Perbedaan Hukum Adat Indoensia dan Hukum Modern
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum
adat merupakan suatu
istilah yang diterjemahkan dari Bahasa Belanda. Pada
mulanya hukum adat itu dinamakan “adat recht
” oleh Snouchk Hurgronje dalam bukunya yang berjudul “De Atjehers”. Buku ini
artinya adalah orang-orang Aceh. Mengapa
Snouchk Hurgronje memberi
judul “Orang-orang Aceh ?” karena
pada masa Penjajah Belanda orang Aceh sangat berpegang teguh pada hukum Islam
yang saat itu dimasukkan ke dalam hukum adat. Istilah Adatrecht
digunakan juga oleh
Van Vollenhoven dalam bukunya
yang berjudul “Het Adat-Recht Van Nederlandsch Indie” yang
artinya hukum ada
Hindia Belanda. Mengapa
Van Vollenhoven memberi judul
hukum adat Hindia
Belanda dalam Bukunya ? Karena
Van Vollenhoven menganggap bahwa rakyat
Indonesia banyak yang menganut hukum adat pada masa Hindia Belanda.
Melalui buku “Het
Adat-Recht Van Nederlandsch”
Van Vollenhoven dianggap sebagai
Bapak Hukum Adat
karena masyarakat Indonesia
menganggap bahwa sebutan hukum adat bagi
hukum yang digunakan
oleh Bumiputera merupakan buah pemikiran Van Vollenhoven. Jika diamati
sebenarnya asal mula
hukum adat itu
dari Bahasa Arab yaitu
“adati” yang berarti
kebiasaan masyarakat. Pada abad
19 pada saat peraturan-peraturan agama mengalami kejayaan timbullah
teori “Receptio in
complexu” dari Van
den Berg dan Salmon Keyzer yang menyatakan bahwa “hukum adat itu merupakan penerimaan dari
hukum agama yang dianut oleh
masyarakat”. Tetapi hal
ini ditentang keras
oleh Smouchk Hurgronje, Van
Vollenhoven dan Ten Haar Bzn. Walaupun hukum agama itu mempunyai pengaruh terhadap perkembangan hukum
adat, tetapi tidak
begitu besar pengaruhnya karena
pengaruh hukum agama
hanya terbatas pada beberapa daerah
saja.
B.
Rumusan Masalah
Apa
perbedaan antara Hukum Adat di Indonesia dan Hukum Modern di Indonesia ?
C. Tujuan
Untuk mengetahui perbedaan hukum adat di
Indonesia dan hukum adat modern di Indonesia
D. Manfaat
Agar mahasiswa lebih mengerti tentang
perbedaan hukum adat di Indonesia dan hukum adat modern di Indonesia
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
ISTILAH
DAN PENGERTIAN HUKUM ADAT
Dalam sistem hukum Indonesia, hukum adat disebut
hukum tidak tertulis (unstatuta law),
yang berbeda dengan hukum continental sebagai hukum tertulis (statuta law). Dalam sistem hukum
Inggris, hukum tidak tertulis disebut “common
law” atau “Judge made law”.
Tidak dapat di sangkal lagi, tidak satu negara pun
di dunia ini yang tidak mempunyai tata hukumnya sendiri. Betapa pun
sederhanannya sebagai negara berdaulat mempunyai tata hukumnya sendiri yang
bersumber dari pikiran bangsa itu sendiri. Di Indonesia, jauh sebelum
kemerdekannya, bahkan jauh sebelum bangsa eropa datang ke bumi nusantara,
masyarakat hukum adat sudah mempunyai sistem hukum sendiri, sebagai pedoman
dalam pergaulan hidup masyarakat, yang dinamakan “hukum adat”.
Van Vollenhoven telah menunjukan betapa eratnya
persenyamanan antara hukum adat dengan budaya suatu bangsa. Hukum suatu bangsa
adalah pancaran dari salah satu aspek budaya bangsa yang bersangkutan. Hukum
dapat dibangun dengan segala apa yang menjadi milik budaya itu sendiri.
Berdasarkan bahan yang digunakan itu, hukum dapat dibangun dengan bahan-bahan
yang bersifat riil, idiil, dan bahasa sebagai sarana dan alatnya. Bahan riil maksudnya adalah berdasarkan
lingkungan hidup yang mengitari hidup bangsa itu. Lingkungan hidup maksudnya
adalah segala keadaan yang mengitari ruang dimana bangsa itu berada, baik
mengenai hal- hal yang bersifat fisik maupun yang bersifat suasana. Bahan Idiilartinya cita-cita dan akal
budi budaya bangsa itu. Cita-cita dan akal budaya meliputi segala apa yang
sifatnya rasional maupun irrasional.
