Sejarah Berkembangnya Hukum Islam di Indonesia dan Hubungannya dengan Hukum Adat
Sebelum Islam masuk ke Indonesia masyarakat
Indonesia sudah dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu dan Buddha. Pengaruh itu
paling tampak pada masyarakat jawa. Dengan demikian,pada awal kedatanganya,
Islam sudah berhadapan dengan aneka peradaban yang bersumber dari budaya asli
masyarakat Indonesia, yaitu penyerapan pengaruh hindu dan Buddha. Keadaan
tersebut sangat berpengaruh terhadap perkembangan Islam pada masa-masa berikutnya.
Saat islam masuk ke Indonesia dan
bagaimana penyebarannya masih merupakan perdebatan para ahli yang belum selesai
sampai sekarang. Untuk hal itu ada dua kelompok pendapat sebagai berikut.
Pertama, Islam masuk ke Indonesia pada
abad ke XIII tidak langsung dari arab melainkan dari Persia melalui India.1Pendapat
ini dikemukakan oleh Husein Djajadiningrat dan didukung oleh para ilmuwan
asing, terutama ilmuan Belanda, antara lain Snouck Hurgronye, H.Kraemer, dan
H.J. Van Den Berg.
Bukti-bukti yang diajukan oleh
kelompok ini yakni sebagai berikut.[1]
1.Kerajaan Islam pertama terdapat di
Samodra Pasai, di Aceh utara (di Lhoukseumawe, sekarang). Nama kerajaan islam
samodra pasai itu berasal dari kata Persia.
2.Mistik yang dijalankan di Indonesia
sama dengan mistik yang dijalankan di Persia.Sebagai bukti persamaan mistik itu
yaitu apa yang diajarkan oleh Mansyur al- Halaj dengan apa yang diajarkan oleh
Syekh Siti Jenar di Jawa.
3.Cara membaca Al-quran yang dilakukan
oleh orang-orang islam di Indonesia sama dengan cara membacanya orang-orang
Persia.
4.Batu nisan yang terdapat di makam
raja-raja Islam di Indonesia sama dengan yang ada di Persia.
Kedua, Islam masuk ke Indonesia pada
abad ke VII masehi dan bukan lewat Persia maupun India, melainkan langsung dari
Arab, yaitu Mesir. Pendapat ini dikemukakan oleh Hamkah dan terdapat
penyesuaian dengan catatan-catatan tionghoa menurut hasil penelitian
W.P.Goenevelt. Pendapat itu juga didukung oleh ilmuwan-ilmuwan asing, seperti
C.Rawfurt, Keyzer,Niemannn,de Holander, dan Veth.
Bukti-bukti yang diajukan oleh
kelompok pendapat ke dua yakni sebagai berikut.[2]
1.
Mazhab
yang dianut oleh kerajaan islam pasai pada waktu itu yakni mazhab Syafi’I yang
berasal dari Mekkah .
2.
Gelar-gelar
raja Pasai yang dipakai pada waktu itu merupakan gelar-gelar raja mesir.
Kelompok pendapat kedua tersebut
sejalan dengan hasil seminar tentang masuknya islam di Indonesia yang
diselenggarakan di Medan pada tanggal 7 Maret 1963. Kesimpukan seminar tersebut
sebagai berikut.
1.
Islam
masuk ke Indonesia pada abad ke VII langsung dari Arab.
2.
Daerah
yang kali pertama di masuki yakni pesisir sumatera dan kerajaan islam pertama
di Aceh (Samodra Pasai).
Perbedaan pendapat kedua kelompok
tersebut bukan perbedaan dalam kebenaran data-data, namun karena perbedaan
ukuran yang digunakan.
Terlepas dari kebenaran secara ilmiah
tentang saat masuknya Islam ke Indonesia, yang jelas bahwa proses masuknya
Islam ke Indonesia berlangsung secara damai dan tidak dengan kekerasan.
Masuknya islam ke Indonesia secara damai itu disebabkan selain penyebarannya
dilakukan secara berangsur-angsur juga karena Islam memang suatu agama yang
mengandung misi kedamaian bagi manusia.
PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM PADA MASA KERAJAAN
Perkembangan hukum islam
pada masa kerajaan dapat dilihat dalam sejarah kehidupan kerajaan-kerajaan
Islam di Indonesia. Di sanalah Islam ditanamkan, yang kemudian membaawa
pengaruh kepada masyarakatnya. Masing-masing kerajaaan Islam ternyata memiliki
model tersendiri dalam proses Islamisasi di wilayahnya. Perbedaan model
islamisasi itulah yang kemudian berakibat pada peerbedaan warna dan corak hukum
Islam yang dianutnya.
1. Kerajaan
Samodra Pasai
Samodra Pasai
merupakan kerajaan pertama kali yang menerima pengaruh hukum Islam dari luar
nusantara. Kerajaan ini didirikan sekitar pertengahan abad ke-13 M sebagai
proses islamisasi daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi pedagang-pedagang
muslim asing sejak abad ke-7, ke-8 M, dan seterusnya.[3]
Mazhab (aliran) hukum Islam yang berkembang
di kerajaan Samodra Pasai yaitu mahzab Syafi’i.
Dari Samodra Pasai inilah disebarkan paham Syafi’I ke kerajaan-kerajaan
lainnya di Indonesia. Bahkan (di dalam sejarahnya setelah kerajaan Islam Malaka
berdiri), sekitar tahun 1400-1500 M para ahli hukum Islam Malaka datang ke
Samodra Pasai untuk meminta keputusan mengenai berbagai masalah hukum dalam
masyarakat.[4]
2. Kerajaan
Aceh
Setelah Kerajaan Samodra Pasai
ditaklukkan Portugis sekitar tahun 1521 M, kerajaan itu berada di bawah
pengaruh Kesultanan Aceh yang berpusat di Bandar Aceh Darussalam.17
Sama halnya dengan Samodra Pasai, Bandar Aceh Darussalam juga menjadi tempat
perdagangan yang strategis.
Mahzab hukum Islam yang berkembang di
kerajaan Aceh yaitu Mahzab Syafi’I, yang pada masa pemerintahan Sultan Iskandar
Muda memiliki seorang mufti terkemuka bernama Syekh Abdul Ra’uf Singkel. Selain
itu, juga terdapat seorang ulama besar Nuruddin Arraniri dengan karya sebuah
kitab “Sirathal Mustaqim”.Kitab tersebut digunakan sebagai media penyebaran
Islam dan sebagai pedoman bagi guru-guru agama dan Qodhi.
