MAKALAH HUKUM LINGKUNGAN (Analisis Kasus Pencemaran Air oleh Limbah Pabrik PT. Marimas di Semarang)
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Kegiatan pembangunan yang makin
meningkat, mengandung resiko, makin meningkatnya resiko makin meningkatnya
pencemaran dan perusakan lingkungan, termasuk oleh limbah Bahan Berbahaya
Beracun (B3), sehingga struktur dan fungsi ekosistem yang menjadi penunjang
kehidupan dapat rusak. Pencemaran dan perusakan lingkungan hidup akan
menjadi beban sosial, yang pada akhirnya masyarakat dan pemerintah harus
menanggung biaya pemulihannya.[1]
Terpeliharanya kualitas fungsi lingkungan
secara berkelanjutan menuntut tanggung jawab, keterbukaan, dan peran serta
masyarakat yang menjadi tumpuan pembangunan berkelanjutan guna menjamin
kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa mendatang.
Menyadari hal tersebut di atas, bahan
berbahaya dan beracun beserta limbahnya harus dikelola dengan baik. Makin
meningkatnya kegiatan pembangunan, dalam hal ini pabrik-pabrik atau
indutri-industri menyebabkan meningkatnya dampak kegiatan tersebut terhadap
lingkungan hidup, keadaan ini makin mendorong diperlukannya upaya pengendalian
dampaknya, sehingga resiko terhadap lingkungan dapat ditekan sekecil mungkin.
Upaya pengendalian dampak terhadap
lingkungan sangat ditentukan oleh pengawasan terhadap ditaatinya ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur segi-segi lingkungan hidup, sebagai
perangkat hukum yang bersifat preventif melalui proses perizinan untuk
melakukan usaha dan atau kegiatan. Oleh karena itu dalam setiap ijin yang
diterbitkan, harus dicantumkan secara tegas syarat dan kewajiban yang harus
dipatuhi dan dilaksanakan oleh penanggung jawab usaha atau kegiatan
tersebut.
Pengaturan tentang limbah B3 dimulai
sejak tahun 1992 dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Perdagangan No.
394/Kp/XI/92 tentang Larangan Impor Limbah Plastik. Selanjutnya diterbitkan
keputusan presiden No.61 Tahun 1993 tetang Ratifikasi Konvensi Basel 1989 yang
mencerminkan kesadaran pemerintah Indonesia tentang adanya pencemaran
lingkungan akibat masuknya limbah B3 dari luar wilayah Indonesia.
Dalam perkembangan setelah diundangkan
Undang-Undang No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai
uapaya untuk mewujudkan pengelolaan limbah B3, pemerintah telah mengundangkan
Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1999 tentang pengelolaan Pengelolaan Limbah
Bahan Berbahaya dan Beracun (Peraturan Pemerintah Limbah B3), sebagaimana telah
dirubah dengan Peraturan Pemerintah No. 85 Tahun 1999. Dengan diundangkannya
Peraturan Pemerintah Limbah B3 diharapkan pengelolaan limbah B3 dapat lebih
baik sehingga tidak lagi terjadi pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh
limbah B3. Selain itu diharapkan pula dengan diundangkannya Peraturan
Pemerintah Limbah B3 para pelaku industry dan pelaku kegiataan lainnya tunduk
dan taat terhadap ketentuan tersebut.
Tidak ditaatinya Peraturan Pemerintah
Limbah B3 oleh para pelaku indistri dan pelaku kegiatan lainnya dalam hal ini
pencemaran yang dilakukan PT. Marimas di Semarang diduga dikarenakan oleh faktor penataan dan penegakan hukum
lingkungan khususnya yang terdapat dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tenang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Maka kami akan mengkaji lebih
dalam sejauh manakah efektifitas penataan dan penegakan hukum lingkungan
pereturan perundang-undangan di bidang pengelolaan limbah B3 di dalam
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tenang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
2.2 Rumusan Masalah
1. Apakah
pencemaran yang dilakukan pabrik PT.
Marimas melanggar ketentuan dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ?
2. Bagaimanakah
penerapan sanksi yang tepat terhadap PT. Marimas sesuai dengan Undang-Undang
No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ?
