Analisis kasus pencabulan kaitannya dengan teori-teori kriminologi




BAB I  PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pencabulan adalah suatu tindakan kriminal atau kejahatan berwatak seksual, yang terjadi tanda kehendak bersama dalam arti dipaksakan oleh satu pihak ke pihak yang lainnya. Korbannya dapat berada di bawah ancaman fisik dan atau psikologis, kekerasan, dan dalam keadaan tidak sadar dan tidak  berdaya, dibawah umur, atau mengalami keterbelakangan mental, atau dalam kondisi lain yang menyebabkan tidak dapat menolak apa yang terjadi atau tidak dapat bertanggung jawab atas apa yang terjadi padanya.
Saat ini tindak pidana pencabulan merupakan kejahatan yang cukup mendapat perhatian di kalangan masyarakat. Seperti berita yang santer di media akhir-akhir ini yang memberitakan bahwa ada seorang siswa taman kanak-kanak (TK) Jakarta Internasional School (JIS), sebuah sekolah bertaraf Internasional dikabarkan mengalami tindak pidana pencabulan yang dilakukan oleh pekerja sekolah tersebut. 
Jika mempelajari sejarah, sebenarnya jenis tindak pidana ini sudah ada sejak dulu, atau dapat dikatakan sebagai suatu bentuk kejahatan klasik yang akan selalu mengikuti perkembangan kebudayaan manusia itu sendiri, ia akan selalu ada dan berkembang setiap saat walaupun mungkin tidak terlalu berbeda jauh dengan sebelumnya.
Dari fakta fakta diatas,  menunjukkan bahwa kejahatan pencabulan ini adalah isu publik, maka penulis mengangkat masalah ini untuk di analisis kejahatannya berdasarkan cara pandang kriminologinya.

B.  Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang sudah disebutkan diatas, penulis merumuskan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :
1.      Apakah pengertian dari Tindak Pidana Pencabulan dan kriminologi ?
2.      Bagaimanakan hubungan teori-teori kriminologi dengan kasus pencabulan diatas ?


 C. Tujuan Penulisan
        1. Mengerti definisi dari Tindak Pidana Pencabulan dan Kriminologi.
2. Mengerti hubungan antara teori-teori kriminologi dengan Tindak Pidana Pencabulan diatas.

 BAB II
PEMBAHASAN

A.    Rincian Kasus
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait mengatakan kasus pencabulan yang menimpa M, 5 tahun, murid sebuah taman kanak-kanak bertaraf internasional di Jakarta Selatan, merupakan kasus pedofilia.

"Kami sudah menerima laporan keluarga terkait kasus ini pada 22 Maret 2014. Berdasarkan penelusuran kami, para pelaku punya kelainan seksual menyukai anak kecil alias pedofilia," katanya saat dihubungi Tempo, Senin, 14 April 2014.

Indikasi bahwa para pelaku adalah pedofil adalah motif mereka setiap kali beraksi. "Meski belum tahu sudah berapa kali mereka melecehkan korban, sejauh ini tidak ada motif lain seperti pemerasan atau dendam. Ini murni pelampiasan hasrat seksual," katanya. Yang mengejutkan, aksi ini dilakukan secara berkelompok. (Baca:
Siswa TK Internasional Diduga Alami Pelecehan)

Kepada orang tuanya, M menuturkan bahwa dia sudah berkali-kali dilecehkan di toilet sekolah, saat jam pelajaran. Awalnya, M dilecehkan dengan disuruh memegang penis salah seorang pelaku sebagai bentuk hukuman. Namun dalam aksi lain M sengaja digiring oleh seorang pelaku perempuan ke dalam toilet, dilucuti pakaiannya, dan disodomi oleh pelaku pria.

"Mereka memang berkomplot," kata Arist. "Dari penuturan korban saja, kami bisa menilai bahwa ada unsur perencanaan dan persekongkolan di antara pelaku, termasuk perempuan yang ikut berperan," ujarnya. (Baca:
Bocah Korban Pelecehan: Stop, Please Don't Do That)

Dalam kasus ini, Arist menyebut pihak sekolah kebobolan karena menerima pekerja yang punya kelainan seksual. "Seharusnya pengawasan terhadap pekerja dilakukan sangat ketat, meskipun kepada para pekerja alih daya."