3. Kerajaan
Mataram
Pada masa Sultan Agung berkuasa hukum
Islam mulai hidup dan berpengaruh besar di kerajaan tersebut. Hal itu dapat
dibuktikan dengan berubahnya tata hukum
di Mataram yang mengadili perkara-perkara yang membahayakan keselamatan
kerajaan.19Sejak Sultan Agung berkuasa, pengadilan perdata dipimpin
oleh raja sendiri diubah menjadi pengadilan Serambi Masjid Agung. Perkara yang
menjadi wewenang pengadilan surambi tersebut dinamakan “kisas” yang berbeda
dengan makna aslinya dalam hukum Islam. Meskipun maknanya berbeda, tetapi jelas
bahwa istilah kisas ini diilhami oleh istilah dalam alquran.
4. Kerajaan
Cirebon
Hukum Islam di kerajaan Cirebon dapat
berkembang dengan baik, terutama hukum-hukum yang behubungan dengan masalah
kekeluargaan. Di Cirebon juga terdapat pengadilan agama yang mengadili
masalah-masalah kejahatan pada kerajaan (kini perkara subversif) yang
berpedoman kepada norma-norma yang ditetapkan oleh penghulu sebagai
pemuka-pemuka agama di kerajaan.
Di bawah pengaruh dan kepemimpinan
Fatahilah, seorang tokoh Wali Songo, hukum Islam di kerajaan Cirebon mengalami
perkembangan yang pesat. Pesatnya perkembangan Islam dan kuatnya pengaruh Hukum
Islam di sana, lapangan hukum tertentu mampu menggeser hukum Jawa kuno sebagai
hukum asli penduduk setempat, apalagi pengaruh hukum Hindu yang juga merupakan
hukum pendatang.[5]
5. Kerajaan
Banjar
Pada awalnya, kerajaan Banjar
merupakan kelanjutan dari kerajaan Dhaha yang beragama Hindu, namun akhirnya
tercatat sebagai kerajaan Islam yang terkenal. Kerajaan Banjar di Kalimantan
Selatan ini dikenal sebagai kerajaan Islam setelah Pangeran Samodera bersedia
masuk Islam dengan bantuan Sultan Demak atas kemenangan Pangeran Samodera di
dalam pertempuran melawan Pangeran Tumenggung dari Dhaha. Setelah menang dalam
peperangan itu pangeran Samodera berubah nama menjadi Pangeran Suriansyah atau
Sultan Suryanullah sekaligus dinobatkan sebagai raja pertama di kerajaan Islam
Banjar.
Kentalnya hukum Islam pada masyarakat
di Kerajaan Bandar tercermin di dalam suatu adagium yang terdapat dalam bai’at
(janji) kerajaan yang berbunyi “Pati Baraja’an Dika, Andika badayan Sara.”
Artinya, saya tunduk pada perintah Tuanku, karena Tuanku berhukumkan hukum
syara’.
Tumbuh dan berkembangnya hukum Islam
di kerajaan Banjar dibuktikan dengan terbentuknya para mufti dan para qadli,
yang pada waktu itu bertugas untuk menangani masalah-masalah di bidang hukum
perkawinan, perceraian, kewarisan serta segala urusan yang berhubungan dengan
hukum keluarga. Bahkan yang menarik, selain menangani hukum perdata di Kerajaan
Banjar qadli juga menangani perkara pidana. Tercatat dalam sejarah Banjar bahwa
hukum bunuh bagi orang yang murtad (keluar dari agama), hukum potong tangan
bagi pencuri, dan hukum dera bagi pezina[6] sudah diberlakukan. Di
lingkungan kerajaan Banjar juga terdapat kitab hukum yang merupakan kodifikasi
sederhana. Kitab hukum (Islam) itu kemudian dikenal dengan Undang-Undang Sultan
Adam.
PERKAMBANGAN HUKUM ISLAM PADA ZAMAN
VOC
Cikal bakal penjajahan Belanda
terhadap kawasan nusantara dimulai dengan kehadiran Organisasi Perdagangan
Dagang Belanda di Hindia Timur, atau yang lebih dikenal dengan VOC. Sebagai
sebuah organisasi dagang, VOC dapat dikatakan memiliki peran yang melebihi
fungsinya. Hal ini sangat dimungkinkan sebab Pemerintah Kerajaan Belanda memang
menjadikan VOC sebagai perpanjangtangannya di kawasan Hindia Timur. Karena itu
disamping menjalankan fungsi perdagangan, VOC juga mewakili Kerajaan Belanda
dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Tentu saja dengan menggunakan
hukum Belanda yang mereka bawa. Dalam kenyataannya, penggunaan hukum Belanda
itu menemukan kesulitan. Ini disebabkan karena penduduk pribumi berat menerima
hukum-hukum yang asing bagi mereka. Akibatnya, VOC pun membebaskan penduduk
pribumi untuk menjalankan apa yang selama ini telah mereka jalankan.Kaitannya
dengan hukum Islam, dapat dicatat beberapa “kompromi” yang dilakukan oleh pihak
VOC, yaitu :
1. Dalam
Statuta Batavia yag ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC, dinyatakan bahwa hukum
kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk agama Islam.
2. Adanya
upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah berlaku di tengah
masyarakat. Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760. Kompilasi ini kemudian
dikenal dengan Compendium Freijer.
3. Adanya
upaya kompilasi serupa di berbagai wilayah lain, seperti di Semarang, Cirebon,
Gowa dan Bone.Di Semarang, misalnya, hasil kompilasi itu dikenal dengan nama
Kitab Hukum Mogharraer (dari al-Muharrar). Namun kompilasi yang satu ini
memiliki kelebihan dibanding Compendium Freijer, dimana ia juga memuat
kaidah-kaidah hukum pidana Islam.
PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM
PADA ZAMAN PEMERINTAHAN KOLONIAL BELANDA
a.
Rekayasa
Kolonial tentang Berlakunya Hukum Islam di Indonesia.
Dengan bubarnya VOC pada pergantian
abad ke-18, kekuasaan Indonesia secara resmi dipindahkan ke tangan pemerintah
kolonial Belanda. Sejak pemerintahan kolonial Belanda berkuasa di Indonesia,
sikapnya terhadap hukum Islam mulai berubah. Sikap yang semula toleran terhadap
hukum Islam bagi pribumi, secara-berangsur-angsur mulai dibatasi. Hal ini
dilakukan oleh pemerintah Belanda karena mereka khawatir hukum Islam ini akan
membentuk kekuatan tersendiri antara kaum pribumi yang akhirnya kekuatan itu
dipakai untuk mencapai kemerdekaan. Oleh karena itu, pemerintah Belanda mulai
membentuk berbagai peraturan dengan tujuan untuk menghilangkan hukum Islam yang
berlaku di kalangan masyarakat.