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
1.
Pelanggaran
yang dilakukan PT Marimas terhadap ketentuan dalam UU No. 32
Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pembangunan disamping memberikan dampak positif berupa
kesejahteraan, namun disisi yang lain juga menimbulkan dampak negatif yaitu
terjadinya kerusakan atau tercemarnya lingkungan hidup. Oleh karena itu,
apabila terjadi penurunan fungsi lingkungan hidup akibat perusakan dan/atau
pencemaran lingkugan hidup, maka serangkain kegiatan penegakan hukum (law enforcement)
harus dilakukan.
Penegakan hukum mempunyai makna,
bagaimana hukum itu harus dilaksanakan, sehingga dalam penegakan hukum tersebut
harus diperhatikan unsur-unsur kepastian hukum. Kepastian hukum menghendaki
bagaimana hukum dilaksanakan, tanpa perduli bagaimana pahitnya (fiat jutitia et pereat mundus; meskipun
dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Hal ini dimaksudkan agar tercipta
ketertiban dalam masyrakat.sebaliknya masyarakat menghendaki adannya manfaat
dalam pelaksanaan peraturan atau penegakan hukum lingkungan tersebut. Hukum
lingkungan dibuat dengan tujuan untuk melindungi lingkungan dan memberi manfaat
kepada masyarakat. Artinya peraturan tersebut dibuat adalah untuk kepentingan
masyarakat, sehingga jangan sampai terjadi bahwa, karena dilaksanakannya
peraturan tersebut, masyarakat justru menjadi resah. Unsur ketiga adalah
keadilan. Dalam penegakan hukum lingkungan harus diperhatikan, namun demikian
hukum tidak identik dengan keadilan, Karena hukum itu sifatnya umum, mengikat
semua orang, dan menyamaratakan. Dalam penataan dan penegakan hukum lingkungan,
unsur kepastian, unsur kemanfaatan ,dan unsur keadilan harus dikompromikan,
ketiganya harus mendapat perhatian secara proporsional. Sehingga lingkungan
yang tercemar dapat dipulihkan kembali.[2]
Upaya pemulihan lingkungan hidup dapat dipenuhi dalam
kerangka penanganan sengketa lingkungan melalui penegakkan hukum lingkungan.
Penegakan hukum lingkungan merupakan bagian dari siklus pengaturan (regulatory
chain) perencanaan kebijakan (policy planning) tentang lingkungan. Penegakan
hukum lingkungan di Indonesia mencakup penataan dan penindakan (compliance and
enforcement) yang meliputi bidang hukum administrasi negara, bidang hukum
perdata dan bidang hukum pidana.
Sebelum
kita membahas lebih jauh tentang penegakan hukum lingkungan terlebih dahulu
kita harus megtahui definisi dari lingkungan hidup sendiri menurut
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 adalah kesatuan ruang dengan
semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup,termasuk manusia dan perilakunya,
yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan
kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.[3]
Selanjutnya kita akan membahas
definsi dari pencemaran. Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pencemaran adalah masuk
atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam
lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan
hidup yang telah ditetapkan.[4]
Makna dari perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan
untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan,
pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.
Namun dewasa ini masih saja terdapat
beberapa pihak yang melakukan pencemaran lingkungan hidup, salah satunya yang
dilakukan oleh pabrik PT Marimas di Semarang.[5] Menurut
warga, Pabrik PT Marimas telah mencemari aliran sungai disekitar pabrik selamat
2 sampai 3 tahun terakhir. Pencemaran semakin parah karena saluran pembuangan
limbah jebol, yang mana mengakibatkan bau menyengat yang berasal dari
pembuangan limbah tersebut. Selain mencemari lingkungan, kini warga kesulitan
untuk mencari air bersih karena limbah telah bercampur dengan air sumur. Pencemaran tersebut telah melanggar ketentuan
dalam Pasal 69 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang mana setiap orang dilarang untuk:[6]
a. melakukan
perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup;
b. memasukkan
B3 yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
c. memasukkan
limbah yang berasal dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke
media lingkungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. memasukkan
limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
e. membuang
limbah ke media lingkungan hidup;
f. membuang
B3 dan limbah B3 ke media lingkungan hidup;
g. melepaskan
produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan;
h. melakukan
pembukaan lahan dengan cara membakar;
i.
menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat
kompetensi penyusun amdal; dan/atau
j.
memberikan informasi palsu, menyesatkan,
menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang
tidak benar.
