TRAGEDI PENDIDIKAN DI INDONESIA
Menjadi bangsa
yang maju tentu merupakan cita-cita yang ingin dicapai oleh setiap negara di
dunia. Salah satu faktor yang mendukung bagi kemajuan adalah pendidikan. Begitu
pentingnya pendidikan, sehingga suatu bangsa dapat diukur apakah bangsa itu
maju atau mundur, sebab pendidikan merupakan proses mencetak generasi penerus
bangsa. Apabila output dari proses
pendidikan ini gagal maka sulit dibayangkan bagaimana dapat mencapai kemajuan.
Bagi suatu bangsa yang ingin maju, pendidikan harus dipandang sebagai sebuah
kebutuhan sama halnya dengan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Seperti sandang,
pangan, dan papan. Namun, sangat miris rasanya melihat kondisi pendidikan di
Indonesia saat ini.
Sebelum kita membahas mengenai kondisi pendidikan di Indonesia saat ini, sebaiknya kita
melihat definisi dari pendidikan itu sendiri
terlebih dahulu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan
berasal dari kata dasar didik, yang mempunyai arti memelihara dan memberi
latihan (ajaran) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Sedangkan pendidikan mempunyai pengertian yaitu proses pengubahan sikap dan tata laku
seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran
dan latihan.
Ki Hajar Dewantara, sebagai Tokoh Pendidikan Nasional
Indonesia, peletak dasar yang kuat pendidikan nasional yang progresif untuk generasi sekarang dan generasi
yang akan datang merumuskan pengertian pendidikan sebagai berikut :
Pendidikan umumnya berarti daya
upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter),
pikiran (intelektual dan tubuh anak); dalam Taman Siswa tidak boleh dipisahkan
bagian-bagian itu agar supaya kita memajukan kesempurnaan hidup, kehidupan,
kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik, selaras dengan dunianya
(Ki Hajar Dewantara, 1977:14)
Dari
etimologi dan analisis pengertian pendidikan
di atas, secara singkat pendidikan dapat
dirumuskan sebagai tuntunan pertumbuhan manusia sejak lahir hingga tercapai
kedewasaan jasmani dan rohani, dalam interaksi dengan alam dan lingkungan
masyarakatnya.
Bagi orang-orang yang berkompeten terhadap bidang pendidikan akan menyadari bahwa dunia pendidikan kita sampai saat ini masih mengalami
“sakit”. Dunia pendidikan yang “sakit” ini
disebabkan karena pendidikan yang seharusnya
membuat manusia menjadi manusia, tetapi dalam kenyataannya seringkali tidak
begitu. Seringkali pendidikan tidak
memanusiakan manusia. Kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sistem pendidikan yang ada.
Masalah pertama adalah bahwa pendidikan,
khususnya di Indonesia, menghasilkan “manusia robot”. Kami katakan demikian
karena pendidikan yang diberikan ternyata
berat sebelah, dengan kata lain tidak seimbang. Pendidikan
ternyata mengorbankan keutuhan, kurang seimbang antara belajar yang berpikir
(kognitif) dan perilaku belajar yang merasa (afektif). Jadi unsur integrasi
cenderung semakin hilang, yang terjadi adalah disintegrasi. Padahal belajar
tidak hanya berfikir. Sebab ketika orang sedang belajar, maka orang yang sedang
belajar tersebut melakukan berbagai macam kegiatan, seperti mengamati,
membandingkan, meragukan, menyukai, semangat dan sebagainya. Hal yang sering
disinyalir ialah pendidikan seringkali
dipraktekkan sebagai sederetan instruksi dari guru kepada murid. Apalagi dengan
istilah yang sekarang sering digembar-gemborkan sebagai “pendidikan yang menciptakan manusia siap pakai”. “Siap
pakai” di sini berarti menghasilkan tenaga-tenaga yang dibutuhkan dalam
pengembangan dan persaingan bidang industri dan teknologi. Memperhatikan secara
kritis hal tersebut, akan nampak bahwa dalam hal ini manusia dipandang sama
seperti bahan atau komponen pendukung industri. Itu berarti, lembaga pendidikan diharapkan mampu menjadi lembaga produksi
sebagai penghasil bahan atau komponen dengan kualitas tertentu yang dituntut
pasar. Kenyataan ini nampaknya justru disambut dengan antusias oleh banyak
lembaga pendidikan.
