KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) DALAM BERACARA DI MAHKAMAH KONSTITUSI (Analisis Perkara Nomor 29/PUU-XIII/2015 Perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945)




A.    PEMOHON
            Nama SIGIT SUDARMAJI. Tempat, tanggal lahir, Putusibau, 30 April 1974. Agama Islam. Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil di Kementerian Perhubungan. Kewarganegaraan Indonesia. Alamat lengkap, Jalan Dili Nomor 12 Perumahan Antapani, Bandung, Jawa Barat. Nomor telepon rumah, 022-7237730. Nomor telepon seluler, 08156213176.  Pemohon telah bekerja di bidang penerbangan selama 20 tahun. Pemohon mendudukkan diri sebagai perorangan warga negara yang berminat untuk menjadi pelaku usaha penerbangan, yang dalam hal ini kapasitas Pemohon yang belum dapat memenuhi ketentuan jumlah minimal yang harus dimiliki oleh maskapai penerbangan.

B.     DUDUK PERKARA
            Permohonan untuk menguji persyaratan mengenai minimum kepemilikan pesawat udara dan penguasaan pesawat udara. Yang diwajibkan terhadap pelaku usaha penerbangan di Indonesia. Keberadaan Pasal 118 ayat (1) huruf b dan (2) menyatakan bahwa untuk membuka usaha penerbangan diharuskan menguasai 10 pesawat. Dimana 5 diantaranya harus dimiliki.
            Dengan diberlakukan pasal tersebut pemohon merasa berpotensi dirugikan dan dirugikan. Dua hal pertama yang menurut pemohon secara potensial merasa dirugikan adalah bahwa pemohon selaku peminat untuk menjadi pelaku usaha penerbangan merasakan adanya diskriminasi dengan diberlakukannya ketentuan tentang jumlah minimum kepemilikan dan penguasaan pesawat udara tersebut. Ada beberapa kondisi diskriminasi. yaitu yang pertama bahwa pemohon merasa diskriminasi terjadi terhadap pelaku usaha penerbangan secara umum dibandingkan dengan pelaku usaha moda transportasi lain, dimana dalam hal ini Pemohon memperbandingkan dengan moda pelayaran. Dimana secara karakteristik, pelayaran dan penerbangan cukup memiliki kedekatan, baik dari sisi padat modal, padat teknologi, dan padat risikonya, serta dengan distribusi penyebaran pelayaran dan penerbangan di Indonesia, yaitu serupa. Tetapi untuk membentukk bisnis pelayaran hanya dipersyaratkan 1 kapal saja.
            Diskriminasi yang kedua yaitu, masalah perlakuan terhadap pelaku usaha dengan modal terbatas dan modal besar. Dimana yang bermodal besar dikasih kesempatan untuk menjadi pelaku usaha niaga berjadwal dengan 10 pesawat udara. Sedangkan yang tidak menguasai 10 pesawat tidak dapat. Diskrimimasi yang ketiga adalah secara umum, aturan ini hanya berlaku untuk industri penerbangan dalam negeri. Sementara, penerbangan dalam negeri itu dilalui juga oleh maskapai-maskapai dari luar. Sedangkan untuk maskapai luar tidak ada persyaratan tersebut. Diskriminasi keempat kerugian Pemohon dalam kapasitas sebagai pengguna jasa penerbangan dimana Pemohon merasakan kerugian dengan sedikitnya pilihan atau adanya potensinya berkurangnya pilihan bagi Pemohon sebagai pengguna jasa penerbangan dalam memilih jadwal, rute, maupun harga tiket pesawat dikarenakan tidak munculnya perusahaanperusahaan penerbangan yang baru atau adanya potensi ditutupnya perusahaan-perusahaan yang belum dapat memenuhi ketentuan kepemilikan tersebut.
            Dasar uji materinya adalah Hak konstitusi pada Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif itu.” Pasal 28C ayat (2) yang berbunyi “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.” Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi “ Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, keberlanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