Dapat disimpulkan bahwa pabrik PT Marimas telah
melanggar beberapa ketentuan dalam pasal 69 UU No. 32 Tahun 2009. Maka pihak
dari pabrik PT Marimas harus melakukan penanggulangan dan pemulihan terhadap
lingkungan yang sudah tercemar oleh limbah pabrik tersebut. Sebagaimana yang
diatur dalam pasal 53 UU No. 32 Tahun 2009, setiap orang yang melakukan pencemaran
lingungan hidup wajib melakukan penanggulangan lingkungan hidup yang dilakukan
dengan:
a. pemberian
informasi peringatan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup kepada
masyarakat;
b. pengisolasian
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
c. penghentian
sumber pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; dan/atau
d. cara
lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Apabila tahap penanggulangan lingkungan hidup telah
dilaksanakan maka pihak yang mengakibatkan pencemaran lingkungan hidup wajib
untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup sebagaimana yang diatur dalam pasal
54 UU No. 32 Tahun 2009, dilakukan dengan tahapan:[7]
a. penghentian sumber
pencemaran dan pembersihan unsur pencemar;
b. remediasi;
c. rehabilitasi;
d. restorasi; dan/atau
e. cara lain yang
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Untuk mencegah pencemaran lingkungan hidup maka
dibutuhkanlah pengelolaan limbah yang baik dan benar, pengelolaan limbah diatur
dalam pasal 59 UU No. 32 Tahun 2009 mengenai pengelolaan limbah bahan berbahaya
dan beracun, yang dilakukan dengan:[8]
a. Setiap
orang yang menghasilkan limbah B3 wajib melakukan pengelolaan limbah B3 yang
dihasilkannya.
b. Dalam
hal B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) telah kedaluwarsa,
pengelolaannya mengikuti ketentuan pengelolaan limbah B3.
c. Dalam
hal setiap orang tidak mampu melakukan sendiri pengelolaan limbah B3,
pengelolaannya diserahkan kepada pihak lain.
d. Pengelolaan
limbah B3 wajib mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota
sesuai dengan kewenangannya.
e. Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota wajib mencantumkan persyaratan lingkungan hidup
yang harus dipenuhi dan kewajiban yang harus dipatuhi pengelola limbah B3 dalam
izin.
f. Keputusan
pemberian izin wajib diumumkan.
g. Ketentuan
lebih lanjut mengenai pengelolaan limbah B3 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
2.
Penegakan
Hukum Pencemaran Air oleh Limbah Pabrik PT. Marimas
Air merupakan sumber daya alam yang
mempunyai arti dan fungsi sangat penting bagi manusia. Air dibutuhkan oleh
manusia, dan makhluk hidup lainnya seperti tetumbuhan, berada di permukaan dan
di dalam tanah, di danau dan laut, menguap naik ke atmosfer, lalu terbentuk
awan, turun dalam bentuk hujan, infiltrasi ke bumi/tubuh bumi, membentuk air
bawah tanah, mengisi danau dan sungai serta laut, dan seterusnya[9]
entah dimulai darimana dan dimana ujungnya, tak seorangpun mengetahuinya.
Sekali siklus air tersebut terganggu
ataupun dirusak, sistemnya tidak akan berfungsi sebagaimana diakibatkan oleh
adanya limbah industri, pengrusakan hutan atau hal-hal lainnya yang membawa
efek terganggu atau rusaknya sistem itu. Suatu limbah industri yang dibuang ke
sungai akan menyebabkan tercemarnya sungai dan terjadi pencemaran lingkungan.
Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup pasal 1 angka 14 menyebutkan bahwa “Pencemaran Lingkungan Hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk
hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh
kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah
ditetapkan”.