Untuk membatasi ruang gerak ulama
dalam mengembangkan hukum Islam, dikeluarkan Keputusan Raja tanggal 4 Februari
1859 No.78 yang menugaskan Gubernur Jenderal untuk mencampuri masalah agama.
Bahkan harus mengawasi gerak gerik para ulama bila dipangdang perlu demi
kepentingan ketertiban keamanan.[7] Pemerintah
Belanda juga mengeluarkan ordinasi yang mengatur masalah ibadah haji lebih
ketat dari sebelumnya. Hal ini diduga karena kekhawatiran pemerintah Belanda
akan timbulnya pemberontakan.[8]
Bersamaan dengan berlakunya ordinasi
tersebut, pemrintah Belanda juga tengah gencar-gencarnya melakukan
kristenisasi, dengan tujuan agar para penduduk pribumi akan menjadi loyal
terhadap pemerintahan Belanda. Namun, hal tersebut tidak berjalan dengan
lancar. Yang terjadi justru sebaliknya, masyarakat pribumi menjadi semakin
bertambah tingkat ketaatannya terhadap hukum Islam.
Sejak tahun 1820 di dunia peradilan
pemerintah Belanda sudah ikut campur tangan. Dalam instruksi bupati-bupati pada
pasal 13, antara lain disebutkan bahwa perselisihan mengenai pembagian waris di
kalangan rakyat hendaknya diserahkan pada para alim ulama Islam.[9]
Dalam Stbl 1835 No. 58 ditegaskan
tentang wewenang peradilan agama di Jawa dan Madura yang isinya
perselisihan di antara orang Jawa dan Madura tentang perkara perkawinanan dan
pembagian harta benda dan sebagainya yang harus diputuskan menurut syariat
Islam harus diselesaikan oleh ahli hukum Islam. Akan tetapi, segala
persengketaan tersebut harus dibawa ke pengadilan biasa. Pengadilan itulah yang
akan menyelesaikan perkara itu dengan mengingat putusan ahli agama dan supaya
putusan itu dijalankan. Waktu itu, peradilan agama belum terbentuk sebagai
lembaga institusi, melainkan masih bersifat perorangan, ketika para hakim
dipegang oleh penghulu/ahli agama.[10]
Peradilan agama menjadi suatu
institusi setelah diputuskan oleh raja Belanda No. 24 tertanggal 19 Januari
1882 yang dimuat dalam Stbl 1882 No. 152, tentang pembentukan peradilan agama
di Jawa dan Madura.[11]
b.
Pengaruh
Politik Islam Snouck Hurgronje Terhadap perkembangan Hukum Islam di Tanah Air.
Kedatangan Cristan Snouck Hurgronje
(1857-1936), seorang penasehat pemerintah Hindia Belanda sangat tidak
menguntungkan bagi perkembangan hukum Islam pada masa-masa berikutnya. Dia juga
membuat tesis yang dikenal dengan teori Receptie yang berisi
bahwa hukum yang berlaku di kedua daerah itu yakni hukum adat, bukan hukum
Islam. Dalam hukum adat itu memang telah masuk pengaruh hukum Islam.[12]
Di samping menggencarkan teori
Receptienya, Snouck juga menerapkan sikap politik Islamnya yang mempersempit
peluang bagi orang Islam untuk bangkit menyingkirkan penjajah. Sikap politik
itu sebagai berikut:[13]
1. Dalam
bidang ibadah, pemerintah Hindia Belanda memberikan kebebasan kepada orang
Islam Indonesia untuk meakukannya sepanjang tidak mengganggu kekuasaan
pemerintah.
2. Dalam
urusan mu’amalah, pemerintah Hinida Belanda harus menghormati lembaga-lembaga
yang telah ada sambil memberikan kesempatan kepada orang-orang Islam beralih ke
lembaga-lembaga Belanda secara berangsur-angsur.
3. Dalam
bidang politik, pemerintah Hindia Belanda tidak memberi peluang kepada
orang-orang Islam untuk melakukan gerakan Islam.
Kebijaksanaan berikutnya, pendidikan
Islam di sekolah-sekolah diawasi dengan ketat, karena pemberontakan para petani
di Banten ditengarai sebagai gerakan yang dimotori oleh para haji dan guru
agama. Akhirnya terjadilah pemburuan terhadap guru agama di Pulau Jawa.[14]
Kebijaksanaan pemerintah Belanda di
bidang hukum Islam selalu diarahkan pada upaya
pelumpuhan dan penghambatan bagi pelaksanaan hukum Islam di Indonesia antara
lain:[15]
1.
Tidak memasukkan masalah hudud dan
qishas dalam lapangan hukum pidana.
2.
Ajaran Islam yang menyangkut hukum
tata Negara tidak boleh diajarkan.
3.
Mempersempit hukum Mu’amalah yang
menyangkut hukum perkawinan dan hukum kewarisan. Khusus hukum kewarisan
diusahakan tidak berlaku.
Namun, meskipun hal tersebut
diberlakukan oleh pemerintah Belanda akan tetapi masyarakat tetap
berbondong-bondong membawa perkaranya kepada keadilan beragama sehingga
keberadaan peradilan agama tersebut tetap terjamin. Begitu juga dengan masalah
waris, meskipun secara resmi pengadilan agama sudah kehilangan wewenangnya
sejak tahun 1937.
Mengingat putusan masalah waris ini
tidak berada di dalam kewenangan pengadilan agama, maka jalan keluar yang
ditempuh yakni memajukan fatrwa tersebut ke pengadilan negeri untuk mendapatkan
pengukuhan sebagai suatu akta perdamaian. Pelaksana fatwa waris di dalam
masyarakat berjalan cukup efektif.[16]
c.
Gerakan
Pembaruan Islam
Karena penjajahan Belanda tersebut
akhirnya muncullah kelompok-kelompok masyarakat Islam yang berjuang untuk
menegakkan hukum Islam dan juga unutk merebut kembali kemerdekaan Indonesia.
Dalam bidang sosial, muncullah gerakan-gerakan sosial dengan tujuan utama
untukmenegakkan hukum Islam yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Di antara
gerakan sosial pembaru Islam adalah sebagai berikut:
1. Sekolah
Adabiyah
2. Jami’at
Al-Khair
3. Al-Irsyad
4. Muhammadiyah
5. Persatuan
Islam (Persis)
6. Nahdlatul
Ulama.
Gerakan pembaru Islam bukan hanya
dibidang sosial, namun juga ada gerakan politik yang memiliki tujuan utama
disamping untuk menegakkan hukum Islam, tetapi juga merebut kembali
kemerdekaan bangsa Indonesia yang sudah direbut oleh para penjajah (Belanda).
Berikut ini adalah beberapa gerakan pembaru Islam di bidang politik antara
lain:
1.
Serikat Islam
2.