C.    ANALISIS
            Salah satu wewenang Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang- undang terhadap Undang- Undang Dasar (Pasal 24C ayat (1) UUD 1945). Secara faktual perkara permohonan pengujian UU (judicial review) adalah perkara yang telah banyak diadili dan diputuskan oleh MK.[1] Dalam sudut pandang hukum tata negara, pengujian konstitusionalitas undang-undang terhadap UUD merupakan cerminan prinsip konstitusionalisme dan negara hukum sebagaimana di kukuhkan dalam pasal 1 ayat (2) dan (3) UUD 1945. Meski pengujian undang-undang (selanjutnya disebut PUU) merupakan salah satu mekanisme kontrol terhadap produk lembaga legislatif, pengujian tersebut tidak bisa datang atas inisiatif MK, tetapi harus ada pihak yang mengajukan permohonan. Terdapat dua isu hukum berkaitan dengan kedudukan hukum (legal Standing) dalam melakukan permohonan pengujian perundang-undangan. Pertama tentang kualifikasi (kriteria) pihak yang dapat menjadi pemohon. Kedua tentang kualifikasi (kriteria) pihak yang dapat menjadi pemohon kerugian konstitusional dimana hal ini berkaitan  dengan bentuk dan sifat kerugian konstitusional.[2] Kualifikasi pihak yang menjadi pemohon tercantum dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) menyatakan pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a.       perorangan warga negara Indonesia;
b.      kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai  dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c.       badan hukum  publik atau privat; atau
d.      lembaga negara. 

            Analisis lebih lanjut dari ketentuan diatas dapat dijabarkan sebagai berikut:
1.      Perorangan Warga Negara Indonesia.
            Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK menyebut perorangan Warga Negara Indonesia (WNI), bukan perorangan sebagai pemohon PUU. Secara a contratrio siapa saja yang bukan WNI tidak memiliki hak untuk bertindak sebagai pemohon. Warga negara yang dimaksud adalah sesuai dengan ketentuan pasal 26 ayat (1) UUD 1945 : “yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara”. Ketentuan ini berkaitan dengan pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Hal ini diperkuat oleh pasal tentang HAM, yaitu Pasal 28D yang mengatur bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
2.      Kesatuan Masyarakat Hukum Adat
            Kualifikasi kedua pemohon dalam perkara PUU adalah kesatuan masyarakat hukum. Ketentuan ini berasal dari Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan :  Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. 
            Lebih lanjut dalam Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, pasal 28I ayat (3) menyatakan bahwa identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Dengan demikian terdapat pengakuan konstitusional atas keberadaan masyarakat adat dan tatanan adatnya dan memberikan peluang bahwa sangat dimungkinkan pengaturannya melalui Undang-undang. Hanya saja terdapat aspek pembatasannya, yaitu pengakuan dan penghormatan tersebut adalah sepanjang masih hidup, sesuai dengan perkembangan masyarakat dan sesuai dengan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.
3.      Badan Hukum Publik atau Privat
            Badan hukum atau legal entity atau legal subject atau rechtpersoon, dalam kajian hukum perdata merupakan subyek hukum, persona ficta atau orang yang diciptakan oleh hukum sebagai persona (orang fiktif). Dalam pasal 1654 BW menyatakan tentang macam-macam badan yang merupakan badan hukum atau badan yang dapat melakukan perbuatan hukum atau menjadi pihak atau subyek dalam suatu hubungan hukum. Menurut Hardijan Rusli, badan hukum adalah badan yang diadakan dan diakui keberadaannya oleh pemerintah, karena dasar hukum berdirinya badan tersebut, dalam hal ini sebuah badan hukum memiliki unsur pokok suatu subyek hukum, yaitu dapat melakukan perbuatan hukum atau dapat menjadi pribadi atau subyek dari suatu hubungan hukum[3].
            Subyek hukum rechtpersoon dalam pengertian yang terbatas sebagai badan hukum, selama ini dipahami terdiri dari badan hukum publik dan badan hukum privat (perdata). Perbedaannya terletak pada kepentingan yang diwakilinya dan pada aktifitas yang dijalankan oleh badan hukum itu sendiri berkaitan dengan hubungan hukum yang bersifat publik atau bersifat perdata.[4] Dari segi subyeknya, suatu badan hukum dapat disebut sebagai badan hukum publik apabila kepentingan yang melatarbelakangi badan itu dibentuk didasarkan atas kepentingan umum (publik), bukan kepentingan individu-individu. Sebaliknya apabila kepentingan yang menyebabkan didirikannya badan hukum didasarkan atas kepentingan pribadi orang per orang, maka badan hukum tersebut disebut badan hukum privat atau perdata. Namun demikian, meskipun dari sisi subyeknya badan hukum itu bersifat publik, badan hukum tersebut tetap dapat melakukan aktifitas dalam lalu lintas hukum perdata, sebaliknya badan hukum perdata juga dapat dibebani hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang bersifat publik dalam lalu lintas hukum publik. Oleh karena itu, unsur-unsur subyektif dan obyektif ini menentukan apakah suatu badan hukum dapat dikategorikan sebagai badan hukum publik atau badan hukum perdata/ privat.[5]
4.      Lembaga Negara
            Lembaga negara atau umumnya disebut juga sebagai organ negara, badan negara, dan alat perlengkapan negara. Keberadaan lembaga negara dalam hal ini berbeda dengan lembaga swasta dan lembaga masyarakat. Lembaga negara dalam bahasa Belanda biasa disebut sebagai staatsorgan, yang dalam bahasa Indonesia identik dengan lembaga negara, badan negara atau disebut juga dengan organ negara. Menurut Kamus Hukum BelandaIndonesia, staatsorgan, diterjemahkan sebagai alat perlengkapan negara.[6]
            Tentang apa yang dimaksud sebagai lembaga negara dalam pengujian UU harus dibedakan dengan lembaga negara dalam perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN). Salah satu wewenang MK adalah memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.[7] Dalam perkara PUU, lembaga negara sebagai pemohon tidak dibatasi hanya lembaga negara yang wewenangnya diberikan oleh UUD 1945. Dengan demikian semua lembaga negara dapat menjadi pemohon perkara PUU. Sesuai dengan putusan Nomor 005/PUU-I/2003 bertanggal 28 Juli 2004, Mahkamah telah menetapkan bahwa istilah lembaga negara tidak selalu dimaksudkan sebagai lembaga negara yang disebutkan dalam UUD 1945 yang keberadaannya atas perintah konstitusi, tetapi ada juga lembaga negara yang dibentuk atas perintah UU dan bahkan ada lembaga negara yang dibentuk atas dasar peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.