Air merupakan salah satu bentuk
lingkungan hidup fisik, dimana jika air ini tercemar maka akan berdampak besar
bagi kelangsungan hidup makhluk hidup. Limbah pabrik PT. Marimas yang dibuang
ke sungai jelas merupakan salah satu bentuk pencemaran lingkungan hidup,
apalagi dalam kasus tersebut pipa saluran pembuangan limbah ke sungai bocor dan
menyebabkan sumur warga sekitar pabrik tercemar dan air tidak dapat digunakan.
Oleh karena itu perlu adanya penegakkan hukum terhadap pencemaran yang
dilakukan oleh PT. Marimas tersebut agar terciptanya keadilan, kemanfaatan, dan
kepastian hukum.
Penegakan hukum lingkungan berkaitan
erat dengan kemampuan aparatur dan kepatuhan warga masyarakat terhadap peraturan
yang berlaku, yang meliputi tiga bidang hukum, yaitu administratif, pidana, dan
perdata.[10]
Berikut adalah sarana penegakan hukum:
1. Administratif[11]
Sarana administrasi dapat bersifat
preventif dan bertujuan menegakkan peraturan perundang-undangan lingkungan.
Penegakan hukum dapat diterapkan terhadap kegiatan yang menyangkut persyaratan
perizinan, baku mutu lingkungan, rencana pengelolaan lingkungan (RKL), dan
sebagainya. Disamping pembinaan berupa petunjuk dan panduan serta pengawasan
administratif, kepada pengusaha di bidang industri, hendaknya juga ditanamkan
manfaat konsep “Pollution Prevention Pays”
dalam proses produksinya.
Penindakan represif oleh penguasa
terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan lingkungan administratif pada
dasarnya bertujuan untuk mengakhiri secara langsung pelanggaran-pelanggaran
tersebut.
Sanksi administratif terutama mempunyai
fungsi instrumental, yaitu pengendalian perbuatan terlarang. Disamping itu,
sanksi administratif terutama ditujukan kepada perlindungan kepentingan yang
dijaga oleh ketentuan yang dilanggar tersebut. Beberapa jenis sarana penegakkan
hukum administrasi adalah :
a. Paksaan
pemerintah atau tindakan paksa;
b. Uang
paksa;
c. Penutupan
tempat usaha;
d. Penghentian
kegiatan mesin perusahaan;
e. Pencabutan
izin melalui proses teguran, paksaan pemerintah, penutupan, dan uang paksa.
2. Kepidanaan[12]
Tata cara penindakannya tunduk pada
undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Peranan Penyidik
sangat penting, karena berfungsi mengumpulkan bahan/alat bukti yang seringkali
bersifat ilmiah. Dalam kasus perusakan dan/atau pencemaran lingkungan terdapat
kesulitan bagi aparat penyidik untuk menyediakan alat bukti yang sah sesuai
ketentuan Pasal 183 dan Pasal 184 KUHAP. Selain itu, pembuktian unsur hubungan
kausal merupakan kendala tersendiri mengingat terjadinya pencemaran seringkali
secara kumulatif, sehingga untuk membuktikan sumber pencemaran yang bersifat
kimiawi sangat sulit. Penindakan atau pengenaan sanksi pidana adalah merupakan
upaya terakhir setelah sanksi administratif dan perdata diterapkan.
3. Keperdataan[13]
Mengenai hal ini perlu dibedakan antara
penerapan hukum perdata oleh instansi yang berwenang melaksanakan kebijaksaan
lingkungan dan penerapan hukum perdata untuk memaksakan kepatuhan terhadap
peraturan perundang-undangan lingkungan. Misalnya, penguasa dapat menetapkan
persyaratan perlindungan lingkungan terhadap penjualan atau pemberian hak
membuka tanah atas sebidang tanah. Selain itu, terdapat kemungkinan “beracara
singkat” bagi pihak ketiga yang berkepetingan untuk menggugat kepatuhan
terhadap undang-undang dan permohonan agar terhadap larangan atau keharusan
dikaitkan dengan uang paksa. Penegakan hukum perdata ini dapat berupa gugatan
ganti kerugian dan biaya pemulihan lingkungan.
