Kasus Marbury vs Madison di Amerika Serikat (1803)



Kasus Marbury versus Madison adalah satu kasus yang sangat kontroversial dan bersejarah. Dalam putusannya, Mahkamah Agung Amerika Serikat sebenarnya menolak substansi permohonan yang diajukan oleh Marbury dan kawan-kawan. Namun demikian, dalam pertimbangan hukum putusan itu posisi Marbury dan kawan-kawan justru dibenarkan, meski dengan argumentasi yang sama sekali berbeda dari dalil-dalil yang diajukan oleh Marbury dan kawan-kawan. Karena besarnya pengaruhnya di kemudian hari, putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat ini biasa disebut oleh para ahli dengan istilah-istilah bermacam-macam, seperti ‘a landmark decision’ atau ‘the most brilliant innovation’, atau bahkan seperti disebut oleh Erwin Chemerinsky sebagai “the single most important decision in American Constitutional Law
          Adalah John Marshall yang berperan penting dalam penyelesaian kasus Marbury versus Madison (1803) dengan memperkenalkan mekanisme ‘constitutional review’ atau ‘judicial review’ ini pertama kali dalam praktek peradilan di Amerika Serikat. Semula, John Marshall adalah menjabat sebagai Secretary of State dalam Pemerintahan Presiden John Adams yang dikenal sebagai tokoh The Federalist (Partai Federal).
Dalam pemilihan umum tahun 1800 untuk masa jabatan keduanya, John Adams dikalahkan oleh Thomas Jefferson dari Partai Democratic-Republic. Setelah kalah, dalam masa peralihan untuk serah terima jabatan dengan Presiden terpilih Thomas Jefferson, John Adams membuat keputusan-keputusan yang di antaranya, menurut para pengeritiknya dimaksudkan untuk menyelamatkan sahabat-sahabatnya sendiri supaya mendapatkan kedudukan-kedudukan yang penting. Termasuk, Secretary of State John Marshall diangkatnya menjadi Ketua Mahkamah Agung (Chief Justice).