Arist mengatakan persekongkolan merupakan modus yang biasa dalam kasus pedofilia. "Biasanya para pedofil berkomplot untuk melakukan aksi pencabulan terhadap anak. "Kasus semacam ini tidak hanya terjadi di sekolah, tapi juga di lingkungan anak jalanan, bahkan lingkungan keluarga," ucapnya. Beberapa kasus yang cukup menonjol ialah pedofilia yang melibatkan warga negara asing di Bali dan Batam beberapa tahun lalu.

Menurut Arist, jumlah kasus kejahatan seksual terhadap anak di Indonesia cukup banyak. "Tahun lalu ada lebih dari sepuluh kasus yang dilaporkan. Kami menduga banyak korban lain tapi enggan melapor karena malu atau memang dapat ancaman pelaku."

Bagi tersangka, polisi bisa mengenakan pasal tentang kejahatan seksual terhadap anak. "Mereka bisa dijerat pasal berlapis karena dalam kasus ini ada unsur perencanaan dan keterlibatan orang lain. Ancaman hukumannya 15 tahun penjara."[1]
PRAGA UTAMA

B.     Pengertian Tindak Pidana Pencabulan
Dalam hal pengertian pencabulan, pendapat para ahli dalam mendefinisikan tentang pencabulan berbeda-beda seperti yang dikemukakan oleh Soetandyo Wignjosoebroto, “pencabulan adalah suatu usaha melampiaskan nafsu seksual oleh seorang laki-laki terhadap seorang perempuan dengan cara menurut moral dan atau hukum yang berlaku melanggar”. Dari pendapat tersebut, berarti pencabulan tersebut di satu pihak merupakan suatu tindakan atau perbuatan seorang laki-laki yang melampiaskan nafsu seksualnya terhadap seorang perempuan yang dimana perbuatan tersebut tidak bermoral dan dilarang menurut hukum yang berlaku. R. Sughandhi dalam asumsi mengatakan tentang pencabulan ialah :
seorang pria yang memaksa pada seorang wanita bukan isterinya untuk melakukan persetubuhan dengannya dengan ancaman kekerasan, yang mana diharuskan kemaluan pria telah masuk ke dalam lubang kemaluan seorang wanita yang kemudian mengeluarkan air mani.[2]

Dari pendapat R. Sughandhi di atas, bahwa pencabulan tersebut adalah seorang pria yang melakukan upaya pemaksaan dan ancaman serta kekerasan persetubuhan terhadap seorang wanita yang bukan isterinya dan dari persetubuhan tersebut mengakibatkan keluarnya air mani seorang pria. Jadi unsurnya tidak hanya kekerasan dan persetubuhan akan tetapi ada unsur lain yaitu unsur keluarnya air mani, yang artinya seorang pria tersebut telah menyelesaikan perbutannya hingga selesai, apabila seorang pria tidak mengeluarkan air mani maka tidak dapat dikategorikan sebagai pencabulan.
Asumsi yang tak sependapat dalam hal mendefinisikan pencabulan tidak memperhitungkan perlu atau tidaknya unsur mengenai keluarnya air mani seperti yang dikemukakan oleh PAF Lamintang dan Djisman Samosir yang berpendapat “perkosaan adalah perbuatan seseorang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita untuk melakukan persetubuhan di luar ikatan perkawinan dengan dirinya”.[3]
C.    Pengertian Kriminologi
Nama Kriminlogi ditemukan oleh P. Topinard (1830-1911) seorang ahli antropologi Prancis, secara harfiah dari kata “crimen” yang berarti kejahatan atau penjahat  dan “Logos” yang berarti Ilmu pengetahuan. Bonger memberikan definisi kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya.[4]
                                    Selanjutnya, Apakah Kasus diatas termasuk dalam obyek Kriminologi ? Jawabannya adalah benar, pencabulan seperti yang terjadi diatas masuk kedalam kategori obyek kriminologi dengan 3 unsurnya adalah:[5]
Ø  Kejahatan, yaitu perbuatan yang disebut sebagai kejahatan. Kriteria suatu perbuatan yang dinamakan kejahatan tentunya dipelajari dari peraturan perundangan-undangan pidana, yaitu norma-norma yang didalamnya memuat perbuatan pidana. Pada pasal 290 (2) KUHP.
Ø  Penjahat, yaitu orang yang melakukan kejahatan. Kejahatan yang dilakuakan semua perbuatan yang dilakukan untuk mendapatkan kenikmatan seksual sekaligus mengganggu kehormatan kesusilaan. Studi terhadap pelaku atau penjahat ini terutama dilakukan oleh aliran kriminologi positive dengan tujuan untuk mencari sebab-sebab orang melakukan kejahatan.
Ø  Reaksi masyarakat terhadap kejahatan dan penjahat (pelaku). Reaksi yang timbul akibat kejahatan ini akan berdampak dalam kehidupan bermasyarakat dengan sebagian atau seluruh persepsi yang dapat diberikan oleh masyarakat untuk kejahatan pencabulan. Dalam kasus ini hal ini tampak dari adanya seseorang yang membuat semacam petisi di dunia maya yang isinya menginginkan pelaku dihukum lebih berat dari yang telah ditentukan oleh  peraturan perundang-undngan yang berlaku.

