ditandatangi oleh Ketua MPR RI Prof. Dr. H. M. Amien Rais dan
para Wakil Ketua
Prof. Dr. Ir. Ginandjar Kartasasmita, Ir. Sutjipto, Letjen. TNI.
Agus Widjojo,
Drs. H.A. Nazri Adlani, Drs. H. M. Husnie Thamrin, Prof. Dr. Jusuf
Amir Feisal,
S.Pd.
Bagaimana Kita
Harus Bersikap pada TAP MPR No. IX/2001?
Dalam
batas-batas tertentu dapat kita katakan TAP MPR No. IX/2001 tersebut
sebagai
keberhasilan gerakan pembaruan agraria dalam mempromosikan dan
memperjuangkan
agenda pembaruan agraria pada aras politik negara. TAP
MPR No. IX/2001,
dapat menjadi langkah awal untuk menata ulang peruntukan,
pemilikan,
penggunaan, dan pemanfaatan mengenai bumi, air, dan ruang
angkasa, dan
dalam jangka pendek menyelesaikan sengketa agraria secara
mendasar. TAP
MPR No. IX/2001 dapat menjadi pegangan formal mengingat
posisi hukumnya
yang tinggi, di atas undang-undang.
Pengakuan
keberhasilan itu sesungguhnya dapat menipu dan melenakan.
Seolah-olah
dengan ketetapan tersebut persoalan pembaruan agraria menjadi
selesai alias
tinggal menunggu waktu untuk dilaksanakan. Dalam kenyataannya,
TAP MPR No.
IX/2001 itu dapat kita ibaratkan adalah sebuah arena
pertandingan
yang bersifat terbuka. Kelompok manapun dapat masuk dan
memperjuangkan
kepentingannya dalam arena itu.
Pihak yang ingin
menata ulang peruntukan, pemilikan, penggunaan, dan
pemanfaatan
mengenai bumi, air, dan ruang angkasa bukan hanya rakyat saja,
melainkan juga
pengusaha. Di masa lampau pengusaha mendompleng kekuatan
negara untuk
memperoleh tanah-tanah murah. Kini legitimisasi negara yang
menggunakan
kekerasan tidak lagi dapat menimbulkan kepatuhan rakyat,
metode
perampasan itu tidak lagi ekonomis. Dengan penataulangan versinya
sendiri,
pengusaha menginginkan kebutuhan akan tanahnya dapat diperoleh
tanpa
mengakibatkan resiko berusaha yang tidak perlu. Pengusaha sama sekali
tidak berminat
dan tidak akan memperjuangkan nasib petani miskin yang tidak
bertanah.
Pengusaha
mengupayakan penataulangan yang mengikuti kaidah-kaidah
pasar. Mereka
akan mengajukan bentuk pengemasan ulang program-program
redistribusi
tanah dalam format kepentingan para pemilik tanah luas dan
pengusaha, bukan
kepentingan petani kecil dan orang-orang yang menginginkan
keadilan
agraria. Penataulangan yang demikian itu akan lebih memudahkan
mereka (murah
secara ekonomi) untuk mendapatkan tanah bagi kepentingan
usahanya.
Sebagai sebuah
arena yang terbuka, akan berlaku hukum yang sederhana.
Siapa yang kuat
dan menang pengaruh dipastikan akan tampil sebagai
pemenang.
Sebaliknya yang lemah dan lalai akan jadi pecundang. Oleh karena
itu, untuk mengamankan
pembaruan agraria yang berpihak pada rakyat kecil dan
petani miskin,
tidak ada cara lain kecuali kita harus berjuang sekuat tenaga.
Dengan cara
itulah baru ada kemungkinan TAP MPR No. IX/2001 menjadi batu
loncatan untuk
membebaskan kaum tani dari belenggu penindasan yang telah
berakar di
masyarakat.
MPR memberikan
mandat kepada pemerintah dan DPR untuk
mempersiapkan
penyelenggaraan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber
daya alam dengan
kewenangan yang cukup besar. Pemerintah dan DPR diberi
kewenangan untuk
segera mengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaruan agraria
dan pengelolaan
sumber daya alam serta mencabut, mengubah, dan/atau
mengganti semua
undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang tidak
sejalan dengan
ketetapan ini. Kewenangan tersebut merupakan satu keharusan
agar pembaruan
agraria dan pengelolaan sumber daya alam dapat diwujudkan.
