HUKUM TANAH PERDATA HINDIA BELANDA
Hukum Tanah yang Dualistik
A.
POLITIK HUKUM
PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA
Sebagai akibat politik hukum pemerintah jajahan dahulu, maka
sebagaimana halnya dengan hukum perdata, hukum tanah pu seperti telah
dikemukakan dalam uraian 2 dan 9B diatas, berstruktur ganda atau dualistic,
dengan berlakunya bersamaan perangkat peraturan-peraturan Hukum Tanah Adat,
yang bersumber pada Hukum Adat yang tidak tertulis dan Hukum Tanah Barat,
yang pokok-pokok ketentuannya terdapat dalam buku II KUUPdt, yang merupakan
hukum tertulis.
CATATAN :
Ada peraturan-peraturan Hukum Tanah Barat yang tidak bersumber pada
KUUPdt. Sebagaimana contoh dapat disebut lembaga yang dikenal dengan sebutan Bataviase
Grondhuur, yang hukumnya merupakan hukum
kebiasaan dari sebelum berlakunya KUUPdt pada tahun 1848. Lembaga ini
kemudian beberapa bagiannya memperoleh pengaturan dalam apa yang dikenal
sebagai Woonerven Ordonnantie (S.
1918-287, (Star Nauta Carsten, C-Verwer, J. 1933, Prae Advies
Derde Juristem Congress. Jakarta; juga disertai Verwer, J, 1934; De Bataviasche
Gronthuur, Een Europeesch Gewoonterechttelijke Opstalfiguur. NV. Drukkerij J.De
Boer, Tegal).
Dalam hukum
perdata pada garis besarnya diadakan perbedaan antara hukum yang berlaku bagi
golongan Eropa dan Timur Asing pada suatu pihak dan hukum yang berlaku bagi
golongan Pribumi pada lain pihak. Bagi golongan Eropa dan Timur Asing Cina berlaku
Hukum Perdata Barat, yang hampir semuanya merupakan hukum tertulis dan
berpokok pada KUUPdt, KUUH Dagang serta Faillissementverordening. Bagi
golongan Timur Asing bukan Cina berlaku sebagian Hukum Perdata Barat, yaitu Hukum
Kekayaan dan Hukum Waris Testamenter. Mengenai Hukum Pribadi, Hukum Keluarga dan
Hukum Waris abintestato (Hukum Waris tanpa-wasiat), bagi golongan ini
masih berlaku Hukum Adatnya masing-masing. Bagi golongan Pribumi berlaku Hukum
Perdata Adat.
Ini berarti,bahwa
hubungan-hubungan hukum dan peristiwa-peristiwa hukum di kalangan orang-orang
dari golongan Pribumi diselesaikan menurut ketentuan-ketentuan Hukum Adatnya masing-masing.
Demikian juga kalangan oaring-orang dari golonagn yang lain. Hukum yang
diterapkan adalah hukum yang berlaku bagi golongan masing-masing.
Adapun huhungan-hubungan hukum antara orang-orang Pribumi dan orang-orang
nonpribumi diselesaikan oleh apa yang disebut Hukum Antargolongan atau
Hukum Intergentiel. Misalnya seorang wanita pribumi menikah dengan seorang
pria Eropa, seorang Cina membeli lima ekor ayam kampung dari seorang
pedagang Pribumi, seorang Pribumi meninggal
dunia, sedang diantara para ahliwarisnya ada yang berstatus Eropa, petani Pribumi
menyewakan sawahnya kepada perusahaan pabrik gula. Dalam peristiwa-peristiwa
hukum antar golongan yang demikian itu timbul pertanyaan, hukum yang mana atau
hukum apa yang berlaku terhadapnya. Pertanyaan tersebut timbul karena Pemerintah
Hindia Belanda menganut apa yang disebut asas persamaan derajat atau
persamaan penghargaan bagi stesel-stesel hukum yang berlaku, baik Hukum
Barat, Hukum Adat Golongan Pribumi maupun Adat Golongan Timur Asing bukan-Cina.
Tidak ada salah stu di antaranya yang superieur atau dihargai lebih
tinggi dari pada yang lain. Maka dalam menyelesaikan peristiwa-peristiwa hukum
antargolongan tidak mesti salah satu stesel hukum tertentu yang harus
diberlakukan.
Politik hukum tersebut berbeda dengan yang dianut pemerintah
perancis bagi daerah-daerah tanah jajahannya. Di Aljazair misalnya, dalam
hubungan-hubungan hukum antargolongan antara Pribumi Aljazair dan orang Perancis,
selalu Hukum Perancis yang diberlakukan. Hal tersebut berdasarkan keyakinan Pemerintah
dan juga orang-orang Perancis bahwa, bagi orang-orang Aljazair, penerapan dan
penggunaan Hukum Perancis sebagai bagian dari peradaban yang lebih tinggi,
tidak lain akan membawa perbaikan dan peningkatan peradaban. Politik Hukum “assimilate”
tersebut diberlakukan atas dasar keyakinan bahwa Hukum Perancis mempunyai bobot
peradaban yang lebih tinggi (“pre-deminance” dari Hukum Perancis). (Kollewijn,
R. D., 1955, Intergentiel Recht, NV. Uitgeverij W. van
Hoeve,’s Gravenhage, Bandung, halaman 239 dan 248: Intergentiel Recht in
Algerije).
Hukum antargolongan Indonesia, terdiri atas berbagai peraturan
hukum dan asas-asas hukum yang didasarkan pada politik persamaan derajat di
antara stesel-stesel hukum yang ada itu.Bagaimana Hukum Antargolongan Indonesia
menyelesaikan peristiwa-peristiwa hukum antargolongan Indonesia dapat ditunjuk
kepada apa yang diuraikan Gouw Giok Siong (Sudargo Gautama) dalam
bukunya Hukum Antargolongan, suatu pengantar (Penerbitan
Universitas,Jakarta,1957) juga Himpunan Keputusan-Keputusan Hukum
Antargolongan (Ibid,1959).
Adakalanya Hukum Antargolongan memberikan ketentuan-ketentuan
khusus, memberikan ketentuan-ketentuan sendiri. Tetapi biasanya hanya menunjuk
kepada berlakunya atau Hukum Adat atau Hukum Barat bagi suatu hubungan hukum
atau peristiwa hukum yang dihadapi, berdasarkan asas atau factor-faktor
tertentu yang ditemukan dan dikembangkan oleh ilmu pengetahuan serta
yurisprudensi (Hukum Tanah Antargolongan, uraian 22 F).
Comments
Post a Comment