D.    Kaitan Teori Kriminologi Dengan Tindak Pidana Pencabulan
Melihat kasus pencabulan ini, banyak sekali hal-hal yang selaras (cocok) dengan beberapa teori yang telah kita pelajari dalam ilmu kriminologi. Mari  coba kita hubungkan kasus pencabulan ini dengan beberapa teori di bawah ini :
1.    Teori Asosiasi Diferensial (Differential Association Theory)[6]
Sutherland  menghipotesakan bahwa perilaku kriminal itu dipelajari melalui asosiasi yang dilakukan dengan mereka yang melanggar norma-norma masyarakat termasuk norma hukum. Proses mempelajari tadi meliputi tidak hanya teknik kejahatan sesungguhnya, namun juga motif, dorongan, sikap dan rasionalisasi yang nyaman yang memuaskan bagi dilakukannya perbuatan-perbuatan anti sosial.
Theori asosiasi differensial Sutherland mengenai kejahatan menegaskan bahwa :
a.       Perilaku kriminal seperti halnya perilaku lainnya, dipelajari.
Dalam kasus pencabulan diatas seperti yang sudah kita ketahui bersama bahwa keinginan pelaku untuk melakukan kejahatan tersebut adalah Karena orang tersebut mengalami kelainan seksual, dalam hal ini Pedofilia. Kelainan ini sendiri dapat ditimulkan karena pelaku mengalami perlakuan yang kurang lebih sama pada saat kecil. Jadi kurang lebih hal yang pelaku lakukan dipelajari saat dia menjadi korban dahulu.
b.      Perilaku kriminal dipelajari dalam hubungan interaksi dengan orang lain melalui suatu proses komunikasi.
Di jelaskan dalam berita diatas bahwa pelaku berkomplotan dengan beberapa orang lainnya termasuk salah satunya perempuan. Hal ini menunjukkan adanya komunikasi verbal ataupun sikap antar pelaku untuk merencanakan ataupun pada saat melancarkan aksinya.
c.       Bagian penting dari mempelajari perilaku kriminal terjadi dalam pergaulan intim dengan mereka yang melakukan kejahatan, yang berarti dalam relasi langsung di tengah pergaulan.
Pelaku sama-sama bekerja dalam satu linkup yang sama yaitu, Jakarta Internasional School sehingga sudah pasti berhubungan intim sebab ruang lingkup pekerjaan yang sama kurang lebih mengakibatkan intensitas pertemuan mereka sangat sering dan dapat dipastikan terjadi hubungan yang akrab diantara meraka.  
d.      Mempelajari perilaku kriminal, termasuk didalamnya teknik melakukan kejahatan dan motivasi/ dorongan atau alasan pembenar.
Motivasi atau dorongan atau alasan pembenar pelaku dalam melancarkan aksinya seperti sudah dijelaskan diatas karena pelaku mempunyai kelainan seksual yang menyebabkan mereka tertarik kepada anak-anak dibawah umur.
e.       Dorongan tertentu ini dipelajari melalui penghayatan atas peraturan perundang-undangan; menyukai atau tidak menyukai.
Dalam hal ini mereka tahu bahwa perbuatannya melanggar peraturan perundang-undangan tetapi hal itu tidak diperdulikan oleh pelaku karena dorongan batinnya akibat kelainan seksual tersebut.
f.    Seseorang menjadi deliquent karena penghayatannya terhadap peraturan perundangan lebih suka melanggar daripada mentaatinya.
     Banyak hal yang mendororng pelaku lebih suka melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yaitu penegakan hukum di Indonesia yang lemah, praktek suap menyuap dalam peradilan hukuman yang ringan dain lai-lain.
g.   Asosiasi diferensial ini bervariasi tergantung dari frekuensi, durasi, prioritas dan intensitas.
     Para pelaku bisa saja melakukan kejahatan ini sejak lama sehingga baru dan baru diketahui sehingga dapat pula kejahatan terbebut letah menjadi kebiasaan bagi pelaku dan menjadi sesuatu yang sulit dihilangkan.
h.  Proses mempelajari perilaku kriminal melalui pergaulan dengan pola kriminal dan anti kriminal melibatkan semua mekanisme yang berlaku dalam setiap proses belajar.
     Dalam hal ini menjelaskan bahwa perilaku pelaku tidak hanya didasarkan oleh pergaulan tetapi oleh hal lain seperti melihat video porno melalui media internet untuk mempelajari sesuatu.
i.     Sekalipun perilaku kriminal merupakan pencerminan dari kebutuhan umum dan nilai-nilai, akan tetapi tingkah laku kriminal  tersebut tidak dapat dijelaskan melalui kebutuhan umum dan nilai-nilai tadi, oleh karena perilaku non kriminal pun merupakan pencerminan dari kebutuhan umum dan nilai-nilai yang sama.
Hal ini menjelaskan perbuatan jahat pelaku bukan hanya berdasarkan ekspresi dari kebutuhan nilai-nilai umum namun karena adanya proses pembelajaran yang diterima pelaku kejahatan. Dalam hal ini bukanlah kejahatan yang dilakukan dengan incidental tapi dengan proses pembelajaran bagaimana agar mereka tidak ketahuan dsb.