Menurut
kami, penegakan hukum yang paling tepat diterapkan terhadap pencemaran
limbah oleh PT. Marimas tersebut adalah dengan hukum keperdataan mengingat
sudah terjadinya pencemaran lingkungan hidup yang parah di lingkungan
masyarakat. Pemerintah bisa mengenakan ganti kerugian terhadap PT. Marimas dan
meminta biaya untuk digunakan sebagai pemulihan lingkungan.
BAB
III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Penataan
hukum lingkungan di Indonesia khususnya dalam hal penegakannya masih belum
efektif terbukti dengan adanya pembuangan limbah industri yang dilakukan oleh
PT. Marimas di Semarang yang mengakibatkan tercemarnya air yang berada di
lingkungan sekitar pabrik yang
menimbulkan keresahan warga sekitar. Padahal air merupakan hal yang sangat penting
dalam menunjang kehidupan manusia. Padahal ada banyak sekali langkah penegakan
hukum yang dapat dilakukan mulai dari saksi administrative, sanksi keperdataan
dan sanski kepidanaan. Sebab dalam menerapkan saksi hukum sebaiknya dijatuhkan
sanksi yang tepat serta dapat mencakup komposisi dari fungsi hukum itu sendiri
seperti kepastian, kemafaatan, dan keadilan serta tidak menimbulkan kerasahan
pada masyarakat.
2.
Saran
Penerapan
sanksi yang tepat dalam kasus ini adalah sanksi keperdataan berupa penggantian
kerugian yang nantinya dapat digunakan sebagai alat untuk merehabititasi
lingkungan agar dapat kembali seperti semula. Sebab yang mengalami dampak
terbesar dalam pencemaran tersebut adalah masyarakat di sekitar pabrik
tersebut. Sehingga jika tidak dilakukan pemulihan lingkungan tersebut maka masyarakatlah
yang akan menderita dan pengusaha atau pemilik panrik tersebut tidak mengalami
dampaknya.
DAFTAR PUSTAKA
Daftar
Buku
Muhamad Erwin, Hukum Lingkungan : Dalam Sistem
Kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan Hidup, Cetakan ketiga, Bandung, PT. Refika Aditama, 2011
Sudikno,
Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1988
Daftar
Undang-Undang
Undang-Undang
No. 32 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-Undang
No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Peraturan
Pemerintah No. 18 Tahun 1999 tentang pengelolaan Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun (Peraturan Pemerintah Limbah B3)
Peraturan
Pemerintah No. 85 Tahun 1999 Tentang Limbah B3
Keputusan Presiden
No.61 Tahun 1993 tetang Ratifikasi Konvensi Basel 1989
Keputusan
Menteri Perdagangan No. 394/Kp/XI/92 tentang Larangan Impor Limbah Plastik.
Daftar
Internet
www.detik.com (sungai dan sumur
tercemar limbah, warga semarang geruduk pabrik minuman), diakses tanggal 29
April 2014
[1]Lihat,
Penjelasan Umum Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup
[2]
Sudikno, Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta,
1988, hlm. 134-135.
[3]
Lihat, Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkunagan Hidup.
[4]
Lihat, Pasal 1 angka 14 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkunagan Hidup.
[5]
www.detik.com (sungai dan sumur tercemar
limbah, warga semarang geruduk pabrik minuman), diakses tanggal 29 April 2014
[6]
Lihat, pasal 69 ayat 1 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkunagan Hidup.
[7]
Lihat, pasal 54 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkunagan Hidup.
[8]
Lihat, Pasal 59 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkunagan Hidup.
[9] Muhamad Erwin, Hukum Lingkungan : Dalam Sistem
Kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan Hidup, Cetakan ketiga, Bandung, PT. Refika Aditama, 2011, hlm. 37.
[10]Ibid.,
hlm. 113.
[12]Ibid.
[13]Ibid.,
hlm. 118.
Terimakasih atas pencerahannya Gan :))
ReplyDeletemantap gan, keren
ReplyDeletesalam dri kami TV Online
ReplyDeleteIjin copas
ReplyDelete