Mandat itu
bagaikan pisau bermata dua. Ia dapat menjadi alas baru bagi
perwujudan
pembaruan agraria yang berdimensi keadilan. Hal yang sebaliknya
juga bisa berlaku,
ia menjadi mesin bagi pengusaha untuk mengembangkan
usaha-usaha
skala besar yang kembali mengancam kehidupan rakyat.
Bagaimana sikap
kita terhadap kelahiran TAP MPR No. IX/2001 tentang
Pembaruan
Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam itu? Adakah jaminan
dengan lahirnya
TAP maka landreform khususnya atau pembaruan agraria akan
dijalankan?
Jaminan 100%, tentu saja tidak. Tetapi kita punya kesempatan untuk
memperjuangkan
perwujudannya.
Jika kita
ditanya TAP MPR No. IX/2001 itu, bencana ataukah rahmat?
Keduanya bisa
saja terjadi, tergantung daya dan upaya kita
memperjuangkannya.
PELAKSANAAN LANDREFORM DI INDONESIA
Landreform di Indonesia pernah
diim-plementasikandalam kurun waktu 1961 sam-pai 1965, namun kurang berhasil
(Rajagukguk, 1995). Landasan hukum pelaksanaan land reform di Indonesia adalah
UUPA No. 5 tahun 1960, yaitu pasal 7 dan 17 untuk sumber pe-ngaturan pembatasan
luas tanah maksimum, pasal 10 tentang larangan tanah absentee, dan pasal 53
yang mengatur hak-hak semen-tara atas tanah pertanian. Produk hukum yang secara
lebih tajam lagi dalam konteks ini adalah UU Nomor 56 tahun 1960 tentang Penetapan
Luas Tanah Pertanian, serta PP No 224/ 1961 dan PP No 41/1964 tentang Pembagian
Tanah dan Pemberian Ganti Rugi. Saat program landreform tersebut di-luncurkan, kondisi
politik di Indonesia sedang labil. Pada masa itu dikenal pendekatan “politik sebagai
panglima”, dimana tiap kebijakan pemerintah dimaknai dalam konteks politik. Partai
Komunis Indonesia (PKI) kemudian menjadikan landreform sebagai alat yang ampuh
untuk memikat simpatisan. Landreform diklaim sebagai alat perjuangan partai
mereka, dengan menjanjikan tanah sebagai faktor penarik untuk perekrutan
anggota. Pola ini memang kemudian menjadikan PKI cepat disenangi oleh
masyarakat luas terutama di Jawa yang petaninya sudah merasakan keku-rangan tanah
garapan. Namun bagi petani bertanah luas, landreform merupakan anca-man bagi
mereka, baik secara politik maupun ekonomi, yaitu kekhawatiran terhadap akan menurunnya
luas penguasaan tanah mereka yang akhirnya berimplikasi kepada penurunan pendapatan
keluarga dan kesejahteraan. Program landreform hanya berjalan intensif dari
tahun 1961 sampai tahun 1965. Namun demikian, pemerintahan Orde Baru yang
berkuasa pada masa berikutnya meng-klaim bahwa landrefrom tetap dilaksanakan meskipun
secara terbatas. Dalam makalah Posterman (2002) diuraikan, bahwa dari tahun 1960
sampai 2000 secara akumulatif tercatat telah berhasil dilakukan distribusi
lahan dalam konteks landreform seluas 850.128 ha. Jumlah rumah tangga tani yang
menerima adalah 1.292.851 keluarga, dengan rata-rata keluarga menerima 0,66 ha.
Data ini sedikit berbeda dengan yang dikeluarkan oleh BPN (Kepala BPN, 2001), dimana
dari total obyek tanah landreform 1.601.957 ha, pada kurun waktu 1961-2001 telah
diredistribusikan tanah seluas 837.082 ha (52%) kepada 1.921.762 petani
penerima. Selain itu, untuk tanah absentee dan tanah kelebihan maksimum telah
dilakukan ganti rugi oleh pemerintah seluas 134.558 ha kepada 3.385 orang bekas
pemilik, dengan nilai ganti rugi lebih dari Rp. 88 trilyun. Khusus selama era
pemerintahan Orde Baru, untuk menghindari kerawanan so-sial politik yang besar,
maka landreform di-implementasikan dengan bentuk yang sangat berbeda.