            Jika dilihat dengan kualifikasi pasal 51 ayat (1) UU MK maka kedudukan hukum pemohon adalah sebagai Perorangan Warga Negara Indonesia. Seperti terungkap pada Sidang pertama dengan agenda pemeriksaan pendahuluan. Pemohon mendudukkan diri sebagai perorangan warga Negara Indonesia. Pemohon juga telah memenuhi Pasal 2 UU No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, dimana  definisi warga negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Penjelasan pasal 2 tersebut menyatakan bahwa yang dimaksud dengan orang-orang bangsa Indonesia asli adalah orang Indonesia yang menjadi warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri. Telah pula sesuai dengan ketentuan tentang siapa yang termasuk WNI, yang terdapat pada Pasal 4 UU Kewarganegaraan.[8]
            Kedua adalah kerugian konstitusional yang dialami Pemohon. Menurut yurisprudensi Amerika terdapat 3 hal yang harus dipenuhi untuk mempunyai standing to use yaitu:[9]
1.      Adanya kerugian yang timbul karena adanya pelanggaran kepentingan pemohon yang dilindungi secara hukum dan bersifat spesifik, aktual dalam satu kontoversi dan bukan hanya bersifat potensial.
2.      Adanya hubungan sebab akibat (kausalitas) antara kerugian dengan berlakunya suatu UU.
3.      Kemungkinan dengan diberikannya keputusan yang diharapkan, maka kerugian akan dihindarkan atau dipulihkan.

            Sedangkan menurut keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 10/PUU-III/2005 menyatakan kerugian konstitusional sebagai berikut:[10]

1.      Adanya hak konstitusional pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar.
2.      Hak konstitusional pemohon tersebut dianggap oleh pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji
3.      Kerugian yang dimaksud bersifat spesifik (khusus)   dan aktual atau setidaknya potensial yang menurut             penalaran dapat dipastikan akan terjadi (resenebel).
4.      Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang diuji.
5.      Ada kemungkinan dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang di dalilkan tidak akan atau tidak terjadi lagi.