Bahkan sampai menjelang detik-detik saat-saat menjelang jam 0:0 tengah malam tanggal 3 bulan Maret 1801, masa peralihan pemerintahan ke presiden baru, Presiden John Adams, dengan dibantu oleh John Marshall yang ketika itu sudah resmi menjadi Ketua Mahkamah Agung dengan tetap merangkap sebagai Secretary of State, masih terus menyiapkan dan menandatangi surat-surat pengangkatan pejabat, termasuk beberapa orang diangkat menjadi duta besar dan hakim. Di antara mereka itu adalah William Marbury, Dennis Ramsay, Robert Townsend Hooe, dan William Harper yang diangkat menjadi hakim perdamaian (justices of peace).
Sayangnya, copy surat pengangkatan mereka tidak sempat lagi diserahterimakan sebagaimana mestinya. Pada keesokan harinya, tanggal 4 Maret 1801, surat-surat tersebut masih berada di kantor kepresidenan. Karena itu, ketika Thomas Jefferson sebagai Presiden baru mulai bekerja pada hari pertama, surat-surat itu ditahan oleh James Madison yang diangkat oleh Presiden Thomas Jefferson sebagai the Secretary of State menggantikan John Marshall.
            Atas dasar penahanan surat itulah maka Willaim Marbury dkk melalui kuasa hukum mereka, yaitu Charles Lee yang dikenal sebagai mantan Jaksa Agung Federal, mengajukan tuntutan langsung ke Mahkamah Agung yang dipimpin oleh John Marshall agar sesuai dengan kewenangannya memerintahkan Pemerintah melaksanakan tugas yang dikenal sebagai ‘writ of mandamus’ dalam rangka penyerahan surat-surat pengangkatan tersebut.
Karena, pengangkatan mereka menjadi hakim telah mendapat persetujuan Kongres sebagaimana mestinya dan pengangkatan itu telah pula dituangkan dalam Keputusan Presiden yang telah ditandatangani dan telah dicap resmi (sealed). Menurut para penggugat melalui Charles Lee, berdasarkan Judiciary Act Tahun 1789, Mahkamah Agung berwenang memeriksa dan memutus perkara yang mereka ajukan serta mengeluarkan ‘writ of mandamus’ yang mereka tuntut. Tetapi, Pemerintahan Jefferson tetap menolak, bahkan menolak pula memberikan keterangan yang diminta oleh Mahkamah Agung agar Pemerintah menunjukkan bukti-bukti mengapa menurut Pemerintah ‘the writ of mandamus’ seperti yang didalikan penggugat tidak dapat dikeluarkan. Malah sebaliknya, Kongres yang dikuasai oleh kaum Republik yang berpihak kepada Pemerintah Thomas Jefferson mengesahkan undang-undang yang menunda semua persidangan Mahkamah Agung selama lebih dari 1 tahun.
          Pada persidangan yang diadakan kemudian pada bulan Februari 1803, kasus Marbury versus Madison ini kembali menjadi pusat perhatian. Pro kontra muncul dalam masyarakat Amerika Serikat mengenai hal ini. Bahkan dari Pemerintah dan Kongres muncul komentar-komentar yang pada pokoknya tidak berpihak kepada para penggugat.
Tetapi, dalam putusan yang ditulis sendiri oleh John Marshall, jelas sekali Mahkamah Agung membenarkan bahwa pemerintahan John Adams telah melakukan semua persyaratan yang ditentukan oleh hukum sehingga William Marbury dan kawan-kawan dianggap memang berhak atas surat-surat pengangkatan mereka itu menurut hukum. Namun, Mahkamah Agung sendiri dalam putusannya menyatakan tidak berwenang memerintahkan kepada aparat pemerintah untuk menyerahkan surat-surat dimaksud. Mahkamah Agung menyatakan bahwa apa yang diminta oleh penggugat, yaitu agar Mahkamah Agung mengeluarkan ‘writ of mandamus’ sebagaimana ditentukan oleh Section 13 dari Judiciary Act Tahun 1789 tidak dapat dibenarkan, karena ketentuan Judiciary Act itu sendiri justru bertentangan dengan Article III Section 2 Konstitusi Amerika Serikat.
Oleh karena itu, dalil yang dipakai oleh Mahkamah Agung di bawah pimpinan Chief Justice John Marshall untuk memeriksa perkara Marbury versus Madison itu, bukanlah melalui pintu Judiciary Act Tahun 1789 tersebut, melainkan melalui kewenangan yang ditafsirkannnya dari dari konstitusi. Dari sinilah kemudian berkembang pengertian bahwa Mahkamah Agung pada pokoknya merupakan lembaga pengawal konstitusi (the Guardian of the Constitution of the United States of America) yang bertanggungjawab menjamin agar norma dasar yang terkandung di dalamnya sungguh-sungguh ditaati dan dilaksanakan. Dengan sendirinya, menurut John Marshall, segala undang-undang buatan Kongres, apabila bertentangan dengan konstitusi sebagai ‘the supreme law of the land’ harus dinyatakan ‘null and void’. Kewenangan inilah yang kemudian dikenal sebagai doktrin ‘judicial review’ sebagai sesuatu yang sama sekali baru dalam perkembangan sejarah hukum di Amerika Serikat sendiri dan juga di dunia.
          Dengan putusan itu, maka meskipun dalam pertimbangannya membenarkan bahwa hak Marbury dkk adalah sah menurut hukum, tetapi gugatan Marbury dkk ditolak karena Mahkamah Agung menyatakan tidak berwenang mengeluarkan ‘writ of mandamus’ seperti yang diminta. Namun demikian, yang lebih penting lagi putusan itu justru membatalkan undang-undang yang mengatur tentang ‘writ of mandamus’ itu sendiri yang dinilai oleh Mahkamah Agung bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, yaitu tepatnya bertentangan dengan ketentuan Section 2 Article III UUD Amerika Serikat.
Kewenangan untuk membatalkan undang-undang ini sama sekali tidak termaktub dalam UUD, karena itu merupakan sesuatu yang sama sekali baru bahkan dalam sejarah hukum di dunia. Yang ada sebelumnya barulah kewenangan untuk menilai, tetapi tidak sampai membatalkan sebagaimana dilakukan oleh John Marshall. Sebelumnya, jika suatu undang-undang dinilai bertentangan dengan konstitusi, maka hakim memang biasa dipahami mempunyai kewenangan tradisional untuk menyampingkan berlakunya undang-undang bersangkutan dengan cara tidak menjadikannya referensi dalam perkara yang sedangkan diperiksa. Hal semacam ini sebenarnya mirip dengan ‘judicial review’ juga. 
Dalam sejarah pembentukan Konstitusi Amerika Serikat sendiripun soal ini pernah diperdebatkan dan dinilai termasuk ke dalam pengertian ‘judicial review’ juga. Lebih jauh malah, ide ‘judicial review’ itu sendiripun pernah dilontarkan 9 (sembilan) orang peserta Konvensi Konstitusi Amerika Serikat (Constitutional Convention), yang ditolak oleh 2 (dua) orang anggota lainnya. Artinya, dari 55 anggota delegasi yang menghadiri Konvensi tersebut setidaknya ada 11 orang yang tercatat dalam ‘The Madison’s notes” membahas ide itu.
Bahkan seorang dari sembilan peserta pendukung ide itu adalah James Wilson yang berpendapat bahwa “... the courts should have the even broader power to strike down any unjust federal or state legislation”. Selain itu, perlu dicatat pula bahwa lebih dari separuh 13 negara bagian asli Amerika Serikat (original states) sejak sebelumnya memang telah memberikan kepada para hakim mereka masing-masing di semua tingkatan pengadilan kewenangan untuk melakukan ‘judicial review’, yaitu dengan menyampingkan undang-undang yang dianggap tidak adil dalam suatu perkara yang sedang diperiksa, meskipun perkaranya itu tidak berdiri sendiri sebagai perkara ‘judicial review’ seperti yang dikenal sekarang.[1]