Peningkatan akses petani kepada tanah dilakukan melalui kebijakan berupa penyeimbangan
sebaran penduduk dengan luas tanah, dengan cara memindahkan pendu-duk ke
daerah-daerah yang tanahnya luas melalui transmigrasi. Program ini kemudian dibarengi
dengan program pengembangan PIR (Perkebunan Inti Rakyat). Luas tanah yang
diberikan kepada transmigran dan petani plasma mengikuti ketentuan batas
minimum penguasaan yaitu 2 ha lahan garapan per keluarga.
TUJUAN LANDREFORM
Tujuan yang hendak dicapai oleh landreform
adalah keadilan agraria, yaitu keadaan tanpa konsentrasi atau pemusatan
penguasaan, penggunaan, pemanfaatan, dan pemeliharaan sumber-sumber agraria
pada segelintir orang. Dengan keadilan agraria akan dicapai kesejahteraan
rakyat, terutama rakyat tani di pedesaan sebagai tulang punggung ekonomi negara
agraris. Kesejahteraan rakyat itu berarti juga kemakmuran bangsa dan negara.
Keadilan dan kesejahteraan satu dengan
yang lain saling berhubungan. Adil berarti kebanyakan orang mendapatkan bagian
yang setara, tetapi tanpa kemakmuran, kesetaraan itu bisa berarti pemerataan
kemiskinan. Sebaliknya kemakmuran tanpa keadilan bisa berarti pendapatan yang
sangat besar bahkan berlimpah, namun yang menikmati hanya sekelompok kecil
orang saja.
Untuk mencapai tujuan tersebut, landreform
tidak hanya membagi-bagikan tanah saja. Tetapi, juga meliputi penataan
penguasaan tanah, penatagunaan tanah, penataan produksi pertanian, dan penataan
wilayah pedesaan. Semua penataan tadi tidak akan berarti apa-apa tanpa terlebih
dahulu mendistribusikan tanah kepada petani yang tidak bertanah atau petani
miskin, yang dikenal dengan nama landreform.
Di Negara kita (Indonesia) landreform
merupakan bagian dari Pembaruan Agraria yang didasarkan pada UUPA No. 5/1960,
UU No. 56 Prp/1960, dan UUPBH No. 2/1960. Jadi landreform ini mempunyai landasan
hukum yang sangat kuat. Salah satu pendapat yang menjelaskan tujuan dari
landreform berasal dari Mr. Sadjarwo (Menteri Agraria pada tahun 1960). Hingga
sekarang pendapat tersebut masih dikutip dan dijadikan rujukan ketika orang
membicarakan landreform. Pendapat Mr. Sadjarwo tersebut adalah sebagai berikut
:
§ Untuk mengadakan pembagian yang adil atas
sumber penghidupan rakyat petani yang berupa tanah, dengan maksud agar ada
pembagian hasil yang adil pula, dengan merombak struktur pertanahan sama
sekali, guna merealisir keadilan sosial,
§ Agar tidak terjadi lagi tanah sebagai
objek spekulasi dan objek pemerasan
§ Untuk memperkuat dan memperluas hak milik
atas tanah bagi setiap warga negara, baik laki-laki maupun wanita, yang
berfungsi sosial. Suatu pengakuan dan perlindungan terhadap hak milik sebagai
hak terkuat, bersifat perseorangan dan turun-temurun, tetapi yang berfungsi
sosial,
§ Untuk mengakhiri sistem tuan tanah dan
menghapuskan penguasaan tanah secara besar-besaran dengan tak terbatas, dengan menyelenggarakan
batas maksimum dan batas minimum untuk tiap keluarga
§ Untuk mempertinggi produksi nasional dan
mendorong terselenggaranya pertanian yang intensif secara gotong-royong dalam
bentuk koperasi dan bentuk gotong-royong lainnya, dibarengi suatu sistem perkreditan
yang khusus ditujukan kepada golongan petani.
Comments
Post a Comment