            Jika dilihat dari pernyatan diatas maka Pemohon dirugikan dalam beberapa hal yaitu, Peetama dalam hal ini sebagai orang yang yang berminat untuk menjadi pelaku usaha penerbangan, yang dalam hal ini kapasitas Pemohon yang belum dapat memenuhi ketentuan jumlah minimal yang harus dimiliki oleh maskapai penerbangan. Sehingga Pemohon dirugikan akiabat keinginannya untuk terjun dalam usaha penerbangan tidak dapat terwujud. Hal ini juga merupakan diskriminasi jika dibandingkan dengan usaha jasa transportasi lain seperti jasa pelayaran. Kedua, masalah perlakuan terhadap pelaku usaha dengan modal terbatas dan modal besar. Dimana yang bermodal besar diberi kesempatan untuk menjadi pelaku usaha niaga berjadwal dengan 10 pesawat udara. Sedangkan yang tidak menguasai 10 pesawat tidak dapat. Ketiga adalah secara umum, aturan ini hanya berlaku untuk industri penerbangan dalam negeri. Sementara, penerbangan dalam negeri itu dilalui juga oleh maskapai-maskapai dari luar. Sedangkan untuk maskapai luar tidak ada persyaratan tersebut. Keempat kerugian Pemohon dalam kapasitas sebagai pengguna jasa penerbangan dimana Pemohon merasakan kerugian dengan sedikitnya pilihan atau adanya potensinya berkurangnya pilihan bagi Pemohon sebagai pengguna jasa penerbangan dalam memilih jadwal, rute, maupun harga tiket pesawat dikarenakan tidak munculnya perusahaan-perusahaan penerbangan yang baru atau adanya potensi ditutupnya perusahaan-perusahaan yang belum dapat memenuhi ketentuan kepemilikan tersebut.

            Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemohon telah memenuhi kedua syarat yang ditetapkan dalam hak dan kedudukan hokum (legal standing) untuk mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar baik dari segi kualifikasi pemohon dalam hal ini tercantum dalam pasal 51 ayat(1) UU MK maupun syarat Kerugian dalam hal ini tercantum dalam beberapa Yuriprudensi Mahakamah Konstitusi.





















DAFTAR REFERENSI

Referensi peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Referensi Yurisprudensi
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-I/2003.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUU-III/2005.

Referensi Literatur
Anomim, 2006, Menegakkan Negara Hukum yang Demokratis: Catatan Perjalanan Tiga Tahun Mahkamah Konstitusi 2003-2006, Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta.
Radian Salman dan Rosa Ristawati, 2007,  Kualifikasi Pemohon Dalam Perkara  Pengujian Undang-Undang Di Mahkamah Konstitusi, Artikel SP3, Universitas Airlangga
Hardijan Rusli, 1996, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.


[1] Anomim, Menegakkan Negara Hukum yang Demokratis: Catatan Perjalanan Tiga Tahun Mahkamah Konstitusi 2003-2006, Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006.
[2]
[3] Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996, hal. 164
[4] Ibid., hal 86-87.
[5] Ibid.,
[6] Radian Salman dan Rosa Ristawati, Op.Cit., hal 15.
[7] Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 jo.  Pasal 1 ayat (3) huruf b UU MK.
[8] Lihat pasal 4 UU nomor 12 tahun 206 tentang kewarganegaraan Indonesia. Bahwa saudara pemohon telah masuk dalam salah satu kategori dalam pasal tersebut yaitu pada point a yang berbunyi “setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau berdasarkan perjanjian Pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain sebelum Undang-Undang ini berlaku sudah menjadi Warga NegaraIndonesia”.
[9] Diambil dari Power Point Kardoman Tumangger. Hukum Acara Konstitusi. Universitas Padjajaran. Bandung.
[10] Lihat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 10/PUU-III/2005.

Comments

Popular posts from this blog

contoh-contoh kasus dan analisisnya

PERBEDAAN DUTA, DUTA BESAR, KEDUTAAN BESAR, KONSUL, JENDERAL KONSUL, KOMISARIS TINGGI, DAN ATASE

Contoh Duplik