Persatuan Muslimin Indonesia
3.
Partai Islam Indonesia
4.
Majelis Islam A’la Indonesia
PERKEMBANGAN ISLAM PADA MASA
PENJAJAHAN JEPANG
Pada tahun 1942 Belanda meninggalkan
bumi Indonesia sebagai akibat dari pecahnya perang pasifik. Kedatangan Jepang
mula-mula disambut dengan senang hati dan penuh harapan oleh bangsa Indonesia,
termasuk sebagian besar umat Islam.
Sebagai
aggressor, baik Belanda maupun Jepang sebenarnya memiliki tujuan yang sama,
yaitu ingin mengeksploitasi umat Islam sebagai penduduk mayoritas untuk
mempercepat maksud mereka menguasai bumi nusantara ini. Akan tetapi, keduanya
memiliki kebijakan yang berbeda, terutama dalam menghadapi hukum Islam dan para
pelaku hukum Islam.[17]
Berbeda dengan kebijakan Belanda
yang tidak memberi peluang terhadap orang-orang Islam untuk bergerak dalam
bidang politik, hukum, dan peradilan dengan berbagai peraturan yang telah
dibuat. Kebijakan Jepang yang ditempuh adalah dengan merangkul pemimpin Islam
untuk diajak bekerjasama. Karena itu, para pemimpin Islam banyak yang
dilibatkan dalam penyelenggaraan pemerintah dan latihan-latihan militer. Hal
itu sangat menguntungkan umat Islam dan bangsa Indonesia. Kebijakan Jepang yang
lain adalah mengakui kembali organisasi-organisasi Islam yang sebelumnya
dibekukan.
Kebijakan
Jepang untuk merestui dan mengesahkan berdirinya berbagai organisasi Islam ini
memiliki tujuan politik untuk kepentingan jajahannya. Namun, di sisi lain hal
ini adalah peluang bagi organisasi-organisasi Islam untuk menyebarkan hukum
Islam kepada para anggotanya. Yang pada akhirnya terbentuklah
pengajian-pengajian baik di langgar, masjid, maupun lapangan yang biasanya
mendatangkan para kiai terkenal.[18]
Kemudian
pada masa menjelang kemerdekaan, Jepang membentuk BPUPKI (Badan Penyelidik
Usaha Kemerdekaan Indonesia) untung menyusun UUD Negara, para pemimpin Islam
menuntut agar ditegaskan bahwa Negara yang akan dibentuk harus mendukung
kedudukan (hukum) Islam. Namun tuntutan ini ditolak, akhirnya disetujui rumusan
kompromi yang dituangkan dalam Piagam Jakarta.[19]
Dalam piagam Jakarta, wakil dari
golongan Islam yang hanya terdiri dari 20% dari keseluruhan anggota BPUPKI
setidaknya berhasil memberi tambahan rumusan sila pertama yang berbunyi
“Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Namun dalam pembentukan PPKI (Panitia Pesiapan Kemerdekaan Indonesia) rumusan
sila tersebut gagal dipertahankan yang akhirnya berganti menjadi “Ketuhanan
Yang Maha Esa”. Namun, golongan Islam menganggap kata tersebut sebagai nama
lain dari Tauhid menurut Islam.
PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM PADA MASA
AWAL KEMERDEKAAN
Perjuangan
umat Islam yang amat panjang dan penuh pengorbanan akhirya telah berhasil
membentuk suatu Negara yang merdeka. Tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1945
pukul 10.00 WIB, bertempat di jalan Pegangsaan Timur no. 56 Jakarta,
kemerdekaan Replubik Indonesia diproklamasikan. Dari rangkaian sejarah
perjuangan umat Islam, baik yang dilakukan secara individu maupun melalui
organisasi sosial politik, karena peranan umat Islam sangat besar dalam
mewujudkan kemerdekaan. Karena itu para pemimpin Islam yang ada di lembaga
perwakilan menginginkan agar Negara merdeka yang telah terbentuk memberikan
tempat yang terhormat bagi berlakunya hukum islam. Namun, kelompok umat Islam
waktu itu tidak berhasil mewujudkan keinginannya, bahkan dapat dikatakan
mengalami suatu kekalahan.
Kekalahan kelompok umat Islam dalam
percaturan politik, khususnya dalam penentuan dasar Negara, tidak membuat
kelompok umat Islam kecil hati dan putus asa untuk memperjuangkan tegaknya
hukum Islam dalam tata hukum di Indonesia. Melalui berbagai kesempatan,
meskipun kadang kala mengalami suasana ketegangan (konflik), kelompok umat
Islam selalu berupaya agar asas-asas Islam tetap menjadi landasan baik bagi
kehidupan kenegaraan maupun kehidupan kenegaraan maupun kehidupan
kemasyarakatan.
Dalam waktu kurun waktu tahun
1945-1950 merupakan kesempatan yang sangat baik bagi umat Islam untung
berjuang, karena saat itu dinilai sebagai suatu periode yang secara relative
terdapat persatuan dan perjuangan. Momentum baik itu digunakan oleh kelompok
Islam untuk berjuang menegakkan hukum Islam di dalam tata hukum Indonesia.. langkah
konkretnya yakni pada tanggal 7-8 November 1945 melalui sebuah kongres umat
Islam di Yogayakarta dibentuklah sebuah partai politik Islam dengan nama
Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia). Kehadirin Masyumi mendapat dukungan
dan sambutan yang luar biasa dari umat Islam, karena partai tersebut dianggap
mewakili aspirasi seluruh umat Islam di berbagai organisasi dan perorangan.
Dilihat dari segi tujuan dan gerak
langkahnya, sebenarnya telah terbukti Masyumi mengarahkan masyarakat untuk
membangun di berbagai sector kehidupan dengan tetap berlandaskan pada asas-asas
agama. Peran Masyumi dalam hukum Islam sangatlah berarti. Bukan saja
mengusahakan berlakunya hukum Islam dalam kehidupan perorangan, kemasyarakatan,
dan kenegaraan tetapi juga melakukan pembaharuan hukum Islam yang ada
disesuaikan dengan konteks kebutuhan zamannya.
Meskipun para tokoh Masyumi telah
melakukan pembaharuan di bidang hukum Islam, namun pada waktu itu belum mampu
mempengaruhi legislative untuk membentuk hukum positif (islam). Di dalam
perkembangannya, partai Masyumi yang memiliki peran penting dalam penegakkan
hukum Islam di Indonesia ini mengalami perpecahan. Bulan Juli 1947 PSII
meninggalkan Masyumi kemudian disusul dengan keluarnya NU pada tahun 1952, dan
menyatakan perubahan organisasinyaa dari jam’iyyah (gerakan sosial keagamaan)
menjadi partai politik yang berdiri sendiri.