Masalah kedua adalah sistem pendidikan
yang top-down (dari atas ke bawah)
atau kalau menggunakan istilah Paulo Freire (seorang tokoh pendidik dari
Amerika Latin) adalah pendidikan gaya bank.
Sistem pendidikan ini sangat tidak membebaskan
karena para peserta didik (murid) dianggap manusia-manusia yang tidak tahu
apa-apa. Guru sebagai pemberi mengarahkan kepada murid-murid untuk menghafal
secara mekanis apa isi pelajaran yang diceritakan. Guru sebagai pengisi dan
murid sebagai yang diisi. Otak murid dipandang sebagai safe deposit box, dimana pengetahuan dari guru ditransfer kedalam
otak murid dan bila sewaktu-waktu diperlukan, pengetahuan tersebut tinggal
diambil saja. Murid hanya menampung apa saja yang disampaikan guru. Jadi
hubungannya adalah guru sebagai subyek dan murid sebagai obyek. Model pendidikan ini tidak membebaskan karena sangat menindas
para murid. Freire mengatakan bahwa dalam pendidikan
gaya bank pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka
yang menganggap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak
mempunyai pengetahuan apa-apa.
Yang ketiga, dari model pendidikan
yang demikian maka manusia yang dihasilkan pendidikan
ini hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis
terhadap zamannya. Manusia sebagai objek (yang adalah wujud dari dehumanisasi)
merupakan fenomena yang justru bertolak belakang dengan visi humanisasi,
menyebabkan manusia tercerabut dari akar-akar budayanya (seperti di dunia
Timur/Asia). Bukankah kita telah sama-sama melihat bagaimana kaum muda zaman
ini begitu gandrung dengan hal-hal yang berbau Barat? Oleh karena itu strategi pendidikan di Indonesia harus terlebur dalam
“strategi kebudayaan Asia”, sebab Asia kini telah berkembang sebagai salah satu
kawasan penentu yang strategis dalam bidang ekonomi, sosial, budaya bahkan
politik internasional. Bukan bermaksud anti-Barat kalau hal ini penulis
kemukakan. Melainkan justru hendak mengajak kita semua untuk melihat kenyataan
ini sebagai sebuah tantangan bagi dunia pendidikan
kita. Mampukah kita menjadikan lembaga pendidikan
sebagai sarana interaksi kultural untuk membentuk manusia yang sadar akan
tradisi dan kebudayaan serta keberadaan masyarakatnya sekaligus juga mampu
menerima dan menghargai keberadaan tradisi, budaya dan situasi masyarakat lain?
Dalam hal ini, makna pendidikan menurut Ki
Hajar Dewantara menjadi sangat relevan untuk direnungkan.
DAFTAR PUSTAKA
Dewantara, Ki Hajar.1977. Ki Hajar Dewantara: Pendidikan, Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.Yogyakarta: Teplok Press.
Fauzan,
Dede. 2013. 7 Penyebab Mutu Pendidikan di
Indonesia Rendah. (Online), (http://event.republika.co.id/berita/event/bagimu-guru/12/07/01/m6gwld-7-penyebab-mutu-pendidikan-di-indonesia-rendah).
Di
akses 4 Januari 2013.
Muliani. 2012. Masalah Pendidikan di Indonesia. (Online), (http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=Masalah%20Pendidikan%20di%20Indonesia&nomorurut_artikel=364). Diakses 2 Januari 2013.
Wibowo,
Timothy. 2012. Wajah Sistem Pendidikan di
Indonesia. (Online), (http://www.pendidikankarakter.com/wajah-sistem-pendidikan-di-indonesia/).
Diakses 4 Januari 2013.
Comments
Post a Comment