2.   Teori Kontrol Sosial (Social Control Theory)[7]
Landasan berpikir teori ini adalah tidak melihat individu sebagai orang yang secara intriksik patuh pada hukum, namun menganut segi pandangan antitesis di mana orang harus belajar untuk tidak melakukan tindak pidana. Mengingat bahwa kita semua dilahirkan dengan kecenderungan alami untuk melanggar peraturan-peraturan di dalam masyarakat, delinkuen di pandang oleh para teoretisi kontrol sosial sebagai konsekuensi logis kegagalan seseorang untuk mengembangkan larangan-larangan ke dalam terhadap perilaku melanggar hukum.
Terdapat empat unsur kunci dalam teori kontrol sosial mengenai perilaku kriminal menurut Hirschi (1969), yang meliputi :
a.    Kasih Sayang
Kasih sayang ini meliputi kekuatan suatu ikatan yang ada antara individu dan saluran primer sosialisasi, seperti orang tua, guru dan para pemimpin masyarakat. Akibatnya, itu merupakan ukuran tingkat terhadap mana orang-orang yang patuh pada hukum bertindak sebagai sumber kekuatan positif bagi individu.
Apa yang terjadi kepada pelaku sehingga mengalami kelainan seksual (Pedofil) dikarenakan kurangnya kasih sayang atau perhatian dari orang-orang disekitar pelaku pelaku seperti orang tua, guru, atau pemimpin masyarakat. Sebab menurut teori ini seperti sudah dijelaskan diatas setiap orang memiliki kecenderungan untuk melakukan kejahatan tetapi jika ia mendapat perhatian atau kasih saying dari orang sekitarnya maka hal tersebut dapat dijadikan sebagai alat pencegah dalam melakukan  hal tersebut.
b. Komitmen
Sehubungan dengan komitmen ini, kita melihat investasi dalam suasana konvensional dan pertimbangan bagi tujuan-tujuan untuk hari depan yang bertentangan dengan gaya hidup delinkuensi.
Sehingga dapat dianalogikan seperti ikatan dalam pengetahuan masing-masing orang bahwa jika kita melakukan perbuatan-perbuatan kejahhatan dan bertentangan dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat dapat menyebabkan rusaknya masa depan mereka akibat tindakan mereka tersebut. Hal itulah yang tidak dipahami dan diresapi dengan baik baik oleh pelaku kejahatan ini.
c. Keterlibatan
Keterlibatan, yang merupakan ukuran kecenderungan seseorang untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan konvensional mengarahkan individu kepada keberhasilan yang dihargai masyarakat.
Menyibukkan diri dengan perbuatan-perbuatan yang positif dapat menghindarkan orang untuk melakukan perbuatan kejahatan, hal tersebut yang mungkin tidak dilakukan oleh pelaku sehingga mereka terdorong kepada nafsu mereka dan melakukan perbuatan tersebut.
d.    Kepercayaan
Akhirnya kepercayaan memerlukan diterimanya keabsahan moral norma-norma sosial serta mencerminkan kekuatan sikap konvensional seseorang.
Jika dikaitkan dengan kasus diatas dapat kita lihat bahwa apa yang terjadi pada pelaku mungkin dikarenakan kurangnya memahami kepercayaan yang mereka anut. Sebab tidak ada kepercayaan manapun didunia ini yang tidak melarang perbuatan tersebut.
3.      Radical (critical) Theory[8]
Dalam buku The New Criminology, para kriminolog Marxis dari inggris yaitu Ian Taylor, Paul Walton dan Jack Young menyatakan bahwa adalah kelas bawah, “kekuatan buruh dari masyarakat industry”, yang dikontrol melalui hukum pidana dan para penegaknya, sementara “pemilik buruh-buruh itu” hanya terikat oleh hukum perdata yang mengatur persaingan antar mereka. Institusi ekonomi, kemudian merupakan sumber dari semua konflik; pertarungan antar kelas selalu berhubungan dengan distribusi sumber daya dan kekuasaan, dan hanya apabila kapitalisme dimusnahkan maka kejahatan akan hilang.
Hubungan kasus pencabulan diatas dengan teori tersebut adalah bahwa sesungguhnya Jakarta Internasional School (JIS) tersebut tidak memiliki ijin untuk mengoperasikan sebuah Taman Kanak-Kanak (TK) dan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang menurut saya menjadi biang keladi dari kasus ini. Sebab jika JIS tidak membuka TK dan PAUD tanpa ijin maka hal ini tidak akan terjadi. Selain itu penegak hukum seakan hanya menghukum pekerja yang melakukan perbuatan tidak senonoh tersebut sedangkan pihak sekolah yang sejati melanggar ijin yang diberikan seolah-olah tidak diberikan tindakan.
           