Namun keluarnya NU dari Msyumi dan
berubah menjadi partai politik, tidak mengubah perjuangan keduanya untuk
menegakkan hukum Islam di bumi nusantara.
Kemudian periode awal kemerdekaan
ini, hukum Islam mendapatkan dukungan dari struktur pemerintahan, yaitu dengan
lahirnya departemen agama pada tahun 1946. Tujuan dan tugas departemen agama
memang tidak hanya menngani masalah-masalah yang menyangkut ajaran agama Islam.
Namun, dari rumusan tujuannya terlihat bahwa selain tugas-tugas yang bersifat
umum (menyangkut semua agama di Indonesia) secara khusus menangani
masalah-masalah keimanan.
Pada waktu itu Hazairin seorang ahli
hukum Islam dan hukum adat dari Universitas Indonesia berpendapat bahwa untuk
mengembangkan hukum Islam di Indonesia menjadi hukum positif melalui
undang-undang kemungkinan amat ssulit, karena konstelasi politik yang ada dalam
lembaga pembentuk undang-undang (pada waktu itu) tidak memungkinkan memproduksi
hukum Islam.
Hukum islam merupakan bagian dari
agama islam yang pelaksanaanya diatur berdasarkan syari’at islam. Syari’at
sebagaimana dijelaskan pada lembaran awal, adalah mengatur mengatur mengenai
hubungan manusia dengan tuhan dan manusia dengan sesama. Oleh karena hukum
tidak mengenal pengaturan lahiriyah antara manusia dengan tuhan ( ibadat ) bila
dilihat dari ilmu fiqh, maka yang dapat dimasukkan kedalam hokum islam itu
adalah bagian muammalat dari syariat.
.
PERKEMBANGAN ISLAM PADA
MASA ORDE LAMA
Pada masa Orde Lama hukum Islam tidak
mengalami perkembangan berarti dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Bahkan
dapat dikatakan masa itu hukum Islam berada pada masa yang amat suram. Bukti
pendegradasian nilai-nilai hukum Islam itu tampak pada Garis-Garis Besar Pola
Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama, 1961 – 1969 bab II
pasal 2 tentang bidang mental/agama/kerohanian/penelitian yang menyatakan
sebagai berikut.
“Melaksanakan manifesto politik di
lapangan pembinaan mental/agama/kerohanian dan kebudayaan dengan menjamin
syarat-syarat spiritual dan material, agar setiap warga dapat mengembangkan
kepribadiannyadan kebudayaan asing”.
Persyaratan
tersebut membawa dampak yang luas terhadap pelaksanaan hukum Islam di Indonesia,
karena pelaksanaan hukum agama (hukum Islam) selalu dikendalikan oleh manifesto
politik.
Upaya
mendegradasikan nilai-nilai hukum Islam juga dilakukan oleh Soekarno dkk.
melalui kebijakannya terhadap organisasi-organisasi Islam yang dinilainya
memiliki peran besar dalam penegakan hukum Islam di Indonesia. Pemerintah
melakukan pemangkasan partai politik dari 24 menjadi 10 partai saja. Partai
yang dianggap membahayakan kekuasaan pemerintah (Soekarno) disingkirkan melaui
berbagai putusan. Termasuk Masyumi yang amat berperan dalam penegakan hukum
Islam di Indonesia dengan alasan Masyumi terlibat pemberontakan PRRI/Permesta.
Tuduhan itu tidak sepenuhnya benar karena berdasarkan dokumen politik tidak ada
indikasi keterlibatan Masyumi dalam PRRI. Yang terlibat adalah tokoh-tokoh
secara pribadi, antara lain Moh. Natsir, Syaffrudin Prawiranegara, dan
Burhanudin Harahap.[20]
Dunia
peradilan agama juga berada dalam keadaan suram. Suramnya dunia peradilan agama
disebabkan oleh tetap diberlakukannya lembaga Ekskutorial Verklaring. Artinya, setiap putusan pengadilan agama
baru mempunyai kekuatan hukum berlaku setelah mendapat pengukuhan (fat
eksekusi) dari pengadilan negeri. Hal itu menjadikan pengadilan agama selalu
berada dalam posisi di bawah pengadilan negeri.
PERKEMBANGAN
HUKUM ISLAM PADA MASA ORDE BARU
Lahirnya Orde Baru ditandai dengan
Surat Perintah 11 Maret 1966. Lahirnya Orde Baru merupakan angin segar yang
merupakan harapan baru bagi perkembangan Hukum Islam di Indonesia. Berikut adalah harapan baru
tersebut.
1.
Tumbangnya
PKI yang merupakan musuh utama organisasi-organisasi Islam yang selalu berusaha
menyingkirkan Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia.
2.
Pengaruh
Soekarno dalam pencaturan politik kenegaraan yang selalu menafihkan kedudukan
Hukum Islam dalam konstitusi dan perundangan nasional.
3.
Tampilnya
KAMI sebagai pendobrak Orde Lama yang di-backing
oleh ABRI.
4.
Bersatunya
ormas Islam dalam perjuangan untuk mengutuk G. 30 S PKI dan mengusulkan
pembubaran PKI dan antek-anteknya.
Harapan baru bagi umat Islam untuk
memantapkan keberadaan Hukum Islam dalam tata hukum di Indonesia, namun juga
memunculkan kekecewaan baru, karena ternyata pemerintah melakukuan kontrol yang
lebih ketat terhadap kekuatan politik Islam, terutama para kelommpok radikal
yang dikhawatirtkan dapat menandingi kekuatan pihak pemerintah, bahkan disertai
dengan isu-isu sensitif trauma masa lalu tentang pembangkangan
pemimpin-pemimpin Islam.
Pada tanggal 26 November 1966,
pemerintah pembaruan sistem politik melalui amanat presiden, disampaikan RUU
Kepartaian kepada DPRGR, RUU Pemilu, dan RUU Susunan MPR, DPR, dan DPRD.
Intinya yaitu penyederhanaan partai politik yang ada. Hasilnya yakni peserta
pemilu 1971 terdiri atas 10 partai politik.
Memerhatikan
sikap pemerintah yang ketat seperti itu, para pemimpin Islam mulai berubah
haluan, perjuangan yang semula untuk mewujudkan suatu negar Islam berubah
menjadi perjuangan untuk mewujudkan masyarakat Islam. Perjuangan tersebut
dilakukan dengan berusaha keras melakukan penerapan praksis dari hukum Islam
dengan tetap bertitik tolak pada “Piagam Jakarta”.
Alasam
“Piagam Jakarta” dijadikan landasan berfiikir itu, karena dookumen historis ini telah dikukuhkan oleh
Dekrit Presiden Sukarno 5 Juli 1959. Dengan landasan itulah di Indonesia telah
dibenarkan untuk membentuk perundang-undangan di bidang hukum Islam yang
berlaku khusus bagi orang-orang Islam.
Tetapi terlepas dari semua itu pada
masa Orde Baru hukum Islam mengalami perkembangan yang cukup berarti
diantaranya dengan dibentuknya hukum perkawinan (UU No. 1 tahun 1974), wakaf
(UU No. 5 tahun 1960 dan PP No. 28 tahun 1997), dan pembentukan undang-undang
peradilan agama (UU No. 7 tahun 1989).
PERKEMBANGAN
HUKUM ISLAM PADA MASA REFORMASI
Rezim
Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun akhirnya runtuh, di tandai dengan
mundurnya Soeharto dari kursi kepresidenan tanggal 21 Mei 1998. Hukum Islam
pada era reformasi sebagai kelanjutan dari era sebelumnya dapat berkembang
dengan pesat melalui jalur cultural. Hal itu sebagai konsekuensi logis dari
kemajuan kaum muslimin (cultural) dibidang
ekonomi dan pendidikan.[21]Keadaan tersebut ditunjang
oleh lahirnya beberapa undang-undang sebagai hukum positif Islam, yaitu UU No.
17 tahun 1999 tentang penyelenggaraan haji dan UU No.38 tahun 1999 tentang
pengelolaan zakat.
Selain
itu pada masa reformasi juga lahir UU No. 18 Tahun 2001 tentang Nangroe Aceh
Darussalam yang member otonomi khusus kepada Daerah Istimewa Aceh sebagai
Provinsi Nangroe Aceh Darussalam untuk menerapkan Syariat Islam. Serta
munculnya UU No. 10 tahun 1998 tentang perbankan yang member legalisasi
terhadap beroperasinya perbankan berdasarkan prinsip syariat.
HUBUNGAN
HUKUM ADAT DENGAN HUKUM ISLAM
Hubungan hukum adat dengan hukum
Islam dalam makna kontak antara kedua sistem hukum itu telah lama berlangsung
di tanah air kita. Hubungannya akrab dalam masyarakat. Keakraban itu tercermin
dalam berbagai pepatah dan ungkapan di beberapa daerah, misalnya ukapan dalam
bahasa Aceh yang berbunyi: hukum ngon
adat hantom cre, lagee zat ngon sipeut. Artinya hukum islam dengan hukum
adat tidak dapat dicerai pisahkan karena erat sekali hubungannya seperti
hubungan zat dengan sifat sesuatu barang atau benda. Hubungan demikian terdapat
juga di Minangkabau yang tercermin dalam pepatah : adat syara’ sanda menyanda, syara’ mengato adat memakai. Menurut
Hamka (Hamka, 1970:10) makna pepatah ini adalah hubungan (hukum) adat dengan
hukum Islam (syara’) erat sekali, saling topang-menopang karena sesungguhnya
yang dinamakan adat yang benar-benar adat adalah syara’ itu sendiri. Dalam
hubungan ini perlu dijelaskan bahwa adat dalam ungkapan ini adalah cara
melaksanakan atau memakai syara’ itu dalam masyarakat . Dalam masyarakat Muslim
Sulawesi Selatan eratnya hukum adat dengan hukum islam dapat dilihat dalam
ungkapan yang berbunyi, “Adat hula-hulaa to syaraa, syaraa hula-hulaa
to adati”. Artinya, kurang lebih, adat bersendi syara’ dan syara’ bersendi
adat (A. Gani Abdullah, 1987;89). Hubungan adat dan islam erat juga di Jawa.
Ini mungkin disebabkan karena prinsip rukun dan sinkretisme yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Jawa,
terutama di daerah pedesaan (M. B. Hoeker, 1978:97).
Berberda dengan bunyi pepatah di
atas, dalam buku-buku hukum yang ditulis oleh para penulis Barat/Belanda dan
mereka yang sepaham dengan penulis-penulis Belanda itu, hubungan hukum adat
dengan hukum Islam di Indonesia, terutama di Minangkabau, selalu digambarkan
sebagai dua unsur yang bertentangan. Ini dapat dipahami, karena teori konflik
yang mereka pergunakan untuk mendekati masalah hubungan kedua sistem hukum itu
dengan sadar mereka pergunakan untuk memecah-belah dan mengadu-domba rakyat
Indonesia guna mengukuhkan kekuasaan Belanda di tanah air kita. Karena itu pula
sikap penguasa jajahan terhadap kedua sistem hukum itu dapat diumpamakan
seperti sikap orang yang membelah bamb, mengangkat belahan yang satu (adat) dan
menekan belahan yang lain (Islam). Sikap ini jelas tergambar dalam salah satu
kalimat van Vollenhoven, seorang ahli hukum adat yang terkenal, ketika ia
berpolemik dengan pemerintahannya mengenai politik hukum yang akan dilaksanakan
di Hindia Belanda. Menurut van Vollenhoven, hukum adat harus dipertahankan
sebagai hukum bagi golongan bumiputera, tidak boleh didesak oleh hukum Barat.
Sebab, kalau hukum adat didesak (oleh hukum Barat), hukum Islam yang akan
berlaku. Ini tidak boleh terjadi di Hindia Belanda (Bustanul Arifin dalam
Muchtar Na’im, 1968:171).
Karena itu ada yang mengatakan bahwa
apa yang disebut sebagai konflik antara hukum Islam dengan hukum adat pada
hakikatnya adalah isu buatan politikus hukum kolonial saja. Salah seorang
diantaranya adalah B. ter Haar yang menjadi master
architect pembatasan wewenang Pengadilan Agama di Jawa dan Madura. Menurut
ter Haar, antara hukum adat dengan hukum Islam tidak mungkin bersatu, apalagi
bekerja sama, karena titik tolaknya berbeda. Hukum adat bertitik tolak dari
kenyataan hukum dalam masyarakat, sedang hukum Islam bertitik tolak dari
kitab-kitab hukum (hasil penalaran manusia, MDA) saja. Karena perbedaan titik
tolak itu, timbullah pertentangan yang kadang-kadang dapat diperlunak tetapi
seringkali tidak. Karena itu, secara teoretis hukum Islam tidak dapat diterima.
Karena itu wewenang Pengadilan Agama di Jawa dan Madura, “dibatasi sampai ke
bidang yang sekecil-kecilnya” (ter Haar, 1973:29).
Dalam menggambarkan hubungan adat
dengan Islam di Aceh, Minangkabau dan Sulawesi Selatan di atas, umpamanya, para
penulis Barat/Belanda selalu menggambarkan kelanjutannya dalam pertentangan
antara kalangan adat dan kalangan agama (Islam). Keduanya seakan-akan merupakan
dua kelompok yang terpisah yang tidak mungkin bertemu atau dipertemukan.
Padahal daalam kenyataannya tidaklah demikian, karena di kalangan adat terdapat
orang-orang alim dan di kalangan ulama dijumpai orang yang tahu tentang adat
(Deliar Noer, 1979:19). Gambaran “pertentangan” antara kalangan adat dengan
kalangan agama mereka konstruksikan dalam “pertentangan” antara hukum perdata
adat dengan hukum perdata Islam dalam perkawinan dan kewarisan. Mereka
gambarkan seakan-akan “pertentangan” itu tidak mungkin diselesaikan.
Menurut penglihatan penulis-penulis
Barat/Belanda, perkawinan yang dilangsungkan menurut ketentuan hukum Islam
hanyalah kontrak antara pribadi-pribadi yang melangsungkan pernikahan itu saja,
sedang perkawinan yang dilakukan menurut hukum adat adalah ikatan yang
menghubungkan dua keluarga, yang tampak dari upacara waktu melangsungkan perkawinan
itu. Karena penglihatan yang demikian, mereka lebih menghargai dan
menghidup-hidupkan perkawinan menurut hukum adat saja daripada perkawinan yang
dilangsungkan menurut hukum Islam. Mereka tidak mau melihat kedalam tradisi
Islam dimana keluarga (terutama orang tua) ikut bertanggung jawab mengenai
hubungtan kedua mempelai tidak hanya waktu mencari jodoh, tetapi juga waktu
melangsungkan perkawinan . bahkan keluarga akan turut berperan pula untuk
menyelesaikan perselisihan kalau kemudian hari terjadi kekusutan dalam
kehidupan rumah tangga orang yang menikah itu. Mereka tidak tahu, karena tidak
mempelajarinya, bahwa pernikahan menurut hukum Islam adalah sarana pembinaan
rasa cinta dan kasih sayang dalam dan antarkeluarga (Deliar Noer, 1979:20).
Menurut penulis-penulis
Barat/Belanda, masalah kewarisan adalah contoh yang paling klasik yang
menampakkan pertentangan antara hukum Islam dengan hukum adat di Minangkabau.
Seperti yang telah dikemukakan di atas, secara teoretis, menurut mereka,
konflik ini tidak mungkin diselesaikan. Akan tetapi, kenyataan tidaklah
demikian halnya. Kesepakatan antara ninik mamak dan alim ulama di Bukit
Marapalam dalam Perang Paderi di abad ke-19 dahulu telah melahirkan rumusan
yang mantap mengenai hubungan hukum adat denga hukum Islam. Rumusan itu antara
lain berbunyi (diIndonesiakan): adat
bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah (Alquran). Rumusan itu
diperkuat oleh Rapat (orang) Empat Jenis (ninik mamak, imam-khotib
,cerdik-pandai, mantidubalang) Alam Minangkabau yang diadakan di Bukittinggi
tahun 1952 dan dipertegas lagi oleh Kesimpulan Seminar Hukum Adat Minangkabau
yang diadakan di Padang bulan Juli 1968. Dalam rapat dan seminar itu ditegaskan
bahwa pembagian warisan orang Minangkabau, untuk (1) harta pusaka tinggi yang
diperoleh turun-menurun dari nenek moyang menurut garis keibuan dilakukan
menurut adat, dan (2) harta pencaharian, yang disebut pusaka rendah, diwariskan
menurut syara’ (hukum Islam). Dengan kata lain, sejak tahun 1952 kalau terjadi
perselisihan mengenai harta pusaka tinggi maka penyelesaiannya berpedomanpada
garis kesepakatan hukum adat, sedang terhadap data pencaharian berlaku hukum fara’id (hukum kewarisan Islam). Oleh
seminar hukum adat Minangkabau tahun 1968 itu juga diserukan kepada seluruh
hakim di Sumatera Barat dan Riau agar memperhatikan kesepakatan tersebut
(Muchtar Na’im, 1968:241).
Demikianlah, hubungan hukum adat
dengan hukum Islam yang dianggap oleh penulis-penulis Barat/Belanda sebagai
pertentangan yang tidak dapat terselesaikan, telah diselesaikan oleh orang
Minangkabau sendiri dengan kesepakatan di Bukit Marapalam, Rapat (orang) Empat
Jenis Alam Minangkabau di Bukittinggi dan Seminar di Padang seperti yang telah
dikemukakan di atas. Hal yang sama terjadi pula di Aceh dengan pembentukan
provinsi (1959) mempunyai status istimewa, sesuai dengan keinginan orang Aceh
sendiri, untuk mengembangkan agama, termasuk hukumnya, adat istiadat dan
pendidikan.
Sementara itu perlu dicatat bahwa
setelah Indonesia merdeka, khusus di alam Minangkabau telah berkembang pula
suatu ajaran yang mengatakan bahwa “hukum Islam adalah penyempurnaan hukum
adat” (Nasrun, 1957:23-29). Karena itu, kalau terjadi perselisihan antara
keduanya, yang dijadikan ukuran adalah yang sempurna yakni hukum Islam. Dalam
masyarakat Aceh pun terjadi perkembangan yang sama yakni: soal-soal perkawinan,
harta benda termasuk harta peninggalan dikehendaki agar diatur menurut
ketentuan hukum Islam. Bahkan dalam masyarakat di daerah ini telah berkembang
pula satu garis hukum yang mengatakan bahwa adat atau hukum adat hanya dapat
berlaku dan dilaksanakan dalam masyarakat kalau tidak bertentangan dengan hukum
Islam. Ini merupakan kebalikan dari teori resepsi yang mengatakan hukum Islam
bukanlah hukum kalau belum diterima oleh hukum adat, yang akan diuraikan lebih
lanjut. Karena itu, sekarang, demikian Sajuti Thalib (Sajuti Thalib, 1980:49)
yang ada ialah receptio a contrario. Artinya,
hukum adat baru berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam. Dalam
hubungan ini perlu dicatat pula pendapat Mahadi yang mengatakan bahwa dalam
melaksanakan pasal 37 Undang-Undang Perkawinan, dapat didalilkam bahwa
Pengadilan Agama adakalanya dapat mempergunakan hukum adat sebagai dasar untuk
mengambil sesuatu keputusan. Namun, yang dipergunakan itu tentulah bukan hukum
adat yang bertentangan dengan hukum Islam (contra
legem), tetapi terbatas pada hukum adat yang serasi dengan asas-asas hukum
Islam (Mahadi, 1978:32). Ini sesuai dengan ajaran mengenai sumber hukum Islam
di atas yang mengatakan bahwa adat yang baik dapat dijadikan sebagai salah satu
sarana atau cara pembentukan hukum Islam. Artinya , adat yang baik dapat
dipandang sebagai hukum Islam.
Selain dari apa yang telah
diutarakan di atas dapat dikemukakan pula bahwa merenggangnya ikatan-ikatan
tradisional, perubahan nilai-nilai dan pola organisasi masyarakat di daerah
daerah pedesaan, terutama karena penggantian keluarga besar dengan keluarga
kecil, telah menguatkan kedudukan hukum Islam dalam masyarakat di Indonesia.
Hal ini ditunjang pula oleh kesadaran beragam yang makin tumbuh melalui
pendidikan yang berkembang setelah kemerdekaan.
Masalah hubungan hukum adat dengan
hukum Islam ini mungkin pula dapat dilihat dari sudut al-ahkam al-khamsah, yakni lima kategori kaidah hukum Islam yang
telah diuraikan di atas, yang telah mengatur semua tingkah laku manusia Muslim
disegala lingkungan kehidupan dalam masyarakat. Kaidah-kaidah haram (larangan), fard (kewajiban), makruh (celaan)
dan sunnat (anjuran) jauh lebih
sempit ruang lingkupnya kalau dibandingkan dengan kaidah ja’iz atau mubah. Ke
dalam kategori kaidah terakhir inilah (ja’iz
atau mubah) agaknya adat dan
bagian-bagian hukum adat itu dapat dimasukkan baik yang telah ada sebelim Islam
datang ke tanah air kita maupun yang tumbuh kemudian, asal saja tentunya tidak
bertentangan dengan aqidah (keyakinan)
Islam. Melihat hubungan hukum adat dengan hukum Islam dari sudut pandangan ini,
akan memudahkan kita mempertautkan adat dengan Islam, hukum adat dengan hukum
Islam. Menurut T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy,
di dalam kitab-kitab fiqih Islam banyak sekali garis-garis hukum yang dibina
atas dasar ‘urf atau adat karena para
ahli hukum telah menjadikan ‘urf atau adat sebagai salah satu alat atau metode
pembentukan hukum Islam (Hasni Asy-Shiddieqy, 1975:479). Pernyataan Hasbi ini
adalah sejalan dengan salah satu patokan pembentukan garis hukum dalam Islam, seperti
telah disebut di muka, yang berbunyi: al
‘adatu muhakkamat. Artinya, adat dapat dijadikan hukum Islam. Yang dimaksud
dengan adat dalam hubungan adalah kebiasaan dalam pergaulan hidup sehari-hari
yang tercakup dalam istilah muamalah (kemasyarakatan),
bukan mengenai ‘ibadah’. Sebab, mengenai ibadah orang tidak boleh menambah atau
mengurangi apa yang telah ditetapkan oleh Allah seperti yang tertulis di dalam
Alquran dan yang telah diatur oleh Sunnah Rasul-Nya seperti yang termuat dalam
kitab-kitab Hadis yang sahih.
Agar adat dapat dijadikan hukum
Islam, beberapa syarat harus dipenuhi. Menurut Sobhi Mahmassani, syarat-syarat
tersebut adalah:
1.
Adat itu dapat diterima oleh perasaan dan akal sehat
serta diakui oleh pendapat umum;
2.
Sudah berulang kali terjadi dan telah pula berlaku umum
dalam masyarakat yang bersangkutan;
3.
Telah ada pada waktu transaksi dilangsungkan;
4.
Tidak ada persetujuan atau pilihan lain antara kedua
belah pihak;
5.
Tidak bertentangan dengan nas (kata, sebutan yang jelas
dalam) Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad. Atau dengan kata lain, tidak
bertentangan dengan syariat Islam.
Sambil lalu perlu dicatat bahwa syarat 1 dan 2 yang
disebut oleh Sobhi Mahmassani (Sobhi Mahmassani, 1977:195-196) tersebut
sesungguhnya tidak perlu ditanyakan lagi karena telah termasuk ke dalam
definisi adat itu sendiri, yakni sesuatu yang telah berulangkali terjadi,
diterima baik oleh perasaan dan akal sehat serta telah berlaku umum di dalam
suatu masyarakat di suatu tempat pada suatu ketika.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali,
H.M. Daud. 1984. Kedudukan Hukum Islam
dalam Sistem Hukum Indonesia. Jakarta: Yayasan Risalah.
Hamka.
1976. Sejarah Umat Islam. Jakarta:
Bulan Bintang.
Hasan,
KN. Sofyan dan Warkum Sumitro. 1994. Dasar-dasar
Memahami Hukum Islam di Indonesia. Surabaya: Usaha Nasional.
Mahsun Fuad, Hukum
Islam Indonesia, (Jokjakarta: LKIS, 2005.)
Sumitro, Warkum. 2005. Perkembangan Hukum Islam. Malang:
Bayumedia Publishing.
Suminto,
H. Aqib. 1985. Politik Islam Hindia
Belanda. Jakarta: LP3ES.
Thaba,
Abdul Aziz.1996. Islam dan Negara dalam
Politik Orde Baru. Jakarta: Gema Insani Pres.
Thebba, Sudirman. 2001. Islam Pasca Orde Baru. Yoyakarta: Tiara
Wacana
[4] Hamka. 1976. Sejarah Umat Islam, Jilid IV, hlm. 53. Jakarta: Bulan Bintang.
[5] Syamsul Wahidin dan Abdurahman, op. cit.,
hlm. 25-26.
[6] Ibid., hlm. 27-28.
[7] Sumitro, SH., MH., Warkum. 2005. Perkembangan Hukum Islam, hlm. 36.
Malang: Bayumedia Publishing.
[8] Ibid. hlm 37.
[9] Ibid. hlm 40.
[10] H.M. Daud Ali, op. cit., hlm. 15.
[11] H. Aqib Suminto, op. cit., hlm. 52
[12] Sumitro, SH., MH., Warkum. 2005. Perkembangan Hukum Islam, hlm. 42.
Malang: Bayumedia Publishing.
[13] Ibid. hlm 44.
[14] Hamka. 1976. Sejarah Umat Islam, Jilid IV, hlm. 55. Jakarta: Bulan Bintang.
[15] Sumitro, SH., MH., Warkum. 2005. Perkembangan Hukum Islam, hlm. 46.
Malang: Bayumedia Publishing.
[16] Ibid. hlm 49
[17] Ibid. hlm. 82
[18] Ibid. hlm. 88
[19] Ibid. hlm. 88
[20] Dikutip Abdul Azis Thaba, op. cit., hlm. 179.
[21] Sudirman Tebba. 2001. Islam Pasca Orde Baru, hlm. XVII. Yogyakarta: Tiara Wacana
Comments
Post a Comment