penemuan hukum
Penemuan hukum ini lazimnya
diartikan sebagai pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum
lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum
yang konkrit (dikutip dari buku “Mengenal Hukum Suatu Pengantar”
karangan Sudikno Mertokusumo, hal. 162).
Mengapa
Hakim melakukan penemuan hukum? Sebab dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman
Nomor : 4 tahun 2004 pasal 16 ayat (1), menyatakan bahwa pengadilan tidak boleh
menolak untuk memeriksa, megadili, dan memutuskan suatu perkara yang diajukan
dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas melainkan wajib untuk
memeriksa dan mngadilinya. Dengan kata
lain jika tidak ada Undang-Undang yang mengatur ataupun tidak jelas tentang
perkara tersebut Hakim wajib menggali hal tersebut (judge made law) agar tidak
terjadi kekosongan hukum. Akan tetapi walaupun Hakim melakukan penemuan hukum,
namun hakim bukanlah pemegang kekuasaan Legislatif. Oleh karena itu, keputusan
hakim hanya berlaku pada pihak-pihak yang bersangkutan. Hal itu ditegaskan
dalam pasal 21 A.B., bahwa Hakim tidak dapat member keputusan yang akan berlaku
sebagai peraturan umum.
Penemuan hukum sendiri
dibedakan menjadi dua, pertama penemuan hukum untuk perkara yang undang-undang
sama sekali tidak mengaturnya, kedua ada undang-undang yang mengaturnya tetapi
tidak jelas.
Pertama-tama kita akan
membahas penemuan hukum pada perkara yang tidak diatur oleh undang-undang.
Dalam hal ini hakim dapat melakukan konstruksi hukum. Contohnya seperti ada
seorang laki-laki yang berjanji akan menikahi tetapi pada kenyataannya setelah
sang perempuan hamil ternyata laki-laki tersebut tidak menepati janjinya
tersebut. Perempuan terbebut melaporkan tindakan tadi ke polisi dan disidangkan
di pengadilan. Hakim dapat melakukan konstruksi hukum dengan menggunakan pasal
tentang penipuan walaupun penipuan dalam KUHP hanya meliputi harta kekayaan (benda)
tetapi hakim dapat mengibaratkan “kegadisan” perempuan tesebut sebagai benda.
Kedua penemuan hukum
jika perkara tersebut sudah ada undang-undang yang mengatur tetapi kurang
jelas, dapat dilakukan dengan cara penafsiran undang-undang. Ada beberapa jenis
penafsiran, yaitu sebagai berikut:
1. Penafsiran
tata bahasa (gramatikal), yaitu cara penafsiran berdasarkan pada bunyi
ketentuan undang-undang. Sebagai contoh dapat dikemukakan hal sebagai berikut:
suatu peraturan perundang-undangan melarang orang memparkir kendaraannya pada
suatu tempat tertentu. Orang lalu bertanya-tanya, apakah yang dimaksud dengan
perkataan “kendaraan” itu, hanya kendaraan bermotorkah ataukah termasuk juga
sepeda dan bendi.
2. Penafsiran
sahih, (autentik, resmi) ialah penafsiran yang pasti terhadap kata-kata itu
sebagaimana yang diberikan oleh pembentuk Undang-Undang, misalnya pasal 98
KUHP: “malam” berarti waktu antara matahari terbenam dan matahari terbit.
3. Penafsiran
historis
-
Sejarah hukum, maksudnya berdasarkan sejarah
terjadinya hukum tersebut. Sejarah terjadinya hukum dapat di selidiki dari
memori penjelasan, laporan-laporan perdebatan dalam DPR dan surat menyurat
antara Menteri dengan Komisi DPR yang bersangkutan.
-
Sejarah undang-undangnya, maksudnya
pembentuk Undang-Undang pada waktu membuat undang-undang itu,misalnya didenda f
25,-, sekarang ditafsirkan dengan uang Republik Indonesia, sebab harga barang
lebih mendekati pada waktu KUHP itu dibuat.
4. Penafsiran
sismatis, (dogmatis) penafsiran menilik susunan yang berhubungan dengan bunyi
pasal-pasal lainnya baik dalam undang-undang itu maupun dengan undang-undang
yang lain misalnya “asas monogami” tersebut di pasal 27 KUHS menjadi dasar
pasal-pasal 34, 60, 64, 86, KUHS dan 279 KUHS.
5. Penafsiran
nasional, ialah penafsiran menilik sesuai tidaknya dengan sistem hukum yang
berlaku misalnya hak milik pasal 570 KUHS sekarang harus ditafsirkan menurut
hak milik sistem hukum Indonesia (pancasila).
6. Penafsiran
teologis, (sosiologis) yaitu penafsiran mengingat maksud dan tujuan
undang-undang itu. Ini penting disebabkan kebutuhan-kebutuhan berubah menurut
masa sedangkan bunyi undang-undang tetap sama saja.
7. Penafsiran
ekstensif, memberi tafsiran dengan memperluas arti kata-kata dalam peraturan
itu sehingga suatu peristiwa dapat dimasukkannya seperti “aliran listrik”
termasuk benda.
8. Penafsiran
restriktif, ialah penafsiran dengan mempersempit arti kata-kata dalm peraturan
itu, misalnya “kerugian” tidak termasuk kerugian tak berwujud seperti sakit,
cacat dsb.
9. Penafsiran
analogis, member tafsiran pada suatu peraturan hukum dengan member kiasan pada
kata-kata tersebut sehingga sesuai dengan asas hukumnya. Misalnya “menyambung”
aliran listrik dianggap sama dengan “mengambil” aliran listrik.
10. Penafsiran
a contrario, ialah suatu cara menafsirkan undang-undang yang didasarkan pada
perlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dan soal yang diatur dalam
suatu pasal undang-undang. Contoh pasal 34 KUHS menentukan bahwa seorang
perempuan tidak diperkenankan menikah lagi sebelum lewat 300 hari setelah
perkawinannya terdahulu diputuskan. Sedangkan laki –laki tidak berlaku. Hal ini
ditujukan untuk mencegah keragu-raguan kedudukan sang anak.
Sumber :
kansil,CST.1989.Pengantar Ilmu Hukum dan
Tata Hukum Indonesia.Jakarta: Balai Pustaka
Comments
Post a Comment