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan 
Kesimpulan Dapat kita ketahui bahwa segala bentuk tindak pencabulan merupakan suatu kejadian sosial yang mempunyai dasar dalam masyarakat. Keadaan masayarakat yang sanantiasa menjadikan dasar perbuatan pencabulan tesbut berlangsung maka perbuatan ini akan terus menjjadi perbuatan yang terus berlangsung hingga akar permasalahan tersbut terselsaikan dengan seluruhnya. Dalam kriminologi teori yang berhubungan adalah teori difensiasi asosiasi yang mempelajari bahwa kejahatan itu dipelajari seseorang oleh orang lain yang berhubungan ataupun berkomunikasi secara intim satu sama lain. Lalu ada teori control social dimana perbuatan pelaku adalah kelalaian seseorang dalam mengontrol warga masyarakatnya. Selanjutnya yang terakhir ada teori radikal yang menjelaskan bahwa perbuatan pelaku diakibatkan karena ada kesenjangan antara kelompok atas dan kelompokm bawah.

B.     Saran 
Sebaiknya tidak hanya pelaku perbuatan tersebut yang di hukum oleh aparat tetapi juga pihak penyelengara pendidikan dalam hal ini Jakarta Internasional School yang ternyata tidak memiliki ijin untuk menyelenggarakan pendidikan.












DAFTAR PUSTAKA

Daftar Buku
·         P.A.F. Lamintang,Dasar-dasar Hukum PidanaIndonesia, (Bandung, : Citra Aditya Bakti, 1997)
·         Topo Santosa. Kriminologi. (Jakarta, : Rajawali Press, 2013)
Daftar Undang-Undang
·         Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak
·         KItab Undang-Undang Hukum Pidana
Daftar Internet
·         Tempo.co (Pelaku Sodomi Murid TK Iternasional Berkomplot) diakses 20 April 2014



[1] Tempo.co (Pelaku Sodomi Murid TK Iternasional Berkomplot) diakses 20 April 2014.
[2] P.A.F. Lamintang,Dasar-dasar Hukum PidanaIndonesia, (Bandung, : Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 41.
[3] Ibid., hal 41
[4] Topo Santosa. Kriminologi. (Jakarta, : Rajawali Press, 2013), hal 9.
[5] Ibid., hal 17.
[6] Ibid., hal 74
[7] Ibid., hal 89.
[8] Ibid., hal 108

Comments

  1. thank nice infonya sangat menarik, silahkan kunjungi balik website kami http://bit.ly/2xuNorl

    ReplyDelete
  2. INGIN DAPAT CUAN BESAR !!
    GABUNG DISINI YUK !!
    LINK HOKI : MARIOQQ88. Org
    WA+62 821-4331-1663

    Link Alternatif :
    - www.marioqq88. org

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

contoh-contoh kasus dan analisisnya

PERBEDAAN DUTA, DUTA BESAR, KEDUTAAN BESAR, KONSUL, JENDERAL KONSUL, KOMISARIS TINGGI, DAN ATASE

Contoh Surat Dakwaan Kasus Penganiayaan