Hukum adat merupakan produk dari budaya yang
mengandung substansi tentang nilai-nilai budaya sebagai cipta, karsa, dan rasa
manusia. Dalam arti bahwa hukum adat lahir dari kesadaran atas kebutuhan dan keinginan manusia untuk hidup secara adil
dan beradab sebagai aktualisasi peradaban manusia. Karena itu hukum adat adalah
suatu model hukum dibangun baik bersifat riil maupun idiil dari bangsa
Indonesia dengan bahasa suku bangsa itu.[1]Hukum
adat juga sebagai model hukum secara jelas dikemukakan oleh Moh. Koesno, yakni
suatu model hukum dari rumpun suku Melayu sebagai pernyataan dari suku bangsa
itu.
Pandangan dan pendapat yang telah dikemukakan para
ahli menunjukan telah terjadi suatu perkembangan pengertian hukum adat.
Sekurang-kurangnya ada dua faktor utama yang mendasari perkembangan itu, yakni
sebagai berikut :
·
Fungsi dan kedudukan hukum adat dalam
pembinaan Hukum Nasional.
·
Hukum Nasional yang dalam pembinaan
harus berdasarkan kepribadian atau kebudayaan bangsa Indonesia.
Sebagian pendapat yang telah mengemuka, permasalahan
pokok dalam lingkungan hukum adat adalah selain bentuknya tidak tertulis atau
tidak dikodifikasikan, juga mengenai pengertian hukum adat itu sendiri. Hal
inilah yang menyebabkan timbulnya pendapat atau pandangan negatif yang dikemukakan oleh beberapa ahli hukum
adat dapat dikemukakan sebagai berikut :
·
Pandangan bahwa hukum adat sebagai hukum
tidak tertulis, di negara Indonesia dewasa ini, dan lebih –lebih di masa yang
akan datang di pandang sebagai sesuatu yang tidak mempunyai arti atau tempat
lagi berdasarkan ketentuan yang ada (lihat Bab IV tentang Pola Umum Pelita Kedua
dari TAP MPR No.14 tahun 1973).
·
Pandangan bahwa hukum adat sebagai hukum
tidak tertulis, dianggap dan diartikan lebih lanjut sebagai suatu sistem hukum
yang tidak menjamin adanya kepastian hukum, yang dalam pelaksanaanya
dikhawatirkan akan menimbulkan kekacauan saja.
·
Hukum adat di pandang oleh sebagian
sarjana hukum Indonesia sebagai kebiasaan yang hidup didalam masyarakat.[2]
Iskandar Muda (1607-1636) Aceh
Darussalam. Selain itu ditemukan di dalam “Kitab
Hukum Safinahtul Hukkam Fi Takhlisil Khassam”, yang ditulis oleh Jalaluddin
bin syeh Muhammad Kamaludin (Bahtera bagi Semua Hakim dalam Menyelesaikan Semua
Orang yang Berkesumat). Didalam pembukaan kitab tersebut ditulis;” Dalam
memeriksa perkara maka hakim harus memperhatikan Hukum Syarak, Hukum Adat,
serta Adat dan Resam”.[3]
Dalam literatur, perkataan “adat”
adalah suatu istilah yang dikutip dari bahasa Arab yang dalam bahasa daerah
maupun dalam Bahasa Indonesia tidak asing lagi. Di dalam bahasa Arab perkataan
“adat” adalah “Adah”, artinya
“kebiasaan”, yakni perilaku masyarakat yang selalu terjadi. Selain itu, ada
yang menyebutkan berasal dari kata urf di
maksudkan adalah semua kesusilaan dan kebiasaan Indonesia ( peraturan,
peraturan hukum dalam yang mengatur hidup bersama).
B. PERBEDAAN KEBIASAAN DAN
ADAT
Kebiasaan
·
Kebiasaan tidak mempunyai sanksi
Dalam arti jika ada yang melanggarnya tidak akan
dikenakan ancman hukuman atau sanksi itu sendiri.
·
Kebiasaan Bersumber Dari Tingkah Laku
Masyarakat
Dimana kebiasaan ini berasal dari tingkah laku masyarakat
yang berbeda dengan adat yang biasannya bersumber dari pemimpin adat setempat.
Adat
·
Adat Mempunyai Sanksi
Maksud dari adat mempunyai sanksi ini adalah bagi
siapa yang melakukan pelanggaran terhadap aturan maka akan dikenai sanksi
·
Hukum Adat Merupakan Sumber Hukum dari
Penguasa Adat
Dalam artian hukum adat di ciptakan dari penguasa
adat.
Pada dasarnya istilah hukum adat
sebenarnya sebagai penegasan dari hukum rakyat Indonesia yang masing-masing
daerah berbeda-beda tetapi tujuannya sama sebagai pengendalian masyarakat.
Berdasarkan macam-macam adat, pembagian yang terinci dapat dilihat dari
masyarakat Minangkabau dan Lombok. Dikalangan pandai adat di Minangkabau
perincian adat terdapat dua kategori sebagai berikut :
·
Adat dikategorikan sebagai adat yang
bersifat mutlak artinya berlaku tanpa mengenal waktu, tempat, dan terhadap
siapapun juga, dan yang hanya terdiri dari hukum alam, ada juga mengandung
hukum kodrat, dinamakan adat sabana adat.
·
Adat tidak di kategori adat yang bukan
Sabana adat, yang berfungsi sebagai pedoman masyarakat untuk bertingkah laku,
yang diperinci:
Ø Adat
istiadat;
Ø Adat
yang teradat;dan
Ø Adat
yang diadatkan.
Sedangkan di Masyarkat Sasak, terdapat pembagian
adat yang dibedakan menjadi tiga jenis adat, antara lain sebagai berikut.
1.
Adat
hidup
Artinya segala upaya yang harus
dilakukan oleh masyarakat dalam menghadapi kejadian-kejadian dan fase-fase
kehidupan seseorang,misalnya waktu kelahiran, peningkatan kepada suatu umur,
tercapainnya masa kedewasaan.
2.
Adat
Bulan
Artinya segala upaya yang perlu
dilaksanakan oleh masyarakat dalam menjelang bulan-bulan yang menurut
kepercayaan masyarakat itu, bulan yang baik atau yang buruk.
3.
Adat
Mati
Artinya adat berisikan segala upaya
yang harus diambil bila terjadi kematian seorang warga masyarakat yang
bersangkutan.[4]
Penjabaran menurut R.T. Tampubolon sebagaimana
dikutip A.B. Sinaga yang dianggap sebagai spesies adat adalah tingkatan atau
bidang-bidang yang diatur oleh adat bersifat menyeluruh, penjabarannya dapat
dilakukan secara kuantitatif maupun
secara kualitatif . Secara kuantitatif dapat dibedakan adat anak lahir, adat
mendapatkan anak, adat bercucu, adat meniggal dunia, dan adat pemujaan nenek
moyang. Penjabaran ini dapat diperluas tetapi tidak pernah dapat ekshausif,
Secara kualitatif adat terdiri atas tiga tingkatan, dimana setiap tingkatan
seluruh hidup tercakup dalam adat itu.[5]
Tiga tingkatan tersebut dipaparkan
berikut ini :
·
Adat
Inti
Pengertian adat di sini, seluruh kehidupan yang
terjadi in illo tempore pada
permulaan penciptaan, tatkala segala pengada dan pribadi illahi di panggil oleh
“Debata Muljadi Na Bolon” (Tuhan Maha Pencipta) menjadi ada. Adatinti diberikan
serentak dengan penciptaan itu secara komis dan monoistis kepada pengada
pengada itu.
·
Adat-na
Tradat
Adat ini adalah adat yang dijumpai secara konkret
pada suatu kelompok masyarakat. Adat tersebut memiliki ciri khas pragmatisme
dan fleksibilitas yang mencoba menampung sebanyak dan sesetia mungkin
muatan-muatan adat inti dari
tradisi nenek moyang.
·
Pseudo-Adat
atau Adat Nantiadathon
Yang dimaksud dengan adat naniadathon adalah adat
yang sudah dipengaruhi budaya dan peradaban modern yang telah menjadi kebiasaan
dan kelaziman baru, dan melalui adat
naniadathon dapat menjadi adat baru.
Hukum adat tersusun dalam tingkatan, koencaraningrat
mengelompokan ke dalam empat tingkatan, yaitu tingkatan nilai, budaya, norma,
hukum,serta aturan khusus.
C. CIRI-CIRI DAN SIFAT-SIFAT HUKUM ADAT
Ciri hukum Adat (Prof Koesno)
(1) Hukum
Adat pada umumnya hukum tidak tertulis;
(2) Aturan-aturan
pada hukum adat terdiri dari asas-asas saja;
(3) Asas-asas
tersebut terdapat dalam pepatah-pepatah;
(4) Kepala
adat selalu di mungkinkan ikut campur dalam segala urusan.
Sedangkan ciri- ciri hukum adat
(1) Komunal
Hak-hak individu dapat diimbangi dengan hak umum;
(2) Konkret
Yang menjadi objek dalam hukum adat harus jelas;
(3) Kontan
Perjanjian dalam hukum adat harus
diikuti penyerahan kontan;
a.
Magis
Perbuatan-perbuatan mengandung
hal-hal gaib, bila dilanggar akan dapat bencana.
·
Pengertian Magis- Religius
(1) Percaya
pada makhluk-makhluk halus,roh-roh yang menempati seluruh alam;
(2) Percaya
pada kekuatan sakti;
(3) Kekuatan
sakti yang dapat digunakan untuk menolak gaib untuk mencapai tujuan manusia;
(4) Ketentuan
sakti yang membahayakan manusia.
D. CIRI-CIRI HUKUM MODERN
Sebelum mempelajari mengenai
ciri-ciri hukum modern , harus diketahui mengenai definisi hukum modern , hukum
modern itu terbarukan atau muktahir serta diiringi dengan sikap dan cara
berpikir dan bertindak sesuai dengan tuntutan zaman atai suatu sistem hukum
yang menunjukkan ciri-ciri yang menggambarkan sistem hukum dari negara-negara
industri.
Ciri-ciri Hukum Modern
(1) Uniform
Dalam artian bahwa hukum modern itu berisi
aturan-aturan hukum yang diterapkan dengan cara yang tidak berbeda;
(2). Transaksional
Hak –hak dan kewajiban diberikan secara
berbanding menurut hasil transaksi;
(3).
Universatlitas
Penerapan undang-undang dapat
di ulang, ulang dan diramaikan;
(4). Hirarkis
·
Terjadi sistem peradilan bertingkat.
E. PANDAGAN HUKUM ADAT
1. Sumpah Pemuda 1928
Pengertian hukum adat juga terdapat
dalam sumpah pemuda 1928. Pada tahun 1928, para pemuda bangsa Indonesia yang
berdasarkan kebangsaan: jong java,
Jong Soematra, Pemuda Indonesia, Seka Roekoen,Jong Islamieten Bond, Jong
Bataks Bond,Jong Celebes, Pemoeda Kaum Betawi, dan perhimpunan Perlajar
Indonesia, mengadakan kongres Pemuda. Kongres itu telah menghasilkan Putusan
Kongres Pemuda Indonesia, yang didalamnya ditegaskan dalam bentuk paham
persatuan Indonesia, yakni keyakinan persatuan Indonesia dengan memperhatikanm
dasar persatuan yaitu :kemauan,sejarah,bahasa, hukum adat, pendidikan dan
kepandoean.
Isi putusan ini menunjukan
pertama-tama mengenai fungsi atau peranan hukum adat dalam ideology, yaitu
merupakan salah satu dasar persatuan Indonesia. Dalam pernyataan ini hukum adat
diterima sebagai hukum, merupakan nilai hukum bersama dari seluruh rakyat dan
mengikat seluruh bangsa Indonesia menjadi satu bangsa Pikiran tersebut sesuai
dengan pandangan yang hidup pada masa itu didalam kalangan Ilmu Politik, yang
berpendapat bahwa bangsa hanya dapat disebut bangsa bila mempunyai hukumnya
sendiri. Serta Hukum Adat yang dinyatakan sebagai dasar persatuan Indonesia
dalam ideologi kebangsaan.
2.
Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum
Nasional
Pada seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional
yang diadakan di Yogyakarta pada tanggal 15-17 Januari 1975 berhasil memberikan
rumusan hukum adat. Sesuai dengan pengertian dan penafsiran yang dipergunakan
dalam seminar, hukum adat dirumuskan sebagai hukum Indonesia asli yang tidak
tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia, yang disana-sini
mengandung unsur agama. Sebenarnya, pandangan bahwa unsur agama memberi
pengaruh terhadap perwujudan hukum adat bukanlah hal baru, hal ini telah
dikemukakan oleh Soekanto, juga Djojodigoeno, yang dapat disimpulkan bahwa
hukum adat disana-sini dipengaruhi oleh unsur agama.[6]
3.Menurut
Yurisprudensi
Pendapat Makhamah Agung mengenai pengertian hukum
adat, dapat dilihat dalam Putusan Pengadilan Negeri Bandung, tanggal 13 Agustus
1960 No.5 Tahun 1969/ Sipil menentukan Pasal 26 Jo. Pasal 19 PP No.10 Tahun
1960 bukan hukum memaksa .[7]
F. KONSEPTUALISASI HUKUM ADAT
Konseptualisasi hukum adat
merupakan penegasan dan pemahaman terhadap perkembangan isi pengertian dan
penerimaan hukum adat. Hal ini dapat dilihat dalam perkembangannya mulai dari
masa sebelum penjajahan sampai masa kemerdekaan.
1.
Masa
Pra-Kolonial
Pada periode sebelum penjajahan berlangsung, bangsa
Indonesia sudah mengadakan kontak dengan bangsa-bangsa lain. Sejalan dengan
adanya kontak tersebut terjadi juga perubahan-perubahan dalam pergaulan hidup.
Tetapi bagaimana pertumbuhan dan perkembangan hukum yang hidup dan berlaku pada
masa dan berlaku pada waktu itu adalah hukum asli bangsa Indonesia yang
dianggap masih murni dari pengaruh-pengaruh luar.
2.
Masa
Kolonial
Masa colonial merupakan tahap di mana telah terjadi
usaha untuk memberikan definisi hukum adat yang dasar pemikirannya tidak
berlandaskan pada dasar-dasar pemikiran ilmiah yang dianut pada masyarakat adat
Indonesia. Usaha tersebut dengan berpangkal pada pemikiran barat, dirintis oleh
Snouck Hurgronje dengan menggunakan bahan-bahan empiris, dimana cara dan
ukurannya berdasarkan ukuran ilmiah barat(ilmu social) lalu dicoba untuk
mentapkan isi hukum adat. Sehingga hukum
adat yang diterjemahkan menjadi “Adatrecht”
merupakan introduksi dan permulaan tentang pengakuan eksistensi hukum adat
sebagai hukum orang Indonesia Pribumi di dalam lingkungan Ilmu Pengetahuan
Hukum Barat.
3.
Masa
Pergerakan Kebangsaan
Pada tahun 1928 pemuda pergerakan Indonesia
mengadakan kongres yang melahirkan “Sumpah Pemuda”. Bagi bangsa Indonesia
Sumpah Pemuda merupakan imajinasi dari kemerdekaan Indonesia dan merupakan
pergerakan dalam menginspirasikan terbentuknya NKRI. Menurut Koesnoe tahun 1928
merupakan tahun yang penting bagi hukum adat, karena dinyatakan sebagai dasar
persatuan yang dalam ideologi Kebangsaan tersebut sebagai pengatur dan pengikat
persatuan.
4.
Masa
Kemerdekaan
17 Agustus 1945 merupakan tahap pemikiran dan
pandangan hukum adat secara benar-benar menurut paham nasional. Artinya, tahap
dimana hukum adat terjelma dalam kehidupan nasional yang sesungguhnya, yaitu
rakyat yang bernegara merdeka menurut hukum adat. Oleh karena itu, tahap
pemikiran ini dapat dikatakan tahap konseptualisasi nasional dari hukum adat,
yakni melihat hukum adat sebagai Hukum Nasional Indonesia. Konsep ini terlihat
dari tiga buah dokumen negara, yatiu pembukaan UUD 1945, Batang Tubuh UUD 1945,
dan penjelasan UUD 1945.[8]
C.
HUKUM
ADAT SEBAGAI PENCERMINAN JIWA MASYARAKAT INDONESIA
Hakikat kehidupan manusia adalah
suatu kehidupan bersama di dalam suatu organisasi teratur yang dinamakan
masyarakat. Artinya manusia tidak dapat hidup sendiri, manusia yang dalam kenyataannya
selalu memerlukan bantuan orang lain di sebut makhluk sosial (Zoon Politicon)
oleh Aristoteles. Bahkan menurut P.J Bouman manusia baru menjadi manusia selalu
hidup bersama dengan manusia. Adanya kekuatan yang melekat dimana manusia hidup
dalam kewajiban untuk hidup secara teratur. Kekuatan-kekuatan itu diwujudkan
dalam norma-norma atau kaidah-kaidah yang digunakan sebagai petunjuk atau
pedoman bagaimana seharusnya manusia berperilaku.
Dalam hidup bersama sebagaimana
disebutkan agar hubungan bersama itu atau hubungan antar manusia dapat
berlangsung dengan lancer, di perlukan dan harus di jamin oleh norma atau
kaidah. Kedua istilah ini mempunyai arti yang sama hanya berbeda asalnya, norma
berasal dari bahasa latin, sedangkan kaidah berasal dari bahasa arab.
Norma adalah suatu ukuran yang
harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannya dengna sesamanya ataupun dengan
lingkungannya. Dalam perkembangannya, norma diartikan sebagai suatu ukuran atau
pedoman bagi seseorang dalam bertindak atau bertingkah laku dalam masyarakat.[9]
Sudikno Mertokusumo menggunakan
istilah “kaidah” yang mengatakan bahwa,”Kaidah” yang mengatakan bahwa,” Kaidah
lazimnya diartikan sebagai peraturan hidup yang menentukan bagaimana itu
seyogyanya berperilaku, bersikap di dalam masyarakat agar kepentingannya dan
kepentingan orang lain terlindungi.
D.
HUKUM
ADAT SEBAGAI THE LIVING LAW
Identitas hukum adat sebagai hukum yang hidup dapat
dipedomani dari pendapat Vinogradoff. Istilah Living Law pertama kali diperkenalkan Eugen Erlich dalam
bukunya Grundlegungung der Soziology of Law (1913) di dalam satu bab yang
berjudul The Study of The Living Law.
Istilah ini muncul sebagai reaksi terhadap aliran ilmu hukum yang bersifat
legalistis, yang sangat mengutamakan peraturan hukumdalam perundang-undangan
dan mengabaikan fenomena hukum yang lain sebagai sasaran penyelidikannya.
Aliran legisme menganggp bahwa semua
hukum hanya dapat ditemukan di dalam peraturan perundang-undangan, di luar
undang-undang tidak ada hukum. Tentu pandangan ini sempit dan tidak sesuai
dengna perkembangan hukum sekarang ini (hukum modern).[10]
E. KEDUDUKAN
HUKUM ADAT DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA
Sistem hukum Indonesia mengenal hukum tertulis dan
tidak tertulis. Pengakuan terhadap keberadaan hukum tidak tertulis secra
tersurat dalam penjelasan Umum UUd 1945, yang menyatakan: Úndang-undang suatu
negara ialah hanya sebagian dari hukumnya negara itu. UUD ialah hukum dasar
tertulis, sedang disampingnya berlaku juga hukum dasar tidak tertulis, ialah
peraturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan
negara meskipun tidak tertulis.
Adapun hukum tidak tertulis meliputi hukum dasar
tidak tertulis, yaitu kebiasaan-kebiasaan ketatanegaraan yang timbul dan
terpelihara dalam praktik penyelenggaraan fungsi kenegaraan (biasa disebut
konvensi ketatanegaraan atau constitutional convention), dan hukum tidak
tertulis lainnya, seperti hukum adat dan hukum kebiaaan yang hidup dan dihayati
oleh rakyat Indonesia dalam kehidupan kemasyarakatannya..
Aturan hukum tidak tertulis terbentuk bukan karena
ditetapkan oleh pimpinan persekutuan, melainkan tumbuh dari tahapan kebiasaan,
kemudian dari kebiasaan ke tata kelakuan, dari tata kelakuan ke adat istiadat,
dari adat istiadat ke norma hukum. Semua itu berlangsung setelah nilai-nilai
yang dihayati oleh paguyuban masyarakat itu mengendap pada masing-masing
tahapannya, dibawah saringan cita hukum dan cita moral yang berlaku dalam
masyarakat yang bersangkutan.
Hukum adat sebagai hukum tidak tertulis merupakan
salah satu bagi dari hukum nasional yang eksistensinya sejak zaman colonial
secara tegas dimaksudkan sebagai aturan bagi golongan pribumi (Pasal 131 IS).
Setelah mereka, selain masih dianut pluralism hukum berdasarkan Aturan
Peralihan Pasal II UUD 1945, yang antara lain masih menempatkan hukum adat
sebagai hukum masyarakat pribumi. Pancasila dan UUD 1945 telah member landasan
untuk mengangkat hukum adat sebagi sumber hukum nasional. Dalam arti, menarik
segi-segi baik dari hukum adat dan membuang segi-segi yang tidak relevan dengan
perkembangan iptek.
Kedudukan hukum tidak tertulis dalam kaitannya
dengan perundang-undangan (hukum tertulis), sistem hukum nasional Indonesia mendahulukan
hukum tertulis dari hukum tidak tertulis jika ada benturan. Tetapi jika hukum
tertulis tidak mengatur maka hukum tidak tertulislah yang terakhir mengaturnya.
Jdi, peran hukum tidak tertulis bersifat anvullend (mengisi) terhadap hukum
tertulis. Sistem hukum tertulis dan hukum tidak tertulis keduanya saling melengkapi
satu sama lain, meskipun hukum tertulis mendapat tempat yang diutamakan.
Walaupun pembentukan hukum adat berbeda dengan undang-undang, hukum adat tetap
mempunyai kekuatan yang legal, karena masyarakat mentaatinya. Baik tertulis
maupun tidak tertulis masing-masing mempunyai kebaikan dan kelemahan.
Pengakuan hukum adat di bawah undang-undang membawa
keberadaan hukum adat bergantung sekali dengan belas kasihan undang-undang.
Dalam hal demikian terdapat superioritas undang-undang di atas hukum adat.
Artinya bahwa pengakuan dan berlakunya hukum adat tergantung kepada hukum yang
berlaku. Maka hukum adat dijadikan landasan pembentukan hukum agrarian dapat
ditafsirkan hukum adat mengenai asas-asanya, seperti kebersamaan, kekeluargaan,
gotong royong, dinamis, dan bukan terhadap ketentuannya yang merinci.
F. Sistem
Hukum Adat
Suatu sistem merupakan susunan yang teratur dari
beberapa unsure, dimana unsure yang satu dan yang lain secara funsional saling
bertautan, sehingga memberikan suatu kesatuan pengertian. Sebagaimana
dikemukakan bahwa hukum adat adalah hukum asli Indonesia, mempunyai corak khas,
yang mungkin tidak dijumpai di negara lain, sehingga sistem hukum adat berbeda
dengan sistem hukum yang lain.[11]
Apabila dibanding dengan hukum barat (hukum Eropa)
maka sistematika hukum adat sangat sederhana, bahkan kebanyakan tidak
sistematis. Hukum adat tidak mengenal perbedaan antara hukum public dan hukum
privat, tidak membedakan antara hak kebendaan dan hak perorangan, dan tidak
membedakan perkara perdata dan perkara pidana. Sedangkan hukum Eropa yang
membedakan hukum yang bersifat public dan hukum yang bersifat privat. Pembagian
hukum ini berasal dari Romawi, hukum public dipertahankan oleh pemerintah, dan
hukum privat dipertahankan oleh pribadi-pribadi.
Berdasarkan penyelidikan yang dilakukan oleh ahli
hukum adat, maka sistem hukum adat berbeda dengan sistem hukum barat. Sistem
umum hukum adat adalah konkret atau kontan atau nyata atau riil.[12]
G. Wilayah
Hukum Adat
C.Van Vollenhoven, menurut hukum adat daerah
nusantara dapat dibagi menjadi 19 lingkungan hukum adat, pembagian tersebut
didasarkan dengan pengklasifikasian bahasa-bahasa Austronesia, bahasa-bahasa
Indonesia, dan bahasa-bahasa di Madagaskar sampai lautan teduh. Metode yang
digunakan, mula-mula ia mengananlisis ciri-ciri khusus yang berlaku di setiap
lingkungan. Ciri-ciri khusus tersebut diuji terhadap sistem-sistem yang
terdapat pada masyarakat didaerah-daerah yang semula diidentifikasikan sebagai
tempat-tempat yang secara hipotesis diberi nama lingkungan hukum adat.
Sistem-sistem hukum adat yang tidak mempunyai cirri-ciri tersebut, kemudian
dikeluarkan serta diberi klasifikasi tersendiri yang selanjutnya merupakan
lingkungan hukum adat, yang oleh murid-muridnya dianalisis kembali sehingga
menghasilkan sebanyak 19 lingkungan hukum adat.[13]
Adapun ke-19 lingkungan hukum adat itu adalah
sebagai berikut.
1. Aceh
(Aceh Besar, Pantai Barat Aceh, Singkel, Simeulue).
2. Gayo,
Alas, dan Batak.
a. Tanah
Gayo (Gayo Lueus)
b. Tanah
Alas
c. Tanah
Batak (Tapanuli).
1. Tapanuli
Utara
a. Pakpak-Batak
(Barus)
b. Karo-Batak
c. Simalungun-Batak
d. Toba-Batak
(Samosir, Balige, Laguboti, Lumban Julu)
2. Tapanuli
Selatan
a. Padang
Lawas (Tano Sapanjang)
b. Angkola
c. Mandailing
(Sayurmatinggi)
2.a.Nias (Nias Selatan)
3. Daerah
Minangkabau (Padang, Agam, Tanah Datar, Limapuluh Kota, Daerah Kampar, Kerinci)
4. Sumatra
Selatan
A.
Bengkulu (Rejang)
B.
Lampung (Abung, Peminggir, Pubian, Rebang, Gedongtataan, Tulangbawang)
C.
Palembang (Anak-Lakitan, Jelma Daya, Kubu, Pasema, Semendo)
4.a.Enggano
5. Daeah
Melayu (Lingga Riau, Indragiri, Pantai Timur Sumatra Utara, Orang-orang Banjar.
6. Bangka
Belitung
7. Kalimantan
(Daya, Bagian Barat Kalimantan, Kapuas Hulu, Kalimantan Tenggara, Mahakam Hulu,
Pasi, Dayak Kenya, Dayak Klementen, Dayak Landak dan Tayan, Dayak Lawang, Lepo
Alim, Lepo-Timei, Long Glatt, Dayak-Mayaan-Pantai, Dayak Maan Siung,
Dayak-Ngaju, Dayak-Ot-Dannum, Dayak-Penyabung-Punan).
8. Minahasa
(Manado).
9. Gorontalo
(Bolaang Mongondow, Boalemo)
10. Daerah/Tanah
Toraja (Sulawesi Bagian Tengah, Toraja, Orang Toraja berbahasa Baree, Toraja
Barat, Sigi, Kaili, Tawaili, Toraja Sadan, To mori, To Lainang, Kepulauan
Banggai)
11. Sulawesi
Selatan (Orang Bugis, Bone, Laikang, Ponre, Mandar, Makasar, Selayar, Mona)
12. Kepulauan
Ternate (Ternate, Tidore, Halmahera, Tobelo, Pulau Sula)
13. Maluku-Ambon
(Ambon, Banda, Orang uliaser, Saparua, Buru, Seram, Kepulauan Kei, Kepulauan
Aru, Kisar)
14. Irian
15. Kepulauan
Timur (Kelompok Timor, Tmur, Bagian Tengah Timor, Mollo, Sumba, Bagian Tengah
Sumba, Sumba Timur, Kodi, Flores, Ngada, Roti, Safu Bima)
16. Bali
dan Lombok (Bali, Tangan Pagrigsingan, Kastala, Karang Asem, Buleleng,
Jembrana, Lombok, Sumbawa)
17. Jawa
Tengah dan Jawa Timur termasuk Madura (Jawa bagian Tengah, Kedu, Purworejo,
Tulungagung, Jawa Timur, Surabaya, Madura)
18. Daerah
Kerajaan (Solo-Yogyakarata)
19. Jawa Barat
(Parahyangan, Tanah Sunda, Jakarta, Banten)
[1] Moh. Koesnoe, Hukum Adat Sebagai Suatu Model (Bagian I Historis), Mandar Maju,
Bandung,1992,hlm.3-4
[2] BPHN, Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional,Binacipta,
Bandung,1976, hlm.101-102
[3] Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju,
Bandung,1992,hlm.9.
[5] B.A. Simanjuntak
(1986),Op.Cit.,hlm.87-88
[6] Abdurrahman, Op.Cit.,hlm.20.
[7] Soleman B. Taneko, Hukum Adat : Suatu Pengantar Awal dan Prediksi Masa
Mendatang, Eresco, Bandung,1987,hlm.12.
[8] Saleh Adiwinata, Pengertian Hukum Adat Menurut Undang-Undang Pokok Agraria, Alumni,Bandung,1976,hlm.78.
[9] Maria, Farida Indrati Soeprapto, Ilmu perundang-undangan. Dasar-dasar dan Pembentukannya,
Kasinius,Yogyakarta,1998,hlm.6.
[10] Satjipto Raharjo, Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional Binacipta,
Bandung,1975,hlm.18-19.
[11] Hilman Hadikusuma(1992),Op.Cit., hlm.39.
[12] Sunarjati Hartono, Dari Hukum Antar Golongan Ke Hukum Antar Adat, Citra Aditya
Bakti,Bandung,1991,hlm.15.
[13]
Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, Hukum
Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta, 1986, hlm. 20-22.
Comments
Post a Comment