7. wewenang yang dimiliki oleh mahkamah konstitusi adalah
            Memutus :
                       -pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
                       - sengketa kewenangan konstitusional antar lembaga Negara
                       -perselisihan hasil pemilu
                       -pembubaran partai politik
                       -pendapat DPR mengenai pelanggaran hukum presiden dan/atau wapres
8. wewenang yang dimiliki oleh mahkamah konstitusi adalah :
                       -pengawal konstitusi (the guardian of the constitution)
                       -penafsir final konstitusi (the final interpreter of constitution)
                       -pelindung hak asasi manusia (the protector of human rights)
                       -pelindung hak konstitusional warga Negara (the protector of the cidzen’s constitusional rights)
                       -pelindung demokrasi (the protector of democracy)
9. Kedudukan mahkamah konstitusi dalam  ketatanegaraan Indonesia
                       a. sebagai lembaga Negara
                       b. pelaku kekuasaan kehakiman
                       c. sejajar dengan lembaga Negara lain
                       d. merdeka (impertial)
11. sumber hukum acara mahkamah konstitusi yaitu meliputi :
a. Undang-Undang Dasar 1945
b. Undang-Undang No.24 Tahun 2003 (dan Undang-Undang terkait)
c. PMK-PMK
d. Putusan Mahkamah Konstitusi
e. Konvensi/Perjanjian Internasional


[1] Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH ,Sejarah Constitutional Review Dan Gagasan Pembentukan Mahkamah Konstitus,http://jimly.com, diakses pada tanggal 20 Februari 2013

Comments

Popular posts from this blog

contoh-contoh kasus dan analisisnya

PERBEDAAN DUTA, DUTA BESAR, KEDUTAAN BESAR, KONSUL, JENDERAL KONSUL, KOMISARIS TINGGI, DAN ATASE

